Bersama
Ibu Ayu dan Jero Candra Saat Pameran Lukisan, Senin 3 Desember 2018
Bagaimana rasanya
menjadi perempuan yang berkarya, eksis dalam dunia seni, di tengah dominasi
kaum pria ? Salah satunya seperti saat Pameran Lukisan di Museum Ratna Wartha, Senin
sore, 3 Desember 2018. Kutemui ibu Jero
Candra bersama ibu I Gusti Agung Ayu Istri Agung di tengah Himpunan Seniman
Ratna Wartha yang ikut dalam pameran kali ini. Dua orang perempuan dari 13
seniman yang ber pameran bersama, hingga 20 Januari 2019.
“Saya menyertakan
beberapa karya saya kali ini. Namun saya tidak bisa bertutur tentang lukisan,
biarlah, lukisan saya yang berceritera”. Ujar ibu I Gusti Agung Ayu Istri Agung.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Jero Candra. Beliau hanya tersenyum manis
saat kuminta menyampaikan pendapat tentang karya seni yang disertakan pada
pameran lukisan kali ini. Namun saat kupancing lebih jauh, keluar tutur kata mengalir
bak hasrat yang terpendam, tentang keinginan, tentang pengalaman, tentang
cita-cita dimasa depan, tentang budaya dan corak ragam kehidupan, tentang dunia
seni yang tumbuh di sekitar mereka, yang akhirnya menjelma menjadi belasan seni
lukis berbingkai kecil dan besar hasil karya mereka.
Ibu Jero Candra
bertutur tentang karyanya yang mencerminkan kegalauan, keresahan, kelelahan,
segala keinginan, ide dan persepsi diri sendiri, dunia romantika yang terkadang
terbelenggu oleh norma masyarakat. Dia merasa memperoleh kedamaian dengan ber
meditasi, ber kontemplasi dalam dunia seni lukis, menuangkan seluruh ide dan
daya nalar, juga kreativitas, dengan melukis. Muncullah sapuan kuas dalam wujud
beraneka rupa, warna warni ceria, alam pegunungan, orang, sawah dan pepohonan. Yang
kulihat adalah cita rasa jenaka dan kanak-kanak yang penuh dengan keceriaan.
Mengamati hasil karya
Jero Candra dalam ukuran kecil tersebut memberikan nuansa kebahagiaan karena
tertular kejenakaan dalam pola yang mudah dicerna, juga warna-warni komposisi
rasa pada setiap karyanya. Mengingatkan pada “Rumah”. Karya seni lukisnya
menggambarkan kehangatan sebuah rumah. Ya, terkadang kita perlu kembali pada
jati diri yang paling hakiki, yakni diri sendiri. Hasil seni lukis beliau
mengingatkan akan nuansa yang begitu akrab, seolah tidak asing, dunia
kanak-kanak, dunia rumah….
Ibu Ayu, panggilan bagi
Ibu I Gusti Agung Ayu Istri Agung, memperlihatkan sapuan kuas yang lebih
detail. “Saya membutuhkan waktu rata-rata lebih dari satu hingga dua bulan
dalam menyelesaikan karya”. Tutur beliau. Sama seperti perempuan lain juga,
dinamika kehidupan membuat mereka yang sudah berkeluarga tidak dapat terlepas
dari urusan berumah tangga dan bermasyarakat. Sehingga mungkin saja membatasi
waktu sepenuhnya dalam berkarya untuk menuntaskan sebuah produk seni. Apalagi
ditambah dengan keteguhan hati Ibu Ayu untuk mengurai setiap detail pada karya
seni yang dihasilkan, menyelesaikan tiap noktah, tiap komposisi warna, tiap
detail garis dengan rapi, turut berperan dalam lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan sebuah lukisan. Tidak heran bila ibu Ayu adalah pelukis
perempuan yang perfeksionis dalam mengolah setiap pola garis, gerakan, tata
sistemik yang tertanam pada lukisannya, dan berdampak pada lamanya waktu yang
dibutuhkan bagi karya seni lukisnya.
Disiplin dan konsisten
dalam berkarya. Hal ini yang ingin dijabarkan oleh Jero Candra dan Ibu I Gusti
Agung Ayu Istri Agung dari lukisan hasil karya mereka. Seniman bukan hanya
sekedar berkarya selintas lalu belaka. Entah itu dalam langgam jenaka dan
ceria, maupun penekanan mendalam di setiap detailnya, pelukis perempuan
mewujudkan aspirasi mereka pada karya nyata. Pelukis perempuan bisa menjadi sosok
nyata dengan multi talenta, menggerakkan aspirasi banyak pihak lain, untuk
menerima hasil karya lukis mereka, atau mengolahnya menjadi rasa yang bergulir
mengalir di dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar