Jum'at, 18 Oktober 2013. Sukra Kajeng Kliwon Sungsang. Aku pulkam ke
Sepang. Meski hanya pulang pergi sehari saja, namun usaha untuk terlibat
menyaksikan, merestui dan memberi bantuan bagi kerabat ku di kampung
halaman.
Mecaru di rumah ipar, Simbok dan Bli Wayan
Tinggal. Kemudian di lanjutkan dengan mecaru dan melaspas di rumah
ponakanku, Ketut dan Nyoman Muliawan. Berangkat semenjak pagi hari,
setelah kutuntaskan urusan rumahtangga di Denpasar, menuju ke Sepang.
Aku berharap akan bisa tiba sore hari pula di Denpasar.
Well,
aku bahkan tidak dapat memberikan sumbangan dana bagi mereka semua
berkaitan dengan upacara mecaru dan melaspas ini. Namun upayaku
memberikan perhatian sebagai bukti kasih sayang pada seluruh kerabat,
meski kami tidak memiliki ikatan sedarah kandung. Mereka lah
saudara-saudaraku pula. Aku bahkan telah bertahun-tahun tidak bisa
menjumpai ibu kandungku yang kini tinggal sendirian di Kalimantan, juga
para saudara kandungku beserta anggota keluarga yang tersebar dimanapun
berada. Namun inti dari kisah kehidupan ini adalah bahwa hidup adalah
sebuah pilihan, dan kita yang memilih untuk menjalani dengan sepenuh
cinta kasih, sekaligus bersyukur terhadap beragam aspek kehidupan yang
ada, baik suka dan duka, lara juga pati. Dan, daripada mengutuk situasi
yang kita hadapi, aku memilih mencintai dan menikmati dengan bersungguh,
disertai dengan usaha dan kerja keras untuk menjadi semakin baik dan
damai, juga menjadi kian dewasa serta bijak....
Dua
setengah jam mengendarai motor di jalan raya, dilanjutkan dengan
berjalan kaki menembus jalan setapak dari rumah tua menuju rumah iparku
yang melaksanakan upacara melaspas, lalu kembali berjalan menuju rumah
ponakanku yang melaksanakan uacara mecaru juga melaspas. Kemudian
kembali berkendara dengan motor tua ku tercinta selama dua setengah jam
untuk kembali ke Denpasar.
Capekkah aku?? Hmmm, sudah
tentu, karena aku juga hanyalah manusia biasa, yang teramat sangat biasa
pula. Namun, semua karena cinta, demi cinta, dan, oleh cinta pada siapa
pun. Cinta, yang membuat aku menikmati dan mencintai setiap detik yang
ada dalam hidupku pula. Maka..... Sepang, I'm in Love. Tuhan, buatlah
aku menjadi kepanjangan tangan Mu, dalam memelihara cinta yang tumbuh di
dalam dada, juga menebar cinta bagi semua mahluk di dunia......
Menurut Ida Pandita Sri Bagawan Dwija dalam situs http://stitidharma.org/melaspas-rumah/
Di
saat proses membangun rumah, dan pemiliknya menunda upacara melaspas
rumah & sanggah karena keterbatasan anggaran dana, padahal sebentar
lagi Galungan, maka diperkenankan di dalam
rumah dibuatkan pelangkiran dan diaturkan banten prascita. Langkahnya
adalah dengan membuat banten prayascita, dan kemudian memohonkan tirta
prayascita kepada Sulinggih, yang kemudian dipercikkan pada rumah yang
masih dalam proses pembangunan tersebut.
Upacara dan upakara yang alit/ sederhana sebagai berikut:
1. Caru dengan nasi Panca Warna: putih,
merah, kuning, hitam, dan brunbun (campuran keempat warna itu). Nasi
diwarnai dengan pewarna seperti membuat kuwe.
Letakkan urutan warna itu dari kiri
memutar/ melingkar ke kanan, di mana warna brunbun di tengah-tengah.
Letakkan di atasnya irisan isen, jahe, dan bawang merah. Diisi juga
sedikit arak dan berem (anggur merah).
Semuanya letakkan dia tas daun pisang,
dialasi piring, di mana nasi warna putih di arah timur. Caru ditaruh di
bawah (di lantai bangunan), dihaturkan kepada Bhuta (alam semesta).
2. Banten (upakara): pengurip-urip, banyuawang, dan prayascita. Bila ini sulit membuat, pakai canang sari saja dengan dupa.
3. Setelah banten dihaturkan, sapu
tiang-tiang bangunan/ sebagian atap dengan air laut. Alat penyapunya:
daun ilalang dan daun dap-dap. Air laut adalah symbol dari Sapta
Gangga. Bila ada air asli dari Sungai Gangga, bisa gunakan itu,
sangat bagus. Bila sulit mencari ilalang dan daun dap-dap, gunakan bunga
gemitir atau bunga lain.
4. Semua tiang di-torek dengan cat berwarna: merah, putih, hitam berurutan dari atas ke bawah (torehannya kecil-kecil saja)
5. Tirta mohonkan di Padmasari yang ada di rumah, atau di pelangkiran kamar suci anda. Tirta disiratkan ke bangunan baru itu.
6. Puja, gunakan bahasa biasa saja, intinya memohon kepada Hyang Widhi agar bangunan disucikan yaitu
bahan-bahannya “dihidupkan/ diurip” agar tidak “ngeletehin” kita.
7. Setelah itu sembahyang seperti biasa.
http://paduarsana.com/tag/mecaru/
menjelaskan bahwa :
Melaspas wajib dilakukan bagi keluarga Hindu yang telah selesai mendirikan rumah tinggalnya. Selain rumah tinggal
upacara melaspas juga dilakukan terhadap bangunan lain seperti bangunan
suci(pura,merajan dll) hotel, kantor, toko bahkan kandang. Upacara
melaspas bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan bangunan secara
niskala sebelum digunakan atau ditempati. Melaspas dalam bahasa Bali
memiliki arti Mlas artinya Pisah dan Pas artinyany Cocok, penjabaran
arti Melaspas yaitu sebuah bangunan dibuat terdiri dari unsur yang
berbeda ada kayu ada pula tanah(bata) dan batu, kemudian disatukan
terbentuklah bangunan yang layak(cocok) untuk ditempati.
Upacara Melaspas wajib dilakukan Umat
Hindu di Bali dan telah menjadi tradisi hingga kini, Melaspas dilakukan
bertujuan untuk terciptanya ketenangan dan kedamaian bagi anggota
keluarga yang tinggal di rumah tersