Jum’at, 19 Oktober 2012. Aku terjaga pukul 5 pagi, dan mulai dengan proses lumrah bagi seorang ibu rumah tangga. Mempersiapkan bekal makan bagi anak2, sarapan bagi mereka, juga seragam sekolahnya.
Hari ini, rencananya, pukul 4 sore setelah tiba dari sekolah, si sulung akan berangkat ke Surabaya bersama mini bus travel. Dia dan bersama beberapa rekan dari SMAN I, lulus seleksi babak penyisihan lomba Schematics 2012 yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Surabaya.
Hari ini pula, semenjak pagi, ada jadwal menguji ujian sidang skripsi bagi para mahasiswa di STPNDB tempat ku bekerja, di Nusa Dua. Siang hari, aku akan beranjak menuju Singaraja, Desa Sepang, Kecamatan Busungbiu. Ada saudara jauh yg meninggal, dan aku ingin melayat ke sana. Sekaligus pula, aku ingin ke Batuaji, yg terletak di Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, kampung halaman ayah kandungku. Sudah lama aku tidak mengunjungi keluarga besar di sana.
Si bungsu, Made Yudhawijaya, mencoba merayuku….. Dia ingin ikut pulang kampung siang nanti. Hmm, dia memang suka bepergian, berjalan-jalan…. Maklum, hobinya ini, menurun dariku. Kujelaskan, bahwa aku pergi hanya sebentar, malam hari sudah akan kembali. Dan, ini bukan untuk bepergian dengan maksud piknik, tapi terburu-buru.
Suami tercinta menelpon dari Flores, dia akan kembali dengan pesawat yang tiba sore hari di Denpasar, setelah selama beberapa hari melaksanakan penelitian di sana. Dia terbiasa dengan minta dijemput olehku, bila tiba dari bepergian.
Simbok melaporkan bahwa gas di tabung gas sudah kosong melompong, juga, minyak goreng. Duuhhh, mbok, kok kemarin malam gak dicek terlebih dahulu, sih….. Cape deh, bikin bête aja….
Hmmm….. bakal jadi hari-hari yang penuh nuansa pelangi kehebohan. Emosi melanda jiwa? Tidak !!! Tidak perlu lah itu. Emosi dan panik hanya akan membuat kita tidak bisa menuntaskan masalah, membuat kita tidak bisa berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan secara bijak.
Kubiarkan anak-anak berangkat sekolah dengan tenang setelah sarapan, disertai bekal makan siang mereka di dalam tas masing-masing. Kutelepon suami tercinta, Drs. Wayan Tagel Eddy, M.S., agar dia pulang naik taksi bandara, atau naik ojek saja, bila sudah mendarat sore nanti di Denpasar, akan jauh lebih praktis. Lalu aku berangkat beli gas untuk memasak, sekaligus belanja minyak goreng, karena butuh kepiawaian tersendiri untuk membawa tabung gas di atas motor tanpa terjatuh terguling2. Kubeli juga tambahan satu tas ransel lagi bagi Adi untuk barang2 yang akan dibawa ke Surabaya, lengkap dengan dua set gembok kecil. Setelah situasi dan urusan dalam negeri, alias, rumah tangga aman terkendali, aku berangkat kerja, menuju Nusa Dua, dan bersiap menguji skripsi para mahasiswa ku.
Aku terjadwal menguji bersama Ibu Titien Damayanti, SE., M.Si., dan Bapak I Ketut Reja Arjana, SE., M.Si., di ruang PA 102, kampus STPNDB. Mahasiswa yang kuuji adalah Yovianus Saputra, dari DIV prodi Administrasi Perhotelan, Felicia Christiany, dari S1 Prodi Bisnis Hospitaliti, I Made Gede Ardika, dari DIV prodi Administrasi Perhotelan, Made Dhara Ayu Puspita, dari DIV, prodi Manajemen Akuntansi Hospitaliti.
Waktu menunjukkan pukul 12 tepat, ketika tuntas menguji skripsi di Nusa Dua. Aku lalu berpaling melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Kuletakkan ransel berisi perangkat kerja. Anak-anakku sudah pulang. Adi sedang mempersiapkan perangkat yang akan dibawa bersama teman2 ke Surabaya. Yudha baru saja tiba dari sekolah. Dan aku kembali bergerak pulang kampung. Panas terik jalanan menemani putaran roda motorku menyeruak jalan raya Tegal Lantang, Dalung, Kapal, jalan raya Denpasar – Gilimanuk, hutan Bading Kayu, Dapdap Putih, dan, Sepang Kelod.
Aku tiba di Pangkung Singsing, rumah tua. Kutemui ponakanku, Nyoman, sedang mengumpulkan kayu bakar. Istrinya sedang berada di rumah duka keluarga Nang Madium.Setelah beristirahat mandi dan bersembahyang, kunikmati secangkir kopi asli dari kebun sendiri. Hmmmm, berat rasanya, bergerak meninggalkan kampung halaman yg asri dan damai terasa….. namun, masih banyak yang harus kulakukan. Aku harus melayat.
Nang Madium, meninggal karena diabetes. Penyakit ini sudah diidapnya belasan tahun, bahkan sudah menggerogoti pencernaan dan kondisi fisiknya. Namun beliau menolak untuk dirawat di rumah sakit, hingga akhirnya, hari Rabu, 17 Oktober 2012, pagi dini hari, meninggal dengan didampingi kedua orang istrinya dan juga seluruh anak-anaknya. Hmmm, aku jadi terkenang ayah kandungku yang dahulu juga meninggal karena diabetes. Almarhum, Dewa Made Tjeteg, meninggal lima tahun lalu di Pontianak, Kalimantan Barat. “Orang tidak pernah meninggal karena diabetes, namun karena komplikasi penyakit ini, yang menyerang fungsi organ tubuh, mulai dari pencernaan, ginjal, paru, hati, mata, tangan, kaki, dan lain-lain”. Demikian ayahku pernah berkata.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore, tatkala aku berpamit akan bergerak kembali. Harus bergegas, agar tidak kemalaman di perjalanan. Jalan rusak sepanjang Sepang – Dapdap Putih – Pengeragoan, sungguh membutuhkan konsentrasi tinggi, dan, aku tidak ingin menembus hutan dalam kondisi gelap malam hari, berbahaya.
Well. Bersyukur, aku tiba di Batuaji, Kerambitan, pukul 7 malam. Para kerabat belum tertidur. Aku masih sempat bercengkerama dengan Dewa Kadek Dwipayana, Sak De, para dewa biyang, alias bibi. Selalu menyenangkan, berkumpul dengan banyak orang, para sanak keluarga, bertukar ceritera dan berdiskusi bersama. Karya Ngenteg Linggih di Pura Dalem Batuaji Kerambitan berpuncak pada hari Selasa, 23 Oktober 2012. Medeeng diadakan hari Minggu, 21 Oktober. Karya akan berakhir pada tanggal 3 November. Beragam daerah dimana sanak keluarga dan handai taulan berada, sudah disebarkan informasi ini, dan banyak yang pulang kampong. Ah, kakak dan adik-adikku tidak bisa pulang. Mereka jauh tersebar dimana2, di Jakarta, di Pontianak. Hmmm, entah dimana pun berada, entah apa pun ragam situasi dan kondisinya, aku yakin, kampung halaman, leluhur dan keluarga, akan selalu di hati mereka. Semoga kami semua selalu diberkati dan dibimbing, dalam beragam situasi dan kondisi……
Pukul 9 malam, aku tiba di rumah dengan perasaan bahagia, meski tubuh lelah dan keringat kotor di sekujur tubuhku. Misi ku tuntas hari ini. Aku, bukanlah perempuan cerdas, bukan pula perempuan hebat. Hanya seorang perempuan biasa. Namun, telah kutaklukkan diriku sendiri, kutaklukkan kekhawatiran dan ketakutanku, untuk menjalani hari-hari, dan menemukan berbagai tantangan yang ada dalam kehidupan. Aku siap hadapi apapun itu. Suka maupun duka, sakit dan bahagia, sedikit atau banyak. Kuyakini, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, akan selalu menyertai setiap jejak langkahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar