Sekian lama kami jarang melakukan tirta yatra, atau perjalanan spiritual sekeluarga. Kali ini, suami dan anak2 bisa bergabung. Sungguh senang tiada terkira. Walau kami tidak memiliki mobil, bukan halangan bila niat suci terbentang luas menggapai cakrawala.
Maka, Soma Kajeng Pon Wuku Dunggulan, 4 Juli 2011. Bersama dua motor, suami tercinta dengan Yudha dan Adi, Aku membonceng Putu Widiasih, cucu yang sudah duduk di bangku SMA kelas 2, tiga pejati dan perangkat bersembahyang lain. Kami berjanji berjumpa dengan Putu Singgih, anak asuhku, di depan pasar pagi di Penatih. Kemudian bersama menyusuri jalan menuju ke Tirta Empul. Udara dingin di musim hujan kali ini menyapa kami. Waktu menunjukkan sudah pukul 8 pagi. Berjumpa Patung Bayi Sakah, kami mengarah terus ke Utara. Setiba di Teges, kami berbelok ke kanan, mengarah ke Goa Gajah. Kembali berbelok ke Kiri, dan menyusuri jalan ke arah Tampak Siring, ke Tirta Empul.
Tirta Empul adalah sebuah pura yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Lokasinya tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring yang dulu dibangun oleh presiden Soekarno. Pura Tirta Empul terkenal karena terdapat sumber air yang hingga kini dijadikan air suci untuk melukat oleh masyarakat dari seluruh pelosok Bali, tak jarang wisatawan yang berkunjung pun tertarik untuk ikut melukat. Konon terdapat sebuah cerita tentang seorang raja yang bernama Mayadenawa, Mayadenawa sangat sakti tetapi jahat. Bhatara Indra pun diutus dari langit untuk membunuh Mayadenawa. Mayadenawa kewalahan lalu melarikan diri dengan berjalan sambil memiringkan telapak kakinya agar tidak terdengar oleh Bhatara Indra. Dari sanalah kemudian muncul nama sebuah desa Tampak Siring. Mayadenawa kemudian meracuni pasukan Bhatara Indra dengan air yang sudah diracuni, Bhatara Indra lalu menancapkan sebuah bendera ke tanah dan tersembur air yang dijadikan penangkal racun Mayadenawa. Konon sumber air itulah yang kini disebut Tirta Empul
Dan, kali ini, Tirta Empul menyambut kami dalam suasana cerah. Hanya terlihat sedikit pemedek yang nangkil. Setelah mempersiapkan diri untuk bersujud ngaturang bhakti, kami mengawali jejak langkah kami di Jero Gede, menghantar aktivitas persembahyangan selanjutnya. Pejati dihaturkan di meja persembahan, dan suami memimpin doa. Lalu kami perlahan turun ke dinginnya air yang menyelimuti tubuh. Kami mencakupkan tangan di setiap pancuran yang keluar dari mata air, lalu membiarkan airnya membasahi sekujur tubuh dan kepala.
Setelah tuntas bersembahyang dan melukat, kami berganti pakaian kering, dan melanjutkan prosesi persembahyangan. Waktu menunjukkan pukul 11.30 saat kami menikmati bekal yang dibawa dari rumah. Ada tipat, ada urutan goreng (sosis Bali), ada telur asin.
Tujuan berikut adalah Gunung Kawi. Tempat persembahyangan ini terletak di bagian Selatan Tampak Siring. Kami harus menyusuri 350 anak tangga menuju ke bagian bawah perbukitan, sebelum akhirnya berjumpa dengan tempat yang terkenal sebagai tempat pertapaan para spiritualis jaman dahulu kala. Terdapat jejeran pahatan simbol gunungan yang melambangkan raja-raja yang bertahta pada berbagai masa.
Di Bali terdapat tiga Gunung Kawi, yaitu di Desa Sebatu, Tegallalang, Gianyar; di Desa Tampaksiring, Gianyar; dan di Desa Bitra, Gianyar. Yang paling sering dibicarakan oleh arkeolog dan sejarawan (Bali) Kuno adalah Gunung Kawi Tampaksiring yang terletak lebih kurang 40 km dari Denpasar kea rah timur laut.
http://erhanana.multiply.com/photos/album/28/Pura_Gunung_Kawi_Tampaksiring_Gianyar berisi uraian yang menjelaskan bahwa secara umum, GKT adalah kompleks situs arkeologis yang sangat luas, dipahatkan di tebing-tebing Tukad Pakerisan. GKT terdiri atas empat kelompok yakni (1) kelompok empat candi tebing, ceruk-ceruk pertapaan dan pancuran, terletak di sebelah barat Tukad Pakerisan, (2) di sebelah timur tukad, terdiri atas lima candi tebing dengan ceruk-ceruk pertapaan dan kolam petirtaan dengan beberapa pancuran, (3) terletak tidak jauh ke arah tenggara melewati sawah-sawah, terdapat juga beberapa buah ceruk dan biara, dan di antaranya ada yang belum terselesaikan dengan sempurna,dan (4) oleh para ahli arkeologi disebut Makam ke-10, sedangkan di kalangan masyarakat setempat dikenal dengan nama Geria Pedanda, kelompok ini terdiri atas gapura-gapura dan ceruk-ceruk pertapaan. Gunung Kawi Tampaksiring mempunyai gugusan candi tebing yang tidak ditemukan di daerah lain kecuali di India Selatan.
