Yayasan Cahaya Mutiara
Hati terletak di Ubud. Yayasan ini menempati sebuah bangunan gedung bekas SD di
atas lahan milik Banjar Kawan, Desa Tampak Siring, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Gianyar. Gedung ini disewa sebagai gudang oleh seorang warga Negara asing
yang berbaik hati mengijinkan mereka menumpang. Sebagai gedung bekas sekolah
yang sudah using, terlihat beberapa bagian gedung yang mulai melapuk, atap
bocor, sehingga perlu direnovasi.
Ku kenal mereka saat
bergabung bersama di area Car Free Day di Renon, saat membantu berjualan tiket
Ubud Run yang mereka selenggarakan setahun lalu. Mereka menggalang dana untuk
perbaikan beberapa bagian gedung.
Yayasan ini merupakan
tempat bernaung bagi kaum disabilitas. Visi dan misi mereka adalah Ketua nya bernama Ketut Budiarsa. Yayasan ini
berdiri pada tanggal 27 Agustus tahun 2014. Sayang harapan mereka untuk
melakukan renovasi bagian gedung yang rusak masih terkendala beberapa hal.
Pada hari Kamis, Juni
2019, aku berkunjung ke Ubud. Aku melakukan serangkaian diskusi terkait
penyusunan buku tentang seni dan budaya, khususnya salah satu tokoh seni, Jejeneng
Mpu Keris Pande Wayan Suteja Neka, di museum beliau. Kutemui para staf beliau,
Jangkung Wijanarko dan Made Sukadana, atau dikenal dengan nama keren, Boy, di
Museum Neka. Ini merupakan konfirmasi ulang sebelum kupastikan hasil karya kami
laik disebarluaskan bagi masyarakat pencinta seni. Berikutnya, aku mampir di
Usada Bali, Jalan Sugriwa, kulihat seperangkat peralatan makan dari bambu (sedotan
minuman) dan sabut kelapa (sendok, garpu) yang dibalut kain blacu. Penerima
tamu yang ada disana menjelaskan bahwa peralatan tersebut dibuat oleh remaja
disabilitas binaan Yayasan Cahaya Mutiara Hati. Aku teringat para sahabat yang
kutemui tahun lalu. Kucoba sekalian mampir mengunjungi mereka. Kususuri jalan
pedesaan, melintasi sawah, perempuan yan sedang “ngedig” batangan padi,
rombongan wisatawan yang juga bersepeda dijalan yang kulalui, hingga tiba di
Tampak Siring.
Kulihat mereka sedang
duduk bersama, ada yang sedang membuat porosan untuk bahan pelengkap membuat
banten, ada yang sedang merangkai kalung serta gelang, ada juga yang sedang
masak. Mereka menawariku untuk ikut bergabung bersama, makan rame-rame. Kulihat
jam menunjukkan pukul dua belas, tepat tengah hari, aku ikut mengambil piring,
membuka sokasi tempat menyimpan nasi dari anyaman bambu, menyendok sayur kacang
merah dan kacang panjang dari panci, telur mata sapi yang baru mereka goreng,
tempe manis iris tipis, lalu duduk bersama mereka menikmati makan siang
sepiring penuh menggunung…..
Tidak lama kemudian,
tiba rombongan Pak Andre bersama keluarga dan Natasha Skin Care Denpasar.
Mereka membawa bantuan berupa bahan sembako. Kulihat, anak-anak mereka senang
menikmati situasi yang ada, kami berkeliling melihat beragam asesoris hasil
kerja para disabilitas yang bernaung menjadi anggota Yayasan Cahaya Mutiara
Hati, kami juga mengamati hasil kebun organic yang ada di bagian samping kiri
Gedung. Terdapat beragam jenis tanaman sayuran dan buah yang sudah beberapa
kali panen.
“Cahaya Mutiara Hati
memiliki makna pribadi yang bersinar memberikan cahayanya, dan berguna bagaikan
mutiara, memiliki hati yang teguh kukuh, tangguh, dan mulia”, ujar pak Ketut
Budiarsa menjelaskan makna kata Cahaya Mutiara Hati. Program mereka meliputi
pendidikan kesenian, olahraga, berkebun, menerima pesanan lukisan, juga
kerajinan.
Sungguh indah kurasa
hari ini…. Ku syukuri juga setiap hari yang bisa kunikmati…. Sebagai orang yang
senantiasa diberi kemudahan, berlimpah rejeki dan kesehatan, tidak sepantasnya
senantiasa berkeluh kesah dan hanya berdiam diri. Mereka yang merupakan kaum
disabilitas masih tetap berupaya mencari cara untuk tetap berkarya, masak sih,
aku harus menyerah kalah dan menyesali diri atas nasib…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar