Tidak mudah menikmati
karya I Made Supena.
“A painting in a museum
hears more ridiculous opinions than anything else in the world”. Edmond de
Goncourt.
Selintas bayang
menikmati karya seni se kaliber beliau, tak berhasil kurangkum rangkaian kata
bermakna, bahkan, untuk mematahkan argumen tentang rasa yang sejenak hadir.
I Made Supena tidak
bisa disamakan dengan Mark Rothko, Jackson Pollock, Willem de Kooning, Clyford
Still, Bornet Newman, Robert Montherwell, atau bahkan yang lainnya. Dia bukan
satu dari mereka, karena I Made Supena memiliki genre tersendiri.
Cosmo.com mengatakan terdapat
tujuh aliran seni rupa yang berawal dari gerakan budaya yang maha luas
berkembang di permukaan bumi. Baik impresionisme, surealis, ekspresionisme,
abstraksionisme, pointilisme, dan kubisme. Yang lain bahkan mengatakan, setidaknya terdapatt 20
aliran seni lukis berbasis surealis, baik non figuratif dan abstrak kubistis,
romantisme, ekspresionisme, impresionisme, pointilisme, fauvisme, realisme,
naturalisme, abstraksionisme, futurisme, klasikisme, konstrukisme, dadaisme,
populer art, optik, primitif, pittura metafisica, kontemporer / posmo /
posmodern, dan gotik.
Perkembangan seni rupa
modern di dunia yang terbagi menjadi kubisme, fauvisme, dadaisme, futurisme,
surealis, kontemporer, popular art, abstrakisme, atau apapun, menunjukkan bahwa
seni tidak akan pernah berhenti, selalu mengalir seiring kerkembangan yang
terjadi dari seniman itu sendiri, juga di dalam llingkungan dimana dia
bertumbuh dan berkembang. Hal ini yang terlihat dari karya awal I Made Supena,
hingga karya nya yang termutakhir, “Number”, yang juga menjadi cover dari
katalog pameran nya kali ini. Abstrak sekalipun, tetap menunjukkan perkembangan
dari waktu ke waktu. Pematangan dalam permainan kuas, bentuk yang dihasilkan,
hingga makna lukisan bagi pelukis, bisa bertutur tentang proses yang harus
dijalani hingga sebuah karya dinyatakan tuntas.
Karya I Made Supena
adalah karya yang berbicara tentang dirinya, sepenuhnya ide yang mengalir dari
dalam diri, dengan segala kegelisahan, keegoisan, keartistikan, estetika,
aritmatika, makna, yang mengalir tersirat dan tersurat di atas kanvasnya.
Aku lebih suka menyebut
karyanya bergenre abstrak, yang terwujud dari fantasi, mimpi, emosi, rasa, ego,
cita, cinta, juga pandangan terhadap lingkungan sekitar, dengan sesama, dan
hubungan nya dengan Tuhan. “Ya, lukisan saya menggambarkan budaya masyarakat
yang tidak bisa terlepas dari Tri Hita Karana. Bagaimana kita bisa bergaul
dengan masyarakat sekitar, dengan alam semesta, dan dengan Beliau, Tuhan Yang
Maha Kuasa”, ujar I Made Supena.
Menikmati karyanya,
tidak cukup hanya berdiam diri sejenak, menatap hamparan pemandangan yang
tersaji dalam jangkauan pandang. Menikmati karyanya membutuhkan pemahaman
beruntun, tentang proses pembuatan, tentang guratan yang hadir, tentang pulasan
warna, tentang makna yang menggugah rasa yang hadir setelah puas bercumbu
dengan karyanya. Maka, penikmat seni akan memahami nilai yang terkandung dari
hamparan pemandangan tersaji di atas kanvas tersebut.
“Karya saya berbicara
tentang kegundahan terhadap lingkungan sosial, terhadap ketatanan yang
terkadang kaku dan tidak berpihak pada banyak orang, sebagai cermin jiwa saya”,
ujarnya saat kutanya, mengapa dalam karyanya kulihat terkadang tersirat
inkonsistensi sistemik, yang tidak sampai di nalar orang-orang biasa sepertiku.
Bahkan, setelah rehat
sejenak dengan secangkir kopi, kemudian lanjut menatap karya lukisnya, akan
berjumpa rasa WOW. Inilah yang disampaikan Master Pemasaran, Hermawan
Kartajaya, tentang produk yang mampu menyentuh rasa publik. Karya I Made Supena
telah mampu menyentuh titik emosi, puncak ego, rasa yang paling dalam dari para
penikmat seninya. Ia memiliki kalangannya tersendiri, yang berbeda dari penikmat
seni pada umumnya.
Pengalaman matang
berpuluh tahun sebagai seniman seni lukis telah membuat beliau teruji dalam
berbagai kriteria pelukis sehingga layak disebut Sang Pelukis Pakar. Dengan
beragam pola hingga proses akhir yang dilakukannya.
Terlahir di Singapadu
Gianyar, beliau kental dengan nuansa seni sebagaimana masyarakat Gianyar lain.
Lagipula didukung oleh kehidupan keluarga seniman, dengan sang ayah, Ketut
Muja, yang pematung surealis nan kreatif. Pendidikan Seni yang ditempuh di FSRD
UNUD, kini ISI Denpasar, semakin mematangkan pola pikir dan kreasi yang
tercipta pada setiap karyanya. Puluhan kali pameran bersama semenjak tahun 1991,
dan 12 kali pameran tunggal, baik di dalam maupun di luar negeri, telah
memperlihatkan kualitas pengalaman I Made Supena.Ia bukan peniru, tidak gampang
dipengaruhi oleh seniman lain. I Made Supena memiliki ciri khas tersendiri.
Karya nya bertutur indah
tentang alam bali, pesona yang menggoda bagi banyak orang, tertuang dalam warna
warni indah hasil kuas dari jari tangan I Made Supena. “Saya juga ingin
menitipkan pesan tentang moral kita, tanggungjawab masyakarat pada lingkungan,
kepedulian akan lingkungan, apalagi sampah, kasus politik, termasuk pesan akan
pentinngnya pendidikan bagi anak, \suatu proses yang tiada henti. Angka yang
ada di dalam lukisan tidak hanya sekedar angka. Lagipula, hidup kita takkan
pernah terlewatkan dari peranan angka, bukan?”
Sungguh, perlu waktu
untuk memandang, menikmati, mencumbui, dan memahami serta memakmai, kemudian mengupas
karya-karya beliau. Angkat segelas kopi lagi, dan, WOW bagi I Made Supena,
telah menggugah rasa para penikmat seninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar