Minggu pagi, 29 Januari 2012.
Pukul 7 pagi, dengan bersepeda motor sudah kuantar simbok ke terminal Ubung. Yudha ikut pula bersama ku. Setelah kupastikan dia naik ke bis yang tepat menuju Singaraja, kami berlalu pulang.
Di jalan Buluh Indah, kulihat pedagang bambu penjor. Hmmm, masih terlalu jauh dari jarak rumahku. Mungkin saja nanti ada di seputran jalan Marlboro. Maka aku bergerak kembali bersama Yudha di atas motor. Namun ternyata, hingga ke jalan Gunung Soputan, berputar kembali ke Tegal Lantang, tak kutemukan dagang bambu penjor. Maka, kami harus berputar-putar kembali, sebelum akhirnya menemukan satu di jalan Marlboro Barat.
Well, butuh konsentrasi ekstra dalam menggotong bambu sepanjang 5 meter itu dengan tetap mengendarai motor. Yudha ikut membantu ku dengan menggotong bambu itu di bagian pundak kirinya, dari jalan Marlboro Barat hingga ke rumah kami terdapat 4 tikungan jalan.... Sungguh sebuah perjuangan berat..... Namun toh akhirnya kami tiba juga dengan selamat. Hahaha, jangan dikata bu Santi wanita lemah....
Setelah itu, kulanjutkan dengan mencuci baju keluarga. Beratkah? Hmmm, tidak. Aku sudah terbiasa melakukan hal ini. Suami juga sungguh membantu. Bagaimana dengan anak-anak? Ya... ajarkan mereka komitmen semenjak usia dini, dan... semoga mereka paham maknanya dan mampu aplikasikan ini sepanjang garis kehidupan mereka juga... Ada yang menyapu, ada yang mengepel, membuang sampah, menyeterika baju.......
Pukul 12 siang, waktu istirahat sejenak. Makan siang bersama seluruh anggota keluarga. Kulanjutkan dengan tidur sejenak. Adi kembali berangkat ke sekolahnya untuk mengikuti Festival sekolah hari ke dua. Ah ha, dan ternyata, Yudha dan bapaknya pergi ke pameran pembangunan di depan alun-alun Puputan Badung. Mereka membeli kolong-kolongan, sampian gantung, dan bulir padi, juga berbagai pernak-pernik lain untuk hiasan penjor. Aarrgghhh....
Aku bisa dan terbiasa bikin sampian penjor sendiri, buatan tanganku. Meski mungkin hasilnya tidak lah indah... namun ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa terucap dan terlukiskan kata-kata... Namun, suami dan anakku membeli sampian gantung dari bahan lontar. Hmmm, bukankah -hidup adalah sebuah kompromi pula??? Sejauh mana kita bisa bertoleransi terhadai keadaan hidup ini. Maka, kugunakan hiasan yang sudah dibeli oleh suami, baik itu kolong-kolong dan bulir padi untuk menghiasi batang bambu penjor. Namun untuk sampian gantungnya, kugunakan sampian penjor yang kujahit sendiri dengan tanganku. Hehehe..... masalah teratasi, sebuah kerjasama yg indah....
Suami lanjut membersihkan halaman, dan bersama kami naikkan penjor galungan, menjulang menentang angkasa, di depan pagar tembok rumah. Semoga Galungan in menjadi Galungan yang indah bagi kami semua....... Swaha.