Pura ini merupakan Pura Padharman dari Raja Udayana. Artinya, pura ini untuk menstanakan roh suci atau Dewa Pitara keluarga Raja Udayana. Pura ini disebut Gunung Kawi karena yang dikawi atau yang diukir adalah lereng gunung di Sungai Pakerisan. Konon yang mengukir lereng bukit Sungai Pakerisan itu menjadi candi adalah Kebo Iwa, tokoh ahli bangunan atau arsitek pada zaman pemerintahan keluarga Raja Udayana. Kebo Iwa membuat ukiran candi sampai menjadi Pura Gunung Kawi dengan menggunakan kukunya. Raja Udayana adalah raja dari Wamsa Warmadewa. Raja ini memerintah Bali bersama dengan permaisurinya bernama Mahendradata dengan gelar Gunapriya Dharma Patni yang berasal dari Jawa Timur. Sejak pemerintahan suami-istri pada abad XI ini prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja di Bali tidak lagi hanya menggunakan bahasa Bali, tetapi sudah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Ini artinya pengaruh Hindu Jawa telah masuk ke Bali. Kesusastraan Hindu Jawa pun mulai semakin kuat mempengaruhi kesusastraan Bali.
Ada kelompok lima candi dipahatkan di tebing timur Sungai Pakerisan berjejer dari utara ke selatan. Kelima candi ini menghadap ke barat. Pahatan candi yang paling utara ada tulisan yang berbunyi ''haji lumah ing jalu''. Kemungkinan candi yang paling utara untuk stana pemujaan roh suci Raja Udayana. Sedangkan yang lain-lainnya adalah stana anak-anak Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu serta permaisurinya.
Di pintu masuk candi sebelah selatan dari Candi Udayana ada tulisan ''rwa anakira''. Artinya, dua anak beliau. Candi inilah yang ditujukan untuk stana putra Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu. Sementara di tebing barat Sungai Pakerisan terdapat empat kelompok candi yang dipahatkan di tebing Sungai Pakerisan itu berjejer dari utara keselatan menghadap ke timur. Menurut Dr. R. Goris, keempat candi ini adalah sebagai padharman empat permaisuri raja. Di samping itu ada satu pahatan candi lagi terletak di tebing barat daya Sungai Pakerisan. Di candi itu ada tulisan dengan bunyi ''rakryan''. Kemungkinan candi ini sebagai padharman dari seorang patih kepercayaan raja. Karena itulah diletakkan di sebelah barat daya. Di sebelah selatan candi kelompok lima terdapat wihara berjejer sebagai sarana bertapa brata. Raja Udayana dengan permaisurinya berbeda sistem keagamaannya. Raja Udayana lebih menekankan pada ke-Budha-an, sedangkan Gunapriya Dharma Patni lebih menekankan pada sistem kerohanian Siwa. Hal inilah yang menyebabkan agama Hindu di Bali disebut Agama Siwa Budha.
Setelah selesai disini, kami kemudian mengarahkan laju kendaraan kami ke Selatan, melewati Pura Kebo Edan, dan mampir di Pura Goa Gajah.
Pura Goa Gajah merupakan salah satu obyek wisata di bali, terletak di Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, Bali. Salah satu situs peninggalan sejarah di bumi nusantara, Goa Gajah lebih tepat disebut pura, namun karena berbentuk goa, maka dinamai Goa Gajah. Jaraknya dari Denpasar Kurang lebih 26 Km. Pura ini di lingkupi oleh persawahan dengan keindahan ngarai sungai Petanu, sangat mudah dicapai karena ada pada jalur berada pada jalur wisata Denpasar – Tampaksiring – Danau Batur – Kintamani.
Di pelataran Pura Goa Gajah terdapat Petirtaan Kuna 12 x 23 M2, terbagi atas tiga bilik. Dibilik utara terdapat tiga buah Arca Pancuran dan di bilik Selatan ada Arca Pancuran pula, sedangkan di bilik tengah hanya terdapat apik arca. Di sekitar goa juga terdapat kolam pertitaan dengan tujuh patung widyadara-widyadari yang sedang memegang air suci. Konon ketujuh pancuran ini sebagai perlambang tujuh sungai penting yang sangat dihormati di India.
Kompleks goa dan tempat pemandian berada di sebelah barat sungai Petanu. Sedangkan pada bagian sebelah timur dapat ditemukan goa alami dan jenis patung-patung Budha serta pahatan-pahatan batu tebing yang sebagian besar telah jatuh di pinggiran sungai yang juga akibat gempa bumi.
Kami kembali berkumpul dan bersimpuh menghaturkan bhakti pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Padma yang terletak di Pura Goa Gajah. Lalu kami masuk ke dalam Goa tersebut.
Perjalanan tirta yatra kami berakhir sudah. Waktu menunjukkan pukul 14.00 tatkala kami masuki Warung Nasi Campur yang terletak di Teges. Astungkara..... Hyang Widhi, masih boleh kami menikmati satu hari lagi dalam hidup kami, untuk memuja dan memuji kebesaran MU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar