Kun Adnyana adalah sebuah ikon anti kemapanan.
Ya, betapa tidak. Sebuah metamorphosis perjalanan panjang tiada henti dan tiada
kenal lelah yang tergambar bila berbicara tentang beliau dan setiap karyanya. Beberapa
seniman memiliki pola baku dan pakem tertentu dalam berkarya, beberapa seniman
lain hanya berkutat pada segelintir karya. Beberapa lainnya, setelah
menghasilkan sebuah karya fenomenal, kemudian menghilang pergi. Namun Kun
memperlihatkan diri dalam beragam karya tulis, juga seni lukis, dalam berbagai
bentuk, gerak, ruang, dan periode waktu. Ini membuat Kun Adnyana layak disebut
sebagai Budayawan Ikonik Anti Kemapanan
Terlahir tahun 1976,
Putra Bangli ini menamatkan program master pada Institut Seni Jogjakarta, dan
terdaftar sebagai tenaga pengajar di Institut Seni Indonesia di Denpasar semenjak
tahun 2003. Berbagai pameran, baik bersama maupun solo telah dilaksanakannya,
semenjak tahun 2003 dengan topik Kamasukha, di Gallery Genta, Ubud, 2009 di Jogja, 2011 di
Jakarta, dan berbagai tempat lainnya. Berbagai penghargaan juga telah diraih
sebagai bukti kedewasaan dalam berbagai karya, baik seni lukis, karya tulis,
juga jenjang pendidikan yang dicapai Kun Adnyana, seperti pada tahun 1996
sebagai pemenang pertama lomba seni lukis remaja dalam rangka kompetisi terkait
hari jadi Parpostel IX se kota Denpasar, tahun 1998 sebagai pelukis terbaik
dengan topic Kamasra Price, tahun 2002 sebagai lulusan terbaik ISI Denpasar, 2006
memperoleh Widya Pataka Award dari Gubernur Bali terkait Penulis Seni Visual
(Visual Art Writer), 2008 sebagai lulusan terbaik ISI Jogjakarta.
Kun Adnyana meraih
gelar Doktor setelah berhasil melalui tahap Ujian Sidang Terbuka pada tanggal 9
Oktober 2015. Topik penelitiannya terkait dengan ideologi estetika seni lukis
Bali 1930 an, terkait dengan berbagai agen yang terlibat dalam gerakan yang
secara resmi kemudian diberi nama Pita Maha semenjak 29 Januari 1936. Riset
disertasi secara mendalam menghantarnya pada suatu kesimpulan bahwa gerakan sosial
seni terlahir karena seluruh potensi modal (baik itu berupa simbolik, budaya
dan ekonomi) bekerja secara terpadu dalam habitus kebaruan.
Hal ini menjelaskan
bahwa seni dan budaya, mau tidak mau, suka maupun tidak, akan senantiasa
bergulir mengikuti perkembangan jaman, sesuai dengan jiwa jaman masing-masing
(Zeitgeist). Ini juga tercermin pada beragam karya yang dihasilkan Kun Adnyana,
bahwa konsep estetika sebagai ideologi yang dimiliki seniman juga akan
dipengaruhi oleh konsep spiritual dan jiwa merdeka dari sang seniman itu
sendiri.
Kun dengan bebasnya
bisa menggabungkan berbagai tokoh komik seperti superman pada karya nya, berbagai
warna warni permen pada sapuan kuas di atas kanvas, hingga guratan-guratan yang
berbeda dari tersamar, jelas terlihat, hingga tekanan ekstrem dan kontras di
setiap sapuannya pada satu bidang kanvas yang sama. Hanya seniman yang telah
menguasai dirinya serta memiliki potensi keahlian tinggi yang berani bermain
pada level ini, karena tidak membiarkan pakem pakem atau pola karya tertentu
berlaku sepihak dan berkelanjutan pada dirinya. Namun tetap bisa dinikmati oleh
pencinta seni secara luas, bahkan, berhasil mendorong banyak pihak meninggalkan
kotak mapan dan zona amannya.
Terkadang, orang yang
sudah tiba pada suatu level hidup nyaman, dan berada pada zona aman, takkan mau
berpaling pergi mencoba hal baru. Namun tidak demikian dengan Kun. Gelar Doktor
yang diraih memperlihatkan kematangan logika yang terlah terlatih dan teruji
secara ilmiah, sehingga layak disebut master yang kompeten atau piawai pada
bidang seni dan budaya. Berpuluh tahun secara terus menerus berkarya tiada
henti, sehingga ratusan karya seni dan juga tulisan yang dihasilkan,
memperlihatkan bahwa Kun memang layak dijadikan teladan, bahwa seorang seniman
besar adalah seniman yang setiap karyanya terus bergulir mengalir dan hadir,
agar dapat dinikmati oleh banyak orang, tidak hanya . Dan, pameran tunggal kali
ini memperlihatkan kualitas serta kuantitas karya seorang maestro, yang membuka
diri seluasnya bagi banyak orang, dan siap menerima kritik dan saran terbuka atas
karya yang telah dihasilkan.
Bahkan, Kepala Staf
Kepresidenan, Moeldoko, menjelaskan dalam kata sambutan di saat pembukaan
pameran seni lukis bertajuk Titi Wangsa, Presiden berharap seniman dan
budayawan bisa menjadi garda terdepan dalam menyuarakan kemanusiaan di tengah
masyarakat, memotivasi masyarakat untuk senantiasa bergerak secara positif
dengan menganalisis situasi menggunakan logika, tidak semata emosi tanpa
pertimbangan matang. Disini lah peranan seniman, budayawan sebagai penyeimbang
di tengah masyarakat, menjaga harmoni, ikut menciptakan perdamaian, memperhalus
budi, dan berkarya secara positif di tengah situasi yang senantiasa bergerak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar