Sabtu, 24 Agustus 2013. Warga Hindu di Perumahan kami mengadakan piodalan atau pujawali di Pura Padma. Piodalan merupakan upacara Dewa Yadnya yang disebut juga pujawali. Kata wali mengandung
pengertian: wali berarti wakil dan wali berarti kembali. Wali yang
berarti wakil mengandung makna simbolis filosofis bahwa banten itu
merupakan wakil daripada isi alam semesta yang diciptakan oleh Sang
Hyang Widhi. Wali yang berarti kembali mengandung makna bahwa segala
yang ada di alam semesta ini yang diciptakan oleh Sang Hyang Widhi
dipersembahkan kembali oleh manusia kepadaNya sebgai pernyataan rasa
terimakasih
Sudah semenjak hari Rabu, 21 Agustus 2013, kami, para ibu umat Hindu, ngaturang ngayah. Ngayah bersama, mulai dari mejejahitan dan nanding bebantenan, kami lakukan di aula perumahan kami. Mulai dari pukul 7 malam hingga pukul 10 malam hari. Hal ini sudah semenjak bertahun lalu kami lakukan. Maknanya untuk mempererat persahabatan dan pertetanggaan di antara kami semua. Dari yang tidak tahu beragam hal tentang banten bagi upacara dan upakara piodalan, hingga yang paham banten, seperti ibu Ida Ayu Puspaadi, dan Ibu Laswitarini.
Aku sungguh kagum pada para ibu ini. Mereka bersungguh meluangkan waktu di tengah kesibukan urusan rumah tangga dan juga pekerjaan kantor, bersama menggalang kebersamaan menuntaskan urusan per bantenan. Mungkin, bagi sebagian orang, umat Hindu hanya menghabiskan waktu, biaya dan juga tenaga demi banten, banten dan banten, urusan upakara dan upacara. Namun, dibalik itu semua, ada makna historis, menjaga, melestarikan dan mengembangkan warisan leluhur, suatu genius local wisdom. Makna kebersamaan, dimana di kota, dengan beragam kesibukan, menyebabkan bahkan tetangga hanya sempat menyapa tetangga lainnya bila berjumpa di jalan. Makna kerja sama, karena beragam upaya dilakukan demi tercapainya hasil yang diinginkan. Makna ujian kesabaran, karena bekerjasama dan berada bersama dengan orang dari beragam latar belakang budaya, pendidikan, dan juga pengalaman.
Ibu Ida Ayu Sri Puspaadi, S.Pd., M.Si., adalah juga rekan kerjaku di Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. Di samping sibuk sebagai sesama dosen, beliau adalah seorang pakar per banten an. Dengan menjadi ibu dari tiga orang anak, tanpa pembantu, dan juga harus pulang pergi ke kampung di Tabanan dan di Gianyar, karena ada upacara ngaben di kampung, sudah tentu menjadi hal yang sangat melelahkan. Namun beliau masih menyempatkan diri meluangkan waktu untuk ngaturang ngayah bersama kami semua.
Ibu Laswitarini, juga tamatan master. Namun tidak sombong, mau tetap duduk bersama kami, mengajari kami masalah per banten an. Istri dari bapak Made Sudana ini sungguh cekatan dalam bekerja. Ada juga ibu Ngurah. Istri dari I Gusti Ngurah Putu Suarya ini adalah tipe pekerja keras yang tetap ramah dan mau memberi penjelasan mengenai mejejaitan yang tidak kami pahami. Sungguh kami senang bekerja sama dan di motivasi oleh para ibu yang penuh semangat ini.
Piodalan di Pura di lingkungan perumahan kami jatuh pada Tumpek Landep.
Sabtu Kliwon Wuku Landep. Pada Tumpek Landep, umat Hindu memuja Ida Sang
Hyang Widhi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah
menganugerahkan kecerdasan atau ketajaman pikiran sehingga mampu
menciptakan teknologi atau benda-benda yang dapat mempermudah dan
memperlancar hidup, seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer
(laptop) dan sebagainya. Tetapi dalam konteks itu umat bukanlah
menyembah mobil, komputer, tetapi memohon kepada Ida Sang Hyang Pasupati
agar benda-benda tersebut betul-betul dapat berguna bagi kehidupan
manusia.
Landep dalam Tumpek Landep memiliki pengertian lancip. Secara harfiah
diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut
dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran.
Secara sekala, benda-benda tersebut diupacarai dalam Tumpek Landep.
Namun dalam konteks kekinian, senjata lancip itu sudah meluas. Tak
hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang
dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan
sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Namun harus disadari,
dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi
umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam prebawa-nya sebagai Sang
Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut
sehingga betul-betul mempermudah hidup.
Setelah selesai ngayah selama 3 hari ber turut-turut, hari Sabtu, 24 Agustus, tiba hari dimana kami melangsungkan piodalan. Biasanya piodalan Pura berlangsung pada sore hingga malam hari, namun kali ini berlangsung pagi hari. Pinandita pemuput, bapak Mangku Made Sedana Putra, SE., MM., melangsungkan prosesi semenjak pukul 10 pagi hari.
Kami, para umat Hindu di lingkungan perumahan, sudah bersiap semenjak pukul 8 pagi, menata banten pecaruan, munggahan daksina, pejati, sodan banten, dan lain-lain perlengkapan.
Para bapak dan ibu melantunkan kidung yang melambangkan pujaan pada kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian kami bersiap melangsungkan prosesi yang pertama. Mecaru.
Upacara Mecaru bisa juga disebut Butha Yadnya, ini adalah suatu upacara untuk menjaga mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan sekitarnya, sementara caru sendiri arti nya cantik atau harmonis (kitab Samhita Swara). Pada upacara ini dibuatkan Caru/persembahan menurut kemampuan dari yang melaksanakannya. Pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala dan segala kotoran yang ada dan berharap semoga sirna semuanya dan menjadi suci kembali. Caru/persembahan berisikan atau terdiri dari; nasi manca warna (lima warna), lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Permohonan ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala agar supaya mereka tidak mengganggu umat manusia.
Butha Yadnya pada hakekatnya merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah, air, api, udara dan ether).
Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara alami maka dari kelima
unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan. Seperti kita ketahui bahwa
tumbuh-tumbuhanlah sebagai bahan dasar makanan hewan dan manusia. Kalau
keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu maka fungsinya pun juga
akan terganggu.
Upacara mecaru ini berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai
luhur dan spiritual kepada umat manusia agar selalu menjaga keharmonisan
alam, lingkungan beserta isinya (wawasan semesta alam).
Sementara makna upacara mecaru sendiri adalah kewajiban manusia merawat
alam yang diumpamakan badan raga Tuhan dalam perwujudan alam semesta
beserta isinya.
Pada malam harinya, kembali kami berkumpul di pura, bersama anggota keluarga, suami, istri, juga anak-anak, melakukan persembahyangan bersama, sekaligus menikmati hidangan yang dibikin bersama secara sederhana.