Piodalan ring Nyalian, Anggarakasih Julungwangi, 11 Desember 2018
Pujawali, Petoyan atau
Petirtaan, Piodalan Pura, merupakan salah satu bentuk rangkaian upacara
pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Piodalan termasuk dalam kelompok
upacara Dewa Yadnya, yang ditujukan pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Piodalan adalah wujud bhakti sebagai usaha
umat manusia dalam mencapai jagadhita, kedamaian dan kesejahteraan dunia,
dilaksanakan dengan persembahyangan bersama, dipimpin oleh pemangku di tempat
suci, Pura.
Piodalan berasal dari
kata “wedal / medal”, memiliki arti mengeluarkan, menyucikan, melinggihkan,
Nglinggayang, Ngerekayang, Ngadegang berbagai pretima, bentuk, simbol, lambang
benda suci. Pelaksanaan Piodalan diawali dengan pesucian Ida Bethare, pretima,
di Pura Beji oleh pemangku atau sulinggih. Piodalan atau perayaan hari suci ini
disesuaikan berdasar atas sasih, wuku atau pawukon, dan lain lainnya.
Upacara Yadnya dalam
bentuk persembahan suci dengan ketulusikhlasan orang-orang yang terlibat dalam
pelaksanaan yadnya. Ngayah sebagai penerapan ajaran karma marga yang
dilaksanakan secara gotong royong. Mepeed, iring-iringan dengan gebogan yang
dihaturkan bagi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai rasa syukur atas rejeki yang
kita nikmati. Sembahyang bersama sebagai penerapan ajaran Hindu Dharma.
Kali ini bersama
keluarga besar suami di Klungkung. Kami merupakan warga keturunan Gede Tanjung.
Piodalan di Sanggah Dadia kami, bertempat di Banjar Kapit, Desa Nyalian,
Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali, berlangsung setiap
Anggara Kasih Julungwangi.
Pada abad ke 17, ada
sebuah kerajaan di Taman Bali yang diperintahkan oleh seorang raja yang bernama
I Dewa Gde Ngurah Den Bencingah. Salah satu putra beliau bernama I Dewa Ketut
Kaler yang berstana di Desa Getakan dengan dua buah sungai yang membelah desa,
yakni Sungai Bubuh dan Sungai Melangit.
Babad Ksatria Taman
Bali yang berbahasa Jawa Kuna, dan tersimpan rapi di Museum Gedong Kirtya
Singaraja, menuturkan bahwa tersebutlah kisah Bhatara Subali yang bersaudara
dengan Dalem Bhatara Sekar Angsana. Bhatara Subali berstana di Tohlangkir, dan
Bhatara Sekar Angsana berstana di Pura Dasar Gelgel. Mereka juga bersaudara
dengan Sang Hyang Aji Rembat (penawing) yang berstana di Kentelgumi. Sang Hyang
Aji Rembat berputra Ida Mas Kuning, yang berstana di Guliang, dan Bukit
Pangelengan. https://www.dalemsilaadri.com/babad-ksatria-taman-bali
Data referensi lain
memperlihatkan bahwa Warga Banjar Kapit,
Nyalian, Klungkung, mayoritas merupakan keturunan prajurit dari Desa Keramas,
Gianyar. Mereka dikirim sebanyak 150 orang prajurit, bersama Kulkul Puri
Keramas yang bernama I Macan Poleng. Peristiwanya terjadi sekitar tahun 1855 –
1860, di bawah pimpinan I Gusti Agung Gede Anom
dan I Gusti Agung Garong dari Puri Keramas.
Desa Nyalian terdiri
dari empat Desa Pekraman dan 8 Dusun atau Banjar. Desa Pekraman Setra Kangin,
Desa Pekraman Pemenang, Desa Pekraman Umanyar, dan Desa Pekraman Tegalwangi. Desa
Pekraman Setra Kangin terdiri dari lima Banjar Adat / Dusun, yakni Banjar /
Dusun Pekandelan, Banjar Kelodan, Banjar Geria, Banjar Kapit dan Banjar Dukuh,
Desa Pekraman Pemenang terdiri dari Banjar Adat / Dusun Pemenang, Desa Pekraman
Umanyar terdiri dari Banjar Adat / Dusun Umanyar, dan Desa Pekraman Tegalwangi terdiri
dari Banjar Adat / Dusun Tegalwangi..
Sehari sebelum hari
raya suci piodalan berlangsung, pretima di junjung oleh anggota keluarga yang
hadir di sanggah dadia, pura keluarga, dibawa berkeliling di dalam pura, searah
jarum jam, sebanyak tiga kali, lalu kemudian dilinggihkan, dilinggakan tepat di
tengah pura, sebelum bersama kami bersembahyang bersama, sebagai pertanda
penghormatan terhadap leluhur, terhadap Tuhan yang telah memberi rejeki dan
melindungi serta membimbing di setiap jejak langkah dalam kehidupan.
Piodalan yang
berlangsung setiap enam bulan kalender Bali, mempersatukan kami yang berasal
dari berbagai lokasi tempat tinggal, dari Jawa, dari Buleleng, dari Denpasar,
dari Mengwi, dari Klungkung. Berkumpul bersama, beberapa hari, mejejahitan,
nanding banten, mundut atau menyungsung pretima, megibung bersama, sebelum
akhirnya berpisah dan kembali ke rumah masing-masing melanjutkan aktivitas
secara terpisah, dan kembali berjumpa enam bulan berikutnya.
Kita ada karena leluhur
kita, karena kekuatan bersama, saling mendukung satu sama lain, berkumpul dalam
sejuta aktivitas, dengan setiap suka dan duka yang hadir, baik atau buruk
adalah bagian dari diri kita, tidak bisa hidup sendiri di permukaan bumi. Ada
keluarga, ada sahabat, ada kerabat, dan, inilah yang melengkapi kita pula.
Semangat keberagaman dalam kebersamaan, di setiap doa yang kita panjatkan, entah
di masa lalu, kini dan juga nanti, terima kasih, Tuhan, jadikan kami manusia
yang bijak dan dewasa dalam bertutur kata, dalam bertindak……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar