“Maladjustment” at
Neka Museum in October, 26th – to November 25 th. Mary Lou Pavlovic,
Arahmaiani, IGAK Murniasih. Art Exhibition as part of Ubud Writters Festival.
Exhibition Program: Saturday, 26 October. 17.00 pm. Opening by The Founder The
Neka Art Museum, Mr. JMK Pande Wayan Suteja Neka.
Tubuh
menurut Saidi (2007: 246) adalah sebuah wujud yang sangat kompleks. Tubuh tidak
bisa didefinisikan sebatas fakta biologis atau entitas organik sebagai kerangka
fisik belaka. Tubuh memiliki rujukan ke dalam dunia sosial, budaya, politik, psikologi,
filsafat, dan lain-lain. Tubuh yang kurus, misalnya, tidak hanya memiliki acuan
biologis atau medis bahwa tubuh bersangkutan berarti kekurangan gizi atau
mengidap penyakit. Secara semiotik, tubuh yang kurus bisa mengacu pada
kemiskinan (sosial), banyak persoalan (psikologis), diet (keindahan), dan
bahkan juga kebugaran (biologis). Sebaliknya, tubuh yang gendut (perut) tidak
hanya berarti kelebihan kolesterol (kesehatan), tetapi juga bisa bermakna
kerakusan (sosial), kebahagiaan (ekonomi & spiritual).
“Tubuh kita, dengan bagian-bagiannya,
dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif,
politik dan ekonomi, seksual, moral, dan seringkali kontroversial; begitu pula
dengan atribut-atribut, fungsi tubuh, kondisi tubuh, dan indera-inderanya.
Tinggi dan berat badan, aktivitas makan dan minum, bercinta, bentuk tubuh dan
bahasa tubuh, dengan bermacam-macam penyakit yang menderanya seperti flu atau
AIDS, semua ini tidak hanya sekedar fenomena fisik, melainkan juga berdimensi
sosial”. (Synott, 2003: 22)
Uraian
tersebut menjelaskan bahwa manusia berinteraksi satu sama lain dengan berbagai
cara, juga melibatkan beragam simbol. Tubuh sebagai wujud dengan segala
kompleksitasnya juga mengekspresikan pola interaksi yang terjadi, manusia
menyatakan diri melalui karya seni yang dihasilkan. Berbagai sudut pandang yang
berbeda mengakibatkan multi tafsir terhadap beragam karya seni. Dinamika ini menggambarkan kompleksitas interaksi yang terjadi.
IGAK
Murniasih tidak cuma bermain dengan konsep atau ide, juga pemikiran tentang seni
rupa. Beliau merasakan, mengalami, terlibat, tidak hanya sebatas wacana, namun
juga keterpinggiran akibat kuasa yang berlaku pada dirinya. Baik itu berupa perkosaan
yang pernah dialaminya saat masih kanak-kanak, pelecehan yang dilakukan bahkan
oleh suami yang dihormati, yang harusnya membimbing dan melindungi istri, juga
empati atas beragam kasus serupa yang dialami kaum perempuan lainnya. Maka
karya seninya penuh dengan nuansa ekspresi kesaksian atas sejarah kelam pengalaman yang menyakitkan bagi
kaum perempuan, suatu trauma yang tidak terlupakan, diungkap pada berbagai
karya seni. Dalam hal ini, seni sebagai simbol dalam berinteraksi dengan orang
lain, dijadikan penyaluran hasrat, kesaksian, dan perlawanan dari perupa yang
meninggal pada tahun 2006 ini.
Sejarah
panjang perjalanan hidup manusia tidak akan pernah terbebas dari bahasan
mengenai perempuan dan interaksi yang dilakukan. Interaksi simbolik yang
terjadi merupakan narasi yang tidak pernah terhenti untuk disajikan, karena
melibatkan berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain secara
berkesinambungan. Arahmaiani menjadikan tubuh sebagai sarana mengeksplorasi
beragam simbol tersebut, hasrat, emosi, kebebasan, ketergantungan, kekangan sistem
terhadap kreativitas perempuan, harapan, dan mitos yang berlaku pada kaum
perempuan dari lingkungan masyarakat di sekeliling nya. Baginya, tubuh adalah
wadah tepat dalam menyajikan karya seni yang dimiliki seorang seniman, karena
tubuh sangat ekspresif dan tidak akan pernah berbohong dalam menyajikan gagasan
serta kreativitas pemiliknya. Arahmaiani adalah
seniman Indonesia kelahiran Bandung yang berbasis di Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Arahmaiani adalah salah satu figur penting
dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Ia merupakan salah satu
pelopor dalam perkembangan performance art di Indonesia dan Asia Tenggara.
Ini
yang disebut oleh Saidi (2007) tubuh merupakan salah satu bentuk dalam
mengekspresikan kebebasan jiwa, dan mengeksplorasi kreativitas yang dimiliki,
menembus batas mitos dan system budaya yang berlaku di tengah masyarakat. Dan Arahmaiani
telah sukses mewujudkan hal tersebut. Baginya, seni tidak akan pernah mati,
tidak mampu dikekang, juga mengekspresikan jiwa pemiliknya, juga budaya yang
berlaku di tengah masyarakat.
Mary
Lou Pavlovic merupakan seorang seniman yang tinggal dan sekaligus bekerja di
Bali juga Australia. Pada tahun 2015 dia menyelesai PhD. Di Monash University
di Melbourne. Karya seninya menggambarkan kekaguman terhadap alam Bali yang
natural dan artistik. Banyak proyek yang dilakukan terkait dengan karya seni bersama
orang-orang yang sedang berada dibalik penjara atau dalam masa penahanan.
Misalnya, di penjara yang berada di Bangli, di Yogya. Beberapa karya seni
Pavlovic hadir secara eksklusif di Musum Tony Raka di Ubud. Proyek seni yang
dilakukannya berawal pada tahun 2015 bersama para narapidana di Bangli. Namun
hal ini bukan yang pertama kali, karena sebelumnya sudah ada seniman Indonesia,
Angki Purbandono, dengan proyek seni “Prison Art Programs” pada tahun 2013,
yang melibatkan para narapidana untuk mengekspresikan diri melaui beragam karya
seni.
karya Mary Lou Pavlovic
Uraian
di atas menjelaskan bahwa tubuh merupakan sarana mengeksplorasi semangat dan
jiwa seni yang ada pada diri seseorang, tubuh menjadi salah satu aspek simbolik
dalam mengisahkan berbagai kisah kemanusiaan; dengan kata lain, tubuh manusia merupakan
sesuatu yang naratif, yang bertutur mengenai sejarah perjalanan manusia itu
sendiri. Serangkaian karya seni yang hadir pada pameran bertajuk Maladjustment,
bertempat di Museum Neka, dari tanggal 26 Oktober – 25 November 2019, dari Mary
Lou Pavlovic, Arahmaiani dan IGAK Murniasih, memperlihatkan adakalanya di suatu
saat, kita gagal dalam menyesuaikan diri, tidak mampu beradaptasi, jatuh terpuruk.
Namun, jangan takut untuk selalu berusaha. Terkadang, hidup tidak berjalan
sebagaimana mestinya, tidak seindah impian dan harapan yang kita inginkan.
Terjatuh dan tersungkur berkali, bangkit kembali berkali, lagi, dan lagi.
Hal
ini bisa dilihat dari karya seni para seniman ini, Arahmaiani, Murniasih, dan
Mary Lou Pavlovic. Mereka menjalin interaksi dengan beragam simbol yang
mengeksplorasi kehidupan, mengekspresikan semangat jiwa, kreativitas, keindahan,
hasrat, emosi, berdasar pengalaman yang dilalui. Tubuh adalah sarana, alat
adalah perantara, berbagai benda menjadi pelengkap dalam mengungkapkan segala
rasa, segala harapan, segala cinta, kegetiran yang muncul melalui berbagai
karya seni. Inilah manusia dengan beragam upaya penyesuaian diri yang
dilakukannya. Ini lah perupa perempuan dalam mengekspresikan diri, pada pameran
“Maladjustment”
Santidiwyarthi,
Nusa Dua, 15 Oktober 2019
Referensi :
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies. Teori dan
Praktik. Yogyakarta:
Bentang, h. 7.
Saidi, Acep
Iwan. 2007. Tubuh dalam Seni Rupa
Kontemporer Indonesia. 246 – 259. Bandung: Jurnal ITB: Visual Art. No. 1 D,
No. 2. 2007.
Sujono, Seko Joko.2002.
Tubuh Yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar - dasar
Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. xiv.
Synott, Anthony.
2003. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan
Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra.
http://journals.itb.ac.id/index.php/jvad/article/view/661/380
https://www.google.com/search?q=mary+lou+pavlovic&safe=strict&client=firefox-b-ab&tbm=isch&source=iu&ictx=1&
https://www.google.com/search?q=IGAK+Murniasih&safe=strict&client=firefox-b-ab&tbm=isch&source=iu&ictx=1&
https://www.google.com/search?q=arahmaiani&safe=strict&client=firefox-b-ab&tbm=isch&source=iu&ictx=1&
https://www.google.com/search?q=mary+lou+pavlovic&safe=strict&client=firefox-b-ab&tbm=isch&source=iu&ictx=1&
https://www.google.com/search?q=IGAK+Murniasih&safe=strict&client=firefox-b-ab&tbm=isch&source=iu&ictx=1&
https://www.google.com/search?q=arahmaiani&safe=strict&client=firefox-b-ab&tbm=isch&source=iu&ictx=1&
Tidak ada komentar:
Posting Komentar