Redite Pasah Kliwon Sungsang, Minggu, 21 Januari 2012. Hari Raya Siwaratri. Sering disertai dengan pelaksanaan tapa brata Siwaratri pula.
Tapa brata siwaratri menghantar kita pada kedamaian dan keteguhan hati tatkala menghadapi berbagai persoalan yang membutakan mata hati kita sendiri. Berusaha menemukan kembali jati dirinya yang suci murni sebagai bagian yang menyatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun kenyataan yang sering terjadi adalah manusia sukar menemukan kesadaran terbebas dari belenggu dunia maya ini yang membuat dia lalai terhadap hakikat tujuan hidupnya. Dunia maya selalu menawarkan kenikmatan hidup yang seakan - akan terasa langgeng, tetapi sering kali justru menambah beban masalah di dalam kehidupannya sehingga kehidupan yang damai makin sulit diwujudkan. Tapa Brata Sivaratri sebagai petunjuk bagi umatnya untuk mencapai kesempurnaan hidup, membebaskan diri dari jerat maya, serta menemukan kebahagiaan dan kedamaian.
Siwaratri, adalah hari dimana kita memuja dan memuji kebesaran Beliau, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang hadir dalam berbagai bentuk kitab suci seperti Weda, termuat pula dalam Itihasa Mahabharata dan Purana, maupun Nibanda. Di Indonesia, seorang pujangga bernama Empu Tanakung telah menggubah sebuah ceritra Lubdhaka yang ditulis dalam pustaka Sivaratrikalpa pada akhir jaman Majapahit, tentu dengan tujuan untuk meyakinkan umatnya agar dengan penuh keyakinan dapat melaksanakan brata Sivaratri yang ditetapkan dalam Veda (http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/690.htm )
Manusia selalu berupaya mencari kebahagiaan, ingin terlepas dan bebas dari penderitaan. Lubdhaka, Nishada, Susvara adalah merupakan sosok "sang pencari" yang meniti kehidupannya dengan penuh bhakti kepada Yang Maha Kuasa. Dengan bhakti itulah ia menemukan hakikat dirinya.
Kita sebagai umat manusia adalah gambaran dari Lubdhaka, Nishada dan Susvara, yang sering kali terjatuh dan tersungkur oleh penderitaan hidup, tatkala rintangan datang bertubi-tubi, dan kegelapan seolah tiada henti menghampiri. Sering kita menyangkal kehadiran Tuhan, mengabaikan hati nurani, lebih memilih ego dan mengutamakan emosi semata. Hanya dengan tetap bersandar dan berpijak pada pedoman hidup kita, yakni kitab suci, yang hadir dalam banyak bentuk, maka kita dapat melalui berbagai terpaan hidup.
Veda mengajarkan bahwa setiap insan dapat hidup karena ada inti hakikat yang menghidupinya.
"Eko devas sarva bhutesu gundhas
sarva vyapi sarva bhutantaratma
karmadhyaksas sarva bhutadhivasas
sakti ceta kevalo nirgunasca" (Svetasvatara Upanisad .VI .11)
(Satu sinar suci Tuhan yang tersembunyi dalam setiap insan, menjadi jiwa bathin semua ciptaan itu, Raja yang menyinari semua perbuatan dan menjadi saksi agung yang bersemayam di dalam hati.)
Hal ini memperlihatkan pada kita, bahwa betapa berbagai bentuk dan rupa kitab suci yang hadir disekeliling kita, entah melalui kitab suci yang kita baca, kita telusuri maknanya hingga mencapai pemahaman bersatu, melebur dengan Hyang Widhi, hadir melalui banyak ajaran pengalaman kehidupan bersama orang lain, dari orang-orang yang ada di sekeliling kita, entah itu para sahabat, keluarga atau kerabat, kolega kerja..... kita akan dapat menjalani berbagai sisi gelap kehidupan ini. Agar bisa menjadi semakin bijak dan dewasa dari hari ke hari....
Karena, tua itu pasti, namun dewasa adalah sebuah pilihan. Setiap orang bisa menjadi tua, namun, hanya orang-orang pilihan yang bisa menentukan langkah pilihan untuk menjadi dewasa dan bijak, tidak terkungkung dalam kegelapan emosi dan sifat egois semata....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar