Hmm, sebuah ajaran yang menyejukkan hati.... Betapa, kita bisa melaksanakan berbagai rangkaian upacara beserta upakara yang disesuaikan dengan sepenuh toleransi yang disepakati bersama pula, sebagai sebuah pemahaman dan aplikasi dari Genius Local Wisdom, kearifan Lokal yang sungguh adiluhung, pelestarian ajaran turun temurun semenjak nenek moyang.
Mungkin, ada pula yang berpandangan begini : "ah saya kan orang Bali, ya cukup sugian Bali saja saya mebanten" seperti yang disampaikan oleh Gusti Ketut Budiartha mengenai jawaban ponakannya saat ditanya.
Ardhi Jaya menjelaskan pemahamannya, Sugihan Jawa nyunginin / membersihkan alam semesta/bhuana Agung. Sugihan Bali, nyuginin/membersihkan diri/bhuana alit. Yang merupakan rentetan upakara menyambut/dtgnya Hari Raya Galungan dan Kuningan. Alasan dibalik hal mengapa Sugihan itu ada memakai kata JAWA dan BALI itu yg tidak diketahui banyak pihak. Menurut cerita yang beredar di tengah masyarakat, keturunan Majapahit memilih melakukan upacara sugihan Jawa, sedangkan asli keturunan Bali melakukan upacara sugihan Bali.
Menurut Mpu Jaya Prema Ananda, keduanya, baik Sugihan Jawa maupun Sugihan Bali, harus dilakoni. Hari ini untuk alam/bhuwana agung. Sajen sederhana ya canangsari gak apa, mau besar merebu, mecaru dll. Esok sugian mewali (ini yg kemudian jadi bali) untuk diri/bhuwana alit. Banten sakasidan (semampunya) dari canangsari sampai sodaan dll. Yang penting inti dan tujuannya jelas. Setelah semua bersih siaplah menerima (dan menantang) sang tiga buta dungulan dst ajak berperang. Setelah menang rayakan Galungan. Adharma kalah oleh dharma.
Menurut Gusti Ketut Budiartha, rencananya pernah ditolak saat bersama rombongan akan melakukan Tirtayatra ke satu desa di Kediri Jatim, mengantar anak2 Pashraman Sidoarjo. Rencana melaksanakan Tirthayatra hari minggu 3 hari sebelum Galungan ditolak karena umat Hindu di sana Puasa selama 3 hari sampai Penampahan Galungan.
Saat Sang Kala Tiga rauh / tiba, umat Hindu di Kediri Jatim melaksanakan tapa puasa. Logikanya benar, kan kedatangan Kala jadi harus Tapa Brata atau tirakat agar bisa mengalahkan Sang Kala Tiga. Setelah itu barulah pesta saat Galungan, merayakan Dharma melawan Adharma. Tapi kenyataan yang umum terjadi adalah seringnya umat berpesta sebelum hari Galungan, jadi Adharma yang memang, padahal seharusnya Adharma yang kita kalahkan......
Sedangkan Ananda Anugraha menjelaskan pendapatnya, bahwa mungkin JAWA artinya JABA alias luar, di luar diri kita, alias makrokosmos. Dulu, setiap orang dari luar Bali, disebut dari JAWA, padahal bisa saja dari Lombok. BALI mungkin berarti DALAM atau internal, alias dalam diri, atau mikrokosmos. Menurut nya, juga banyak pengertian filosofi pelaksanaan hari raya ataupun upacara yang musti diluruskan. Seperti yang baru saja lewat, siwaratri, yang arti sujatinya bukan hanya sebuah hari dimana dosa dan kesalahan dilebur atau dimusnahkan, namun lebih kepada peningkatan kesadaran diri untuk memahami segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, dan tidak lagi terjadi kesalahan dan dosa yang sama. Sebuah hari dimana komitmen kita untuk selalu meningkatkan spiritualitas dengan tetap selalu "jagra", alias eling. Lubdaka jagra hingga kematian menjemputnya, walaupun itu hanya semalam. Tapi kita tidak pernah tahu kapan kita akan mati. Semasih kita bernafas, kita harus tetap sadar, jagra, eling, agar tidak dikuasai atau dimakan oleh nafsu kita (binatang buas).
Mungkin, ada pula yang berpandangan begini : "ah saya kan orang Bali, ya cukup sugian Bali saja saya mebanten" seperti yang disampaikan oleh Gusti Ketut Budiartha mengenai jawaban ponakannya saat ditanya.
Ardhi Jaya menjelaskan pemahamannya, Sugihan Jawa nyunginin / membersihkan alam semesta/bhuana Agung. Sugihan Bali, nyuginin/membersihkan diri/bhuana alit. Yang merupakan rentetan upakara menyambut/dtgnya Hari Raya Galungan dan Kuningan. Alasan dibalik hal mengapa Sugihan itu ada memakai kata JAWA dan BALI itu yg tidak diketahui banyak pihak. Menurut cerita yang beredar di tengah masyarakat, keturunan Majapahit memilih melakukan upacara sugihan Jawa, sedangkan asli keturunan Bali melakukan upacara sugihan Bali.
Menurut Mpu Jaya Prema Ananda, keduanya, baik Sugihan Jawa maupun Sugihan Bali, harus dilakoni. Hari ini untuk alam/bhuwana agung. Sajen sederhana ya canangsari gak apa, mau besar merebu, mecaru dll. Esok sugian mewali (ini yg kemudian jadi bali) untuk diri/bhuwana alit. Banten sakasidan (semampunya) dari canangsari sampai sodaan dll. Yang penting inti dan tujuannya jelas. Setelah semua bersih siaplah menerima (dan menantang) sang tiga buta dungulan dst ajak berperang. Setelah menang rayakan Galungan. Adharma kalah oleh dharma.
Menurut Gusti Ketut Budiartha, rencananya pernah ditolak saat bersama rombongan akan melakukan Tirtayatra ke satu desa di Kediri Jatim, mengantar anak2 Pashraman Sidoarjo. Rencana melaksanakan Tirthayatra hari minggu 3 hari sebelum Galungan ditolak karena umat Hindu di sana Puasa selama 3 hari sampai Penampahan Galungan.
Saat Sang Kala Tiga rauh / tiba, umat Hindu di Kediri Jatim melaksanakan tapa puasa. Logikanya benar, kan kedatangan Kala jadi harus Tapa Brata atau tirakat agar bisa mengalahkan Sang Kala Tiga. Setelah itu barulah pesta saat Galungan, merayakan Dharma melawan Adharma. Tapi kenyataan yang umum terjadi adalah seringnya umat berpesta sebelum hari Galungan, jadi Adharma yang memang, padahal seharusnya Adharma yang kita kalahkan......
Sedangkan Ananda Anugraha menjelaskan pendapatnya, bahwa mungkin JAWA artinya JABA alias luar, di luar diri kita, alias makrokosmos. Dulu, setiap orang dari luar Bali, disebut dari JAWA, padahal bisa saja dari Lombok. BALI mungkin berarti DALAM atau internal, alias dalam diri, atau mikrokosmos. Menurut nya, juga banyak pengertian filosofi pelaksanaan hari raya ataupun upacara yang musti diluruskan. Seperti yang baru saja lewat, siwaratri, yang arti sujatinya bukan hanya sebuah hari dimana dosa dan kesalahan dilebur atau dimusnahkan, namun lebih kepada peningkatan kesadaran diri untuk memahami segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, dan tidak lagi terjadi kesalahan dan dosa yang sama. Sebuah hari dimana komitmen kita untuk selalu meningkatkan spiritualitas dengan tetap selalu "jagra", alias eling. Lubdaka jagra hingga kematian menjemputnya, walaupun itu hanya semalam. Tapi kita tidak pernah tahu kapan kita akan mati. Semasih kita bernafas, kita harus tetap sadar, jagra, eling, agar tidak dikuasai atau dimakan oleh nafsu kita (binatang buas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar