“Kami sudah menjual hampir 50 penjor dengan berbagai bentuk” Ujar Pak Nyoman Darma, dari Banjar Umedui, Desa Padang Sambian Kelod, Kecamatan Denpasar Barat. Ia menghargai sebuah penjor lengkap seharga minimal Rp 350.000 hingga 500.000 rupiah.
Kian tahun pedagang penjor kian bertambah jumlahnya. Dahulu orang terbiasa membuat penjor secara bergotong royong, dimulai sejak seminggu sebelum Galungan. Namun seiring perjalanan waktu dan hukum permintaan, maka terdapat penawaran atau penjualan penjor, lengkap dengan berbagai pernak-pernik yang melengkapi dan menghiasi penjor itu sendiri.
Sudah berbilang tahun, aku terbiasa membuat sampian penjor sendiri, demikian pula dengan sampian gantungnya. Wlo mungkin di pasar bisa kutemukan sampian penjor seharga 7.500 rupiah hingga berpuluh ribu rupiah per bijinya, namun tidak bisa terlukis kata-kata bagi kebahagiaan yang kudapat dengan menyelesaikannya sendiri. Apalagi dengan bantuan anak-anakku. Kami bisa sambil bertukar ceritera, dan memperbaiki kualitas sampian kami dari tahun ke tahun, juga menentukan kreativitas bentuk, fungsi dan makna dari penjor yang kami buat dalam rangka Galungan dan Kuningan.
Dan, sampian Penjor Galungan ku telah selesai semenjak Redite Paing Wuku Dunggulan, hari Minggu, 3 Juli 2011. Senin pagi hingga siang hari kami melakukan tirta yatra ke Tirta Empul, Gunung Kawi Tampaksiring, dan Goa Gajah. Dan kini, pukul 4 sore, kulanjutkan memasang sampian penjor buatan tanganku, pada sebuah batang bambu berukuran kira-kira 5 meter. Yudha memasang kolong-kolong yang telah dibuat Adi dan suami tercinta pada batang bambu, kupasang kober, jaje dan juga berbagai buah pada penjor tersebut. Akhirnya, penjor kami siap menjulang angkasa. Terakhir, kami gantungkan sebuah kelapa tua dekat di bagian pangkal bambu.
Well, aku mungkin bukan seorang pakar pembuat penjor. Namun, paling tidak, keluargaku sudah berusaha memberikan yang terbaik yang kami bisa dan mampu, untuk kami persembahkan pada Sang Hyang Perama Kawi, Tuhan Yang Maha Kuasa. Lagipula, Hindu adalah dharma yang memberikan keleluasaan Loka dresta-dan budaya local yang menjadi nandi wahana transportasi untuk mendukung perkembangan Hindu dimanapun Hindu berada itulah salah satu flexibelitas sehingga hindu tetap exist sepanjang masa, karena banyak sudah agama-agama lain yang berkembang dijaman itu dan kini sudah hilang sirna kertaning bumi, namun Hindu akan ada selamanya.
Lagipula, menurut Jero Mangku Sudiada (9 Juli 2011) yang mengutip dari kitap Upanishad : “Gunakan angga sarira mu untuk bekerja keras, kendalikan indria dengan pikiran yang tenang, itu adalah proses untuk mencapai stana keabadian yang telah disediakan Tuhan. Bila Prema kasih sudah berstana dalam jenek sarira, maka iri hati, kebencian, dusta, segala gangguan emosi bakal jauh dari hati, karena semua tempat dalam sanubari kita telah diisi oleh cinta kasih. Berpikir, berkata, berbuat / bertindak dengan berlandaskan cinta kasih, itulah yang disebut dengan “Sadhana”.
Maka, aku sudah berkarya, walau mungkin, bukan maha karya, paling tidak....... inilah karyaku yang kubisa dan kumampu, yang kuhaturkan pada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, secara tulus ikhlas, dalam rupa..... Penjor Galungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar