Pernah
bayangkan?? Kangen kampung halaman, tinggal di daerah konflik, tak
punya kampung halaman, terbuang, terhina dan tak dianggap, tak punya
keluarga untuk berbagi ceritera dan tentang beban kehidupan.
Maka,
aku bersyukur, bisa berkunjung ke banyak tempat, memiliki tempat, yang
bisa kusebut, kampung halaman, kerabat tercinta, keluarga besarku, para
handai taulan, teman se perjuangan. Dimana segala cerita dan berita
bergulir, tentang leluhur, nenek moyang, sejarah perjuangan, masa kelam,
sisi gelap, suka dan duka, sakit maupun bahagia, segala nuansa tua dan
muda, perempuan dan kaum pria, terpelajar dan kaum spiritual......
Maka,
bersyukur lah punya kampung halaman, meski terkadang, segala sesuatu
tidak berjalan seperti mau kita dan kemampuan yang kita miliki.....
Tidak bisa sering pulang kampung, tidak betah tinggal di kampung, tidak
punya rumah di kampung, ga mau dibilang kampungan.
Jika
ada yang bertanya, "Apa yang kau cari dengan selalu hilir mudik
begitu??? Gak capek ya?? Buat apa juga, peduli begitu?" Hmmm, maka, akan
kukatakan. Aku bukanlah orang hebat, bukan siapa-siapa, dan tidak
memiliki kepentingan apa pun. Aku hanya ingin mengunjungi para kerabat
selagi sempat, semasih mampu, di sela setiap waktuku, di sela setiap
detak nafasku.
Seperti
hari ini, Minggu 21 Oktober 2012, Yudha sedang bersama klub
sepakbolanya di Lapangan Gelora Samudra Kuta, Adi masih belum kembali
dari Surabaya dalam rangka seleksi lomba Schematics yang diikutinya
bersama beberapa murid SMANSA di Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya, suami sedang beristirahat setelah lelah mengadakan penelitian
ke daerah Timur, dia terserang batuk kering. Aku bersiap berangkat ke
kampung halaman bersama Ayu, Putu Widhiasih. Sudah tujuh tahun dia
bersama kami, mengasuh kedua anakku semenjak kecil, menjadi asisten
pribadiku untuk segala urusan rumah tangga, menamatkan pendidikan SMP
dan SMA di kelompok belajar paket B dan C. Dan kini dia akan pulang
kampung selama seminggu. Keluarganya akan mengadakan upacara "Telu Oton"
bagi adik bungsunya. Dia masih terhitung cucu dari pihak suamiku. Aku
memiliki tanggungjawab moral untuk berjumpa dengan keluarga besar,
setidaknya, menyampaikan rasa berbahagia pula atas akan terselenggaranya
upacara tersebut.
Kami bersama mengendarai motor sepanjang jalan
menuju Sepang. Di hutan Yeh Leh Yeh Lebah, daerah Bading Kayu, kami
temui seekor ular hijau bergerak melingkar di tengah jalan raya. Kami
berhenti dan menanti hingga sang ular bergerak menepi ke pinggir, dan
masuk ke dalam hutan. Di jalan Munduk Mengenu yang hancur dan rusak
parah, dia terpaksa berjalan sebelum kemudian bisa bergabung kembali
denganku di atas motor. Di jalan Gunung Sari, dia terpaksa berjalan kaki
lumayan jauh, karena tanjakan terjal dan longsor.
Akhirnya,
tiba di daerah yg kami tuju. Persis di depan rumah orangtuanya? Belum
!!! Kami masih harus berjalan kaki lagi, menuruni daerah perbukitan itu
sepanjang 500 meter, selama 30 menit, sebelum akhirnya berjumpa dengan
rumah orangtuanya. Orangtuanya hanyalah petani penyakap. Tanpa lahan
tanah yang dimiliki, mereka hanya petani penggarap. Di lahan tersebut
terdapat puluhan batang pohon kopi, cengkeh, cokelat, alpokat, salak,
duren, pisang, kelapa, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kulihat,
nenek Ayu sedang menyusun daksina, dan menanding canang kecil2. Hmmm,
Yadnya..... karena, dengannya kita menguatkan diri kita, dalam Dharma,
bersatu dengan Hyang Widhi..... Bukan dengan hura-hura atau dengan
meriahnya pesta, namun niat untuk melangsungkan upacara sebagai bagian
dari ritual keagamaan, karena kita adalah bagian dari budaya itu
sendiri.
Tantenya
Ayu, Wayan Sarimi, adalah pengasuh anakku sebelum Ayu. Kini dia telah
memiliki tiga anak perempuan yang cantik dan lucu-lucu.
Bapak Ayu, duduk sambil memangku adik bungsunya akan akan diupacarai empat hari lagi.
Satu
jam berkumpul bersama keluarga Ayu di sini, kupikir sudah cukup.
Waktunya beranjak kembali, aku ingin ke pangkung singsing, rumah tua.
Kembali kuputar roda motorku, berjumpa dengan ponakanku, Nyoman, dan
istrinya.
Kulihat Nyoman sedang membelah dan merapikan potongan kayu bakar. Hmmm, badan kekarnya sanggup melakukan pekerjaan apapun yang berat dan sukar. Dari dulu keluarga besar selalu mengandalkan anak ini.
Menu
makan siangku bersama mereka, jukut jipang diiris halus dan terasa
sungguh lembut, sela megoreng dengan base genep yg sungguh nikmat terasa
di lidah. Ahh, tanpa terasa, dua porsi tandas dengan segera.
Kuingat sebuah lagu yg menguraikan tentang kampung halaman..... "Kampuang nan jauh di mato Gunuang Sansai Baku
Liliang Takana Jo Kawan, Kawan Nan Lamo Sangkek Basu Liang Suliang
Panduduknya nan elok nan Suko Bagotong Royong....... Ah, Kuinginkan selalu, Kemesraan dalam
kekerabatan yg takkan pernah hilang hingga kapanpun.
Berikutnya,
aku berpamit pada seluruh keluarga, untuk kembali berjalan. Tujuan
kali ini adalah Kerambitan. Dua hari lalu, tatkala pulang kampung ke
Batuaji, kusampaikan pada bibiku, Dewa Biyang Nyoman Nesi, akan
bersembahyang bersama ke Pura Dalem, yang sedang dalam rangka Mamungkah,
Ngenteg Linggih, dan akan mencapai puncaknya pada hari Selasa, 23
Oktober 2012. Telah kusiapkan seperangkat kain dan baju untuk
bersembahyang di dalam tas ranselku.
Kusempatkan pula mampir di
pasar Bajera dalam perjalananku menuju Kerambitan, membeli jaje bolu,
telur asin, roti kukus, buah-buahan. Dan, segera melaju kembali.
Tiba
di Batuaji, Dewa Biyang sedang sibuk memberi makan ternak babinya.
Melihatku tiba, beliau segera mandi dan bersiap untuk berangkat. Banten
yang beliau siapkan berupa delapan sodan, sudah tertata rapi dalam
sebuah sokasi / tempat persegi empat yang terbuat dari anyaman bambu.
Yadnya.....
karena, dengannya kita menguatkan diri kita, dalam Dharma, bersatu
dengan Hyang Widhi..... Dan, hanya ini yang kumampu, yang bisa
kuhaturkan pada Mu, Hyang Widhi.
Kuletakkan
perangkat ransel yang kubawa di dapur. Hmmm, aku tertegun memandang
tungku api yang ada di dapur. Semenjak aku lahir di Pontianak,
Kalimantan Barat, dan mengunjungi Bali pertama kali, tungku api tersebut
sudah ada. Berarti, usianya sudah hampir setengah abad. Aku sudah
membelikan kompor dan tabung gas semenjak belasan tahun lalu, namun
bibiku tercinta, Dewa Biyang Nyoman Nesi, jauh lebih senang menggunakan
tungku kayu ini.
Ah.... Tungku ini mengingatkan ku pada kakek dan nenek tercinta, kedua orangtuaku.
Diplomasi Bungut Paon...... Di Paon ini,
terjadi ribuan kali diplomasi. Meski kusediakan kompor dan tabung gas,
namun, bungut paon ini jauh lebih berarti. Berpuluh tahun lalu, kami
bercengkerama disini, dan.... masih berpuluh tahun lagi, segala
cengkerama akan menghantar angan dan kenanganku ke bungut paon ini.
Antara aku, kakek dan nenekku, kedua orangtuaku, suami dan kedua anakku,
keluarga besar, para sahabat. Hmmm, indahnya belajar makna kehidupan
dari Bungut Paon....
Kubuat
lagi dua buah susunan banten, dalam dua buah sokasi dari anyaman bambu
pula, lalu kumasukkan ke dalam tas plastik besar, kuletakkan di bagian
depan motor, dekat setang. Kemudian kami berboncengan berdua menuju Pura
Dalem.
Ya, di Pura Dalem Penulisan sedang berlangsung serangkaian karya. Mamungkah,
Ngenteg Linggih, Tawur Agung, Mapeselang, Padudusan Agung, Pura Dalem
Penulisan, Desa Batuaji, Kec. Kerambitan, Kab. Tabanan, ring Rahina
Anggarakasih Tambir, Selasa, 23 Oktober 2012...
Ah,
terbayang terakhir bersama bapakku almarhum, tatkala bersembahyang
bersama, sepuluh tahun lalu. Kami, aku dan bapak, juga ibu, bersimpuh di
depan padma, mengucapkan puja Trisandhya, mengalir indah dalam
kebersamaan....
Waktu
sudah menunjukkan pukul 5 sore, tatkala aku pamit pada bibiku, Dewa
Biyang Nyoman Nesi, untuk pulang kembali ke Denpasar. Suami dan anakku
menanti. Saat bercengkerama dengan para kerabat dan handai taulan
kupikir sudah cukup, keluargaku kini menanti.
Astungkara....
masih diberi ijin oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk menikmati
detik-detik dalam hidupku. Semoga aku juga senantiasa diingatkan untuk
selalu bersyukur, dan belajar dari beragam guru kehidupan......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar