Ngewacakang.....
Adalah sebuah istilah dalam budaya masyarakat Bali yang ingin tahu mengenai latar belakang kepribadian dan kejadian, dengan bertanya kepada orang yang dianggap mampu "membaca / ngewaca". Dan ini juga yang kulakukan saat pulang kampung ke Sepang Kelod, Rabu 8 Agustus 2013 lalu.
Berkumpul bersama keluarga besar, kami sedang bersiap menghadapi rangkaian kegiatan mecaru / melaspas rumah ponakan yang di Denpasar, dan juga maotonan cucu yang akan tiba dari Kalimantan. Rangkaian banten yang sedang kami persiapkan, rentetan upacara yang bakal berjalan, dikaji ulang berkali, dan dirangkai bersama.
Aku diminta membawa pejati ke rumah Mangku Guru Kain, untuk ngewacakang cucuku, anak dari Nengah Pondal yang Polisi, dan akan tiba dari Kalimantan Barat hari Sabtu malam, tanggal 10 Agustus 2013. Maka, kugandeng simbok Kaja, Mbok Ktut Sukati, dengan pejati terselaput kain, kami naik motor bersama.
Setelah menunggu lumayan lama, karena sang mangku sedang tidak berada di tempat, akhirnya beliau tiba, dan kami beroleh hasil ngewacakang...... "Sane numadi ring Soma Ribek, Sesayut pis bolong 400, beras selem 4 kontong. Nasi selem mecacahan, siap selem mepanggang, mebase embe, mica lan jinten. Sarwa papat, taluh papat, bungan selem papat, bebuahan papat. Penyeneng lan sampian nagasari".
Ngewacakang adalah sebuah proses atau langkah kita untuk menemui seseorang yang dianggap mumpuni atau ahli, menurut
http://idabaguspramana.blogspot.com/2013/04/tugas-kompilasi-pemikirankomunikasi.html
seorang yang mempunyai wewenang secara niskala membuka sabda rahasia
manusia dengan
prakerti ( sifat bawaan), orang yang lahir pada hari tertentu, bagaimana
perawakannya, bagaimana sifat-sifatnya, bagaimana rejekinya, sakit apa
saja
yang akan menimpanya, siapa bhuta kala yang bertugas menagih hutang
secara
niskala, jika melakukan " Pengelukatan Penebasan Oton ( bayuh Oton ),
mantram apa yang dipakai dalam pengelukatan, berapa kali harus melukat
penebasan oton dalam hidupnya, 1 kali, 2 kali , 3 kali dsb.
Mantramnya adalah sebagai
berikut : “Ong Hyang Widhi, Hyang Yamadipati ngulun minta waranugraha,
wenang
ngewacakang indik pawetuan manusa lan pekerti kabeh, sane kesejatiannya
kapingit olih Dewata kabeh, tan keneng aku raja pinulah, luputa ngulun
ring
sekancan pastu kutuk, kapedrawwa dewa muang Pitara”. Bersama dengan
ini, Oh Tuhan Yang Maha Kuasa, kami semua memohon berkahMu, ingin
mengetahui sesungguhnya makna yang ada dibalik kelahiran seseorang ini,
agar tidak kena pinulah, luput dari segala kutuk, dan diberi pencerahan
oleh para leluhur........
Ngewacakang..... bagian dari Indigenous Wisdom, Genius Local Wisdom, yang menjaga hubungan kekerabatan dan persahabatan agar tetap terjalin harmonis di era globalisasi ini...... Bisa kubayangkan, bila masing-masing individu bersifat egois, mengutamakan keinginan sendiri, tidak lagi saling memperhatikan dan mengabaikan leluhur, bertemu hanya sebatas perlu saja, tanpa kualitas interaksi dengan sesama.... Aku mungkin bukan seorang pakar budaya, bukan pula seorang yang suci atau sakti mandraguna... namun dengan terlibat, meski kecil, dalam tindakan nyata nan positif, berkaitan dengan budaya, entah ritual atau agama, entah tataran utama atau ning nista sekalipun... smoga hatiku shantih, ujarku shantih, lakuku shantih...
Tuntas tugasku
ngewacakang.... bersama simbok, kami kembali ke Pangkung Singsing,
berkumpul bersama keluarga besar, dan kembali saling bertukar ceritera
bersama.... sebelum aku berpamit kembali ke Denpasar bersama Ayu pukul 6 sore hari, kembali menerobos jalanan berbatu, berkerikil, menembus bukit dan nganai, juga hutan, dan raya gilimanuk - denpasar.... tiba pukul 9 malam di pondok tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar