“Di Ubud tidak ada kerajaan. Tidak
ada raja. Jika kita salah menulis, kawitan bisa marah. Masyarakat mendapat
pencerahan yang salah. Menulis harus sesuai dengan fakta dan prasasti- prasasti
raja-raja Bali”. Seseorang berpendapat
dan melontarkan kritik terhadap tulisanku. Wow. Sungguh, sesuatu bahan masukan
yang mencerahkan. Mengapa harus resah dan gundah jika karya kita mendapat saran
dan masukan, jika seseorang berdiskusi terkait karya tulis dan diri kita.
Buku yang ditulis oleh Jean Couteau
berjudul Gung Rai: Kisah Sebuah Museum ( ) menjelaskan bahwa pada tahun 1685,
mulai berkembang sebuah puri megah di tempat yang sebelumnya dinamai Desa
Timbul, dan berganti nama menjadi Sukawati, dengan penguasa Ida I Dewa Agung
Anom Wirya, alias Sri Wirya Sirikan. Berikutnya yang terjadi adalah
berbondong-bondong seniman dari Klungkung berdatangan ke Sukawati, dan menjadi
warisan budaya luhur yang tiada tergantikan hingga kini.
Banyak rujukan yang menguraikan
tentang kehadiran keturunan salah satu Dalem di daerah Peliatan. Percaturan politik,
kekuasaan, pemerintahan yang mewarnai masyarakat Bali tatkala itu, terjadi
semenjak Patih Gusti Agung Maruti mengambil alih kekuasaan Gelgel pada tahun
1665. Pertikaian dan perpecahan para satria Dalem yang mampu diredam tahun 1686
ini, menjadi penyebab runtuhnya kerajaan Klungkung / Gelgel di masa Raja Agung
Dalem Dimade, sebelum kemudian mereka kembali bersatu dan mengalahkan kekuasaan
Agung Maruti.
Kemenangan tersebut membuat raja
Klungkung memberikan kesempatan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil lain secara
otonom, seperti Badung, Gianyar, Tabanan, Mengwi, Buleleng, Jembrana, Bangli,
Karangasem, dan lain-lainnya. Kerajaan Klungkung kemudian lebih cenderung
memfokuskan pada permasalahan adat.
Data lain menyatakan bahwa Kerajaan
Sukawati yang berlokasi di Gianyar Bali mulai berdiri semenjak Tahun Saka 1633,
atau sekitar 1711 Masehi, di bawah pimpinan I Dewa Agung Anom Sirikan (Babad
Dalem versi 8).
Memasuki awal abad 19, terjadi
pergolakan antara raja-raja di Bali dengan pihak Belanda. Terjadi peristiwa
Puputan Badung 1906, Puputan Klungkung 1908, Peperangan Buleleng, Karangasem.
Tekanan dunia internasional kemudian membuat pihak Belanda melakukan politik
Baliseering, suatu teknik dan kebijakan politik yang berupaya mengembalikan
kemurnian Bali, dengan alam, adat istiadat, kondisi kemasyarakatan kembali
seperti semula. Hal ini merupakan wujud tanggungjawab pihak Belanda pada lokasi
dimana mereka berada dan tuntutan dunia.
“Jangan pernah takut untuk
berbicara, menulis, terus berkarya, berbuat baik pada semesta. Tetaplah
bersemangat menghasilkan tulisan.
Sejarah adalah dialog tanpa akhir. Dan, sejarah perlu direvisi, akan
senantiasa diperdebatkan, diskusi yang terus bergulir, dengan beragam bukti
yang mendukungnya”. Ujar Dr. Wayan Tagel Eddy, MS., di kala senja, sambil
menyeruput secangkir kopi Bali.
Ah, kopi ku terasa manis meski tanpa
gula sore ini……
Apapun bentuk
perjuangan, seberapa banyak proses perjalanan yang harus kita lalui, hal ini
menggambarkan konsep Rwa Bhinneda akan selalu ada di tengah masyarakat. Biarkan
orang menilai, berikan kesempatan untuk berkreasi, mendukung, mengkritik, memberi
saran, dan membuka proses perkembangan menjadi semakin baik lagi dalam berbagai
bidang kehidupan, baik ideologi, politik, religi, seni, budaya, ekonomi, sosial……
Hal ini pula yang ingin
dikumandangkan oleh Yayasan Ratna Wartha yang terletak di Desa Sayan, Kecamatan
Ubud, Kabupaten Gianyar. Yayasan Ratna Wartha berdiri semenjak 1953 dengan
tujuan memberikan apresiasi bagi para seniman dan mengembangkan budaya Bali.
Januari 1954, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo meresmikan Museum Ratna Wartha terletak di jalan
Raya Ubud, Gianyar, Bali, Indonesia, Ubud, Bali. Museum Ratna Wartha memiliki
sejarah yang begitu penting mengenai perkembangan seni di Bali. Di dalam museum
ini terdapat berbagai koleksi patung dan lukisan. Lukisan yang berada di dalam
museum ini sebagian besar menggambarkan suasana dari kehidupan masyarakat Bali
dan cerita kisah-kisah pewayangan. Museum yang terbagi atas 4 bangunan terpisah
ini secara keseluruhannya digunakan untuk memajang serta menyimpan beragam
koleksi lukisan-lukisan dan juga patung.
Sudah saatnya Puri menjadi lebih luwes, terbuka, dan garda
terdepan dalam mengembangkan masyarakat di bidang Parhyangan, Palemahan, dan
Pawongan. Bentuk perjuangan kita beda, bukan lagi di jaman kerajaan, bukan pula
di jaman Belanda, Jepang, namun disesuaikan dengan jaman. Era kekinian menuntut
kita mampu memahami dinamika yang menggelegak, membuncah, mengarahkan
masyarakat untuk tidak hanya berdiam diri menjadi penonton. Masyarakat Bali
yang dinamis, yang kreatif, yang modern, yang mandiri, adalah masyarakat Bali
yang Madani. Dan, Puri berdiri bersama mereka, untuk tumbuh berkembang bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar