Jiwa ini tidak terlahirkan dan tidak
pernah binasa.
Baik di masa lampau maupun dimasa datang,
Ini juga tak akan terjadi.
Hanya badan yang rusak (binasa),
Sedang jiwa tidak (Bhagawadgita II.20)
Avidyayam antare vartamanah
Svayam dhirah….. panditam manyamana
Janghanyamanah pariyanti mudhah….
Andhenaiva niyamana yathandhah
Ketika Kebodohan tinggal dalam
kegelapan,
Bijaksana tinggal dalam kesombongan
mereka sendiri,
dan Kesombongan tinggal bersama
pengetahuan yang sia-sia berputar sempoyongan tanpa menerima kritik atau saran
orang lain,
maka, yang ada hanyalah bagai orang
buta yang dipimpin oleh orang buta (Upanishad)
Rabu, 25 Juli 2018,
pembukaan Visual Art Exhibition di Museum Neka, dihadiri oleh Muspika Ubud,
Kapolsek Ubud, Kompol I Made Raka Sugita, Danramil Ubud yang diwakili Babinsa, Pemilik
Museum Neka, Pande Wayan Suteja Neka, Penglingsir Puri Ubud, Tjokorda Putra
Sukawati, Penglingsir Puri Peliatan, Tjokorda Putra Nindia, Penglingsir Puri
Pemecutan, Tokoh Budayawan dan Seniman, wakil dari pers, dan para penikmat
seni.
Komunitas Segara Lor
merupakan kumpulan dari para alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas
Pendidikan Ganesha, Singaraja. Kali ini merupakan pameran yang ketiga kali nya di
Museum Neka. Pameran Visual Art Exhibition ini berlangsung semenjak 20 Juli
hingga 20 Agustus 2018.
JMK Pande Wayan Suteja
Neka menjelaskan “Pameran Ini adalah suatu upaya menghadirkan semangat
multikulturalisme yang merepresentasikan akulturasi budaya Bali dan Cina yang
sudah berlangsung semenjak ber abad lampau. Sebagai suatu proses belajar agar
bangsa kita bisa menghindari konflik dalam kehidupan bersama, sekaligus
menghadapi tantangan terkait ke bhineka an kita, ditengah derasnya arus
teknologi dan informasi, ditengah perbedaan yang terjadi, namun bisa tetap
menjalin harmoni. Inilah suatu wujud nyata dari Tri Hita Karana yang sudah
berlangsung semenjak jaman nenek moyang. Dan. Museum Neka berupaya berperan
aktif dengan memberi ruang kesempatan bagi banyak seniman untuk berpameran di
sini”.
I Made Susanta
Dwitanaya selaku kurator pameran kali ini menjelaskan bahwa pada pameran kali
ini terdapat karya dari ke Sembilan belas perupa, meliputi Wayan Sudiarta, Tien
Hong, Komang Trisno Adi Wirawan, Made Kartiyoga, Kadek Darmanegara, Made
Jendra, Nengah Arimbawa, Wayan Juni Antara, Dewa Gede Purwita, Riski Nanda
Riwaldi, Nyoman Arisana, Ni Luh Pangestu Widya Sari, I Gusti Agung Prawira
Yuda, Ida Bagus Pandit Prastu, I Made Hendra Putrawan, Kadek Jefri Wibowo, Putu
Suhartawan. Kadek Omo Santika, Dewa Johana.
Tien Hong menjelaskan
sejarah pengalaman semenjak masa kecil yang dilalui nya di sebuah desa, yakni
Desa Catur, Banjar Lampu, di Kintamani. Selama turun temurun, semenjak empat
generasi lampau, etnis Tionghoa bercocok tanam. Hal ini juga dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sugi Lanus, dimana mereka ikut serta medesa
adat, mendirikan sanggah, membuat tugu karang, aktif pada pura kayangan tiga,
ikut berbagai ayahan klian adat, mecaru desa, megongan. Tidak ada bentrokan
yang terjadi antara etnis Cina dan Bali, sehingga mencerminkan terjadinya
akulturasi budaya yang berjalan harmonis.
“Kami ingin
memperlihatkan bagaimana sebuah harmoni bisa berjalan baik bila kita memiliki
niat baik”. Ada seniman yang perempuan dan juga lelaki, dengan beragam latar
belakang pekerjaan yang kami miliki, dengan banyak hasil karya kami yang
ditampilkan, namun semua bisa menjadi satu rangkaian yang kami persembahkan
dalam bentuk pameran kali ini”, ujar ibu Pangestu, yang merupakan seorang Dosen,
seniman, dan bergerak dibidang desain grafis, saat bertutur mengenai hasil
karya di atas baju, hasil motif gambar dan warna dengan menggunakan komputer.
“Suami saya adalah
seniman yang sedang bekerja di Luar Negeri. Dia seniman Lukis yang juga pekerja
perhotelan. Bakat seni sudah muncul pula pada anak-anak saya ini”. Ujar ibu
Dayu mengenai Made Kartiyoga, suami nya
yang mengikutsertakan hasil karya dengan judul Bersenyawa, Lukisan akrilik di
atas kanvas.
“Saya bangga, bisa
mengikutsertakan pameran hasil karya saya pada potongan kayu asem ini, pada
pameran kali ini”. Tutur ibu Kiki, panggilan dari Riski Nanda Riwaldi. Setiap
hasil karya membutuhkan waktu rata-rata satu bulan lebih. Seni bisa menyalurkan
kreativitas positif seseorang, sehingga bisa dinikmati oleh banyak orang lain.
Terlihat dinamis terpancar dari guratan bentuk dan warna yang dihasilkan ibu
Kiki, bertutur tentang budaya yang terkait etnis Tionghoa, mulai dari makanan
dimsum, yuebing atau mooncake atau kue bulan, tangyuan cake, kuih bakul, kuih
chang, chay koeay teow atau yang lebih sering dikenal dengan kwetiaw.
Jika para seniman
perempuan yang terlibat pada pameran bertajukkan Visual Art Exhibition kali ini
menampilkan perpaduan dinamis warna bercorak cerah, para seniman pria
memperlihatkan warna-warni yang terkadang sangat kontras. Hitam, gelap dan
terang, merah, hijau, putih. Salah satu yang terlihat, adalah pada hasil karya
I Wayan Sudiarta yang diberi judul Perjodohan Purba. Lukisan berukuran 120 X
150 cm ini merupakan Lukisan dengan Cat Minyak di atas kanvas.
“Cina identik dengan
warna merah. Tarian dan lukisan yang menggambarkan perpaduan budaya Cina dan
Bali muncul dalam warna merah yang merona, menyala, dan gerakan tarian yang
berani, lembut dan gemulai, namun tegas. Saya juga munculkan itu dalam gerakan
tari yang saya cetuskan, yakni Legong Lanang Nandira Jaya Pangus, pada tanggal
12 Desember 2012”. ujar salah satu tamu undangan yang turut hadir saat pameran
Visual Art Exhibiton, Anak Agung Gde Bagus
dari Peliatan.
I Komang Trisno Adi
Wirawan menjelaskan bahwa karya nya bercerita mengenai perpaduan budaya Cina
dan Bali yang sudah berlangsung lama, hingga kini. “Saya ingin memperlihatkan
bahwa bila kita bisa menjaga persatuan dan kesatuan, meski berbeda-beda
sekalipun, tapi bisa harmonis. Komposisi dengan corak yang saling bertabrakan
ini, bisa dinikmati oleh pencinta seni yang paham artinya, dimana hijau adalah
bumi tempat kita berada, tumbuh berkembang, merah sebagai simbol Cina, menjadi
satu aktivitas bersama di tengah masyarakat Bali dengan berbagai aktivitas
kehidupan yang terjalin di antara mereka”.
I Komang Trisno Adi
Wirawan menjelaskan bahwa karya nya bercerita mengenai perpaduan budaya Cina
dan Bali yang sudah berlangsung lama, hingga kini. “Saya ingin memperlihatkan
bahwa bila kita bisa menjaga persatuan dan kesatuan, meski berbeda-beda
sekalipun, tapi bisa harmonis. Komposisi dengan corak yang saling bertabrakan
ini, bisa dinikmati oleh pencinta seni yang paham artinya, dimana hijau adalah
bumi tempat kita berada, tumbuh berkembang, merah sebagai simbol Cina, menjadi
satu aktivitas bersama di tengah masyarakat Bali dengan berbagai aktivitas
kehidupan yang terjalin di antara mereka”.
Ida Pedanda Manuaba (2011,
Januari, di Ubud) menjelaskan bahwa akulturasi Tionghoa dan Bali sudah
berlangsung pada awal abad XII. Dan hal ini mengalir dalam budaya kehidupan
yang terjadi di tengah masyarakat. Baik dalam sisi ritual pemujaan sehari-hari,
dalam bentuk patung yang dihasilkan, barong landung yang mencerminkan pria Bali
berkulit cokelat gelap dan wanita berkulit kuninglangsat bermata sipit. Juga
bahkan dalam berbagai bentuk pementasan kesenian.
Sosok Barong Landung
ini juga disertakan dalam rangkaian upacara sebagai upaya pemujaan untuk
mengusir roh jahat dan membawa aura positif, menebarkan kedamaian serta
kesejahteraan bagi warga masyarakat yang meyakininya. Barong Landung ini
mencerminkan gambaran perpaduan dua budaya, Bali dan Cina, yang berjalan secara
harmoni di Bali, yang bahkan hingga kini masih banyak dipentaskan di pulau
Bali.
Dr. Made Pageh, dalam
sambutan sebelum membuka pameran Visual Art Exhibition pada hari Rabu, 25 Juli
2018, menjelaskan bahwa sesungguhnya
budaya Cina dan Bali sudah mengalami perpaduan jauh semenjak dahulu, pada abad
XI – XIII, yakni 1117 – 1118 Masehi. Sebelum masuknya agama Hindu dari India.
Hal ini terjadi pada era kekuasan Raja Jaya Pangus yang menikahi Kang Cing Wie,
anak dari Ping An, seorang saudagar kaya. Akulturasi budaya Cina dan Bali ini melahirkan
representasi berupa Barong Landung. Hasil penelitian membuktikan bahwa Barong
Landung ini lah sebenarnya wujud dari Agama Lokal di Bali saat itu.
Ini menjadi bukti bahwa
konsep akulturasi budaya sudah terjadi dan berlangsung semenjak lama, sudah
berakar semenjak leluhur, dan harus menjadi tonggak dasar harmoni yang
berlangsung di tengah masyarakat pada saat ini dan seterusnya. Bahkan, Dr. Made
Pageh menyebutkan dengan istilah, jangan sampai konsep monotheisme mengubah
diri kita menjadi pribadi yang moneytheisme, konsep berketuhanan yang satu
menjadi konsep dengan orientasi duit semata.
Pande Wayan Suteja Neka
menjelaskan bahwa dinamisasi seni rupa membutuhkan keterlibatan banyak pihak,
mulai dari pembuatnya, perancangnya, pemeliharanya, para pengamat, para
penikmat, bahkan lingkungan masyarakat dimana seni rupa tersebut berada,
termasuk pula para pemerintah dan orang-orang lain yang berperan bagi keberlangsungan
budaya itu sendiri. Dan di dalam hal ini, Museum Neka membuka diri
seluas-luasnya bagi berbagai elemen masyarakat yang ingin belajar, selalu
berperan dalam proses seni, dan bermaksud melestarikan seni tersebut di tengah
derasnya arus modernisasi yang berlangsung.
“Ini bukti dari
komitmen kami untuk berperan aktif terhadap dinamika kreativitas para seniman
Bali, agar bisa mendapatkan ruang mengekspresikan diri secara terbuka pada
dunia luas, bahkan di tingkat dunia, secara berkelanjutan”. Ujar Pande Wayan
Suteja Neka.
Tidak salah bila beliau
mendapatkan penghargaan sebagai salah satu tokoh Bali “Outstanding Honorable
Effort towards Sustainable Tourism in Bali”, yang disampaikan oleh organisasi
BVA, di Puspem Badung pada hari Kamis, 26 Juli 2018, bersama dengan beberapa
tokoh lain yang konsisten memperjuangkan pariwisata berkelanjutan pula,
termasuk Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati dan I Gusti Agung Prana.
Budaya merupakan gabungan dari banyak
elemen. Dari Koentjaraningrat, Taylor, James Spradley, dan berbagai tokoh besar
sudah mengulasnya berkali. Dan untuk menjadikannya harmonis, bernilai estetis,
serta bermanfaat, membutuhkan komposisi yang sesuai, sehingga bisa
berkelanjutan dalam waktu panjang, bahkan, diwariskan secara turun temurun (Santidiwyarthi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar