Stigma keindahan
memiliki ambang batas absurd yang berbeda dalam diri masing-masing kita.
Tampilan indah dan cantik merupakan suatu meta narasi tiada henti yang selalu
mengalir untuk dikupas berkali-kali. Hal ini yang ingin ditampilkan oleh Ubud
Writers and Readers Festival. Dan, salah satu event yang digelar terkait Ubud
Writers and Readers Festival adalah Pameran Seni Rupa di Museum Neka,
berlangsung dari tanggal 26 Oktober hingga 25 November 2019.
Setelah enam belas kali
menggelar event ini, ajang bergengsi ini mampu tampil menarik sesuai rangkaian
pengalaman dalam menangani dan melibatkan berbagai pihak, dari berbagai penjuru
dunia. Terbukti dari 180 an lebih para pakar penulis yang berafiliasi, dengan
30 an Negara yang terlibat dalam penyelenggaraannya, panitia Ubud Writers and
Readers Festival mampu mengemas beragam kegiatan yang memancing gairah semangat
eksotik dari berbagai pihak yang terlibat.
Maladjustment yang
berlangsung di Museum Neka dan dibuka pada hari Sabtu, 26 Oktober,
memperlihatkan keindahan absurd perupa perempuan yang terlibat di dalamnya.
Inilah pembongkaran makna yang telah berlaku di tengah masyarakat selama ini.
Betapa, pembalut perempuan yang dipergunakan saat menstruasi justru ditampilkan
sebagai latar dari karya Arahmaiani. Terdapat lebih dari enam ratus pembalut di
sekeliling karyanya, menjadi latar buah seni, dengan dihiasi lampu sorot yang
membuat seolah karya tersebut berada di tengah hamparan busa indah nan empuk.
“Saya ingin menampilkan
keindahan karya bagi saya. Hal yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan,
dibahas terbuka, justru bisa tampil vulgar. Ratusan pembalut hadir disini,
dihiasi cahaya yang membuatnya tampil menarik dan eksotik”, ujar Arahmaiani
saat diwawancarai, 26 Oktober 2019.
IGAK Murniasih
menampilkan lukisan bagian belakang tubuh, dengan pola tubuh perempuan yang
seolah membelakangi penikmat karyanya, menungging, sehingga bagian pantat
tergambar dalam pola tersebut. ”Murniasih sudah berada di langit biru, namun
mendapat tempat tersendiri bagi para penikmat karyanya. Inilah gambaran
kepolosan, cermin keluguan dari kita semua, yang menolak wajah berpura-pura”. Ujar
JMK Pande Wayan Suteja Neka saat diminta pendapatnya.
Kita terkadang
berpura-pura, berlaku munafik, mengabaikan penyimpangan yang terjadi di
sekeliling kita, bahkan pada diri kita sebagai pelakunya. Bahasa simbolik ini
yang dibongkar ulang, di dekonstruksi oleh para perupa perempuan ini, bahwa
bagian intim tubuh kita yang terlarang untuk dibahas secara terbuka,
sesungguhnya bisa tampil apa adanya, menyeruak keluar, meski tidak diakui, terlarang
dan tabu untuk dibahas secara terbuka, namun ada, tumbuh berkembang di tengah
masyarakat.
“Beranikah anda
membahasnya? Menyuarakannya ? menyatakan secara terbuka, tanpa berlaku munafik
dan menutup mata terhadap hal ini ? meski terkadang menyakitkan, memalukan,
namun persepsi ini, perasaan ini, ada, tumbuh, mengalir, meski dalam diam,
bukan? Ini esensi dari aliran kubisme“. Ujar I Gusti Agung Ngurah Kresna
Kepakisan menyampaikan kupasan nya terkait pameran yang berlangsung tersebut.
Inilah aliran Kubisme
sebagai suatu gerakan seni avant – garde abad ke 20 yang dirintis Pablo Picasso
dan Georges Braque. Dan aliran Kubisme ini merupakan suatu gerakan seni yang
membuat revolusi di dalam karya seni, sebagai upaya menciptakan bentuk-bentuk
abstrak dari berbagai benda tiga dimensi ke media lukis dua dimensi. Aliran ini
telah membongkar habis suatu pakem yang berlaku selama ini, bahwa seni lukis
hanya wadah karya dua dimensi belaka. Aliran ini juga telah membuat shock dunia
luas, karena dengan telak telah menampar wajah kita semua, membongkar beragam
hal tabu dan tidak mungkin dinikmati dalam karya seni sesuai kriteria yang
berlaku selama ini.
Ada yang menarik ketika
menatap karya Mary Lou Pavlovic. Sosok perempuan pada karyanya, berbalut kain
berwarna merah, biru dan putih, dan terdapat tulisan liar !, Pembohong !. warna
merah, biru dan putih ini mengingatkan kita pada bendera Belanda, yang serupa
dengan bendera Rusia, juga Perancis. Ada
apa di sebalik simbol warna tersebut ?, siapa yang dicapnya sebagai pembohong ?,
apa pergulatan yang ingin ditampilkan oleh Mary Lou ini ? Siapa sasaran buah
karya nya ? Begitu banyak tanda tanya, begitu banyak persepsi yang bergantung
di dada. Terkadang kita gampang menghakimi orang lain dengan berbagai stigma,
tuduhan, yang berdasar dari persepsi dan rasa, tanpa menyelami makna di
dalamnya.
Ketiga perupa ini telah
menyajikan karya yang membuat pencinta seni harus mengernyitkan alis dengan
dalam, membongkar makna keindahan yang berlaku tentang tubuh wanita,
mendekonstruksi karya seni berdasar persepsi yang diharapkan tercipta, dan
kemudian menghancurkan batas tabu serta ruang semu dalam bahasan di ruang publik.
Ini lah aliran yang tampil apa adanya, menyeruak daya nikmat dalam diri, bahwa
langit tak selalu biru, bahwa bokong tak selalu harus tertutupi dan ditempatkan
di bawah, mempermainkan dan memporakporandakan batas norma yang berlaku
sepanjang waktu…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar