Rumah
tua kami di sisin pangkung, maka dikenal dengan Pangkung Singsing.
Terletak di dusun Asah Badung, Desa Sepang Kelod, Kecamatan Busungbiu,
Kabupaten Buleleng..... Di sinilah suamiku di lahirkan. Di sini pula aku
menikah 20 tahun yang lalu. Dan, di sini pula, aku memiliki keluarga
besar pula, dengan para tetua, penglingsir, para ipar, para ponakan,
para cucu, para kerabat, para tetangga, para sahabat.......
Jum'at,
18 Oktober 2013, aku kembali pulkam. PP sehari saja. Berangkat pagi
hari pukul tujuh pagi, setelah anak-anakku berangkat sekolah. Menuju
Sepang, berkaitan dengan upacara mecaru dan melaspas di rumah iparku,
juga ponakanku. Semoga sore hari nanti aku dapat kembali ke Denpasar.
Orang
banyak mungkin akan bertanya-tanya, mengapa bela-bela in untuk pulang
pergi, dalam perjalanan jauh, ke Buleleng, sendirian, tanpa ditemani
suami dan anggota keluarga lain, naik motor, menembus jalan raya
berdebu, panas, berlubang parah, dengan kerikil lepas nan berbahaya,
berkelokan curam, tanjakan dan turunan terjal di beberapa lokasi........
Namun, hidup adalah pilihan, sayang. Dan, inilah jalan hidup yang
kupilih. Aku masih tetap dapat mengurus keluarga kecilku, mencuci
pakaian di rumah, menyiapkan sarapan dan bekal bagi suami dan anak-anak
sebelum mereka berangkat sekolah, dan kemudian bepergian mengadakan
perjalanan, pulang kampung demi membantu ipar dan ponakan di kampung
yang mecaru dan melaspas rumah.
Setelah
dua jam tiga puluh menit mengendarai motor menembus jalan raya Denpasar
- Pengeragoan, menembus hutan Yeh leh Yeh Lebah di kawasan Desa Bading
Kayu, Dapdap Putih, dan akhirnya tiba di desa Sepang Kelod. Kuparkir
motor di rumah tua, di Pangkung Singsing. Tidak ada orang di sini. Para
ponakan yang tinggal di sini, pasti sedang berada di rumah iparku yang
terletak di Utara. Maka, perlahan aku meretas jalan setapak menuju ke
pondok mereka, sekitar 500 meter berjalan kaki menembus kebun penuh
dengan pohon kopi, cengkeh, kelapa.
Tiba
di rumah mereka, kulihat simbok, Ketut Ngempi, dan para ponakan, sedang
bersiap untuk melaksanakan upacara mecaru. Bli Wayan Tinggal terbaring
lemah. Kakinya terlihat membengkak. Sakit batuk berdahak yang
dideritanya, juga demam tinggi, sungguh membuatku iba. Sudah lama aku
tidak sempat berkunjung ke rumah mereka, hanya tinggal berdua saja
disini. Kuambil alat potong kuku, lalu kupotong ujung kuku jari kakinya
yang tidak pernah menggunakan alas kaki. Berikutnya, kuambil minyak
urut, dari bahan minyak kelapa, dicampur cengkeh. Perlahan ku urut bahu
dan punggungnya. Kupijat pula telapak kaki,, ujung jari kaki dan
betisnya. Semoga hangatnya campuran cengkeh pada minyak urut, dan juga
pijatan ku, akan mampu membuat aliran dan peredaran darahnya kembali
lancar, sehingga bisa kembali sehat.
Bli Wayan Tinggal sungguh tipikal seorang pria desa lugu nan pekerja
keras. Semenjak pagi sudah bekerja di ladang mereka, pulang siang hari
untuk makan siang sejenak, kemudian kembali pergi ke ladang. Meski
mereka memiliki bagian rumah yang bagus, lengkap dengan perabot rumah
tangga, namun berdua dengan simbok mereka memilih tinggal di bagian
dapur. "Biarlah rumah itu untuk tempat tinggal bila anak-anak pulang". Demikian ujar Bli Wayan.
Mereka hanya tingal berdua saja di sini. Demikian pula halnya dengan
iparku yang lain, yang tinggal di daerah Kauh dusun Asah Badung ini,
Simbok Ketut Sukati dan Bli Made Miasa. Mereka juga hanya tinggal berdua
saja, sementara sang anak sudah berkeluarga dan menetap di Jepang, nun
jauh di negeri orang.
Aku bukanlah seorang tukang urut, bahkan, aku tak pernah mempelajari
teknik tertentu dalam mengurut. Namun, yang kutahu hanyalah, bahwa
dengan memijat bisa membantu memperlancar peredaran darah, dan semoga
sirkulasi yang lancar ini akan mempercepat pulih pada kesehatan yang
maksimal pula. Semoga Tuhan membantu harapan dan usaha kami semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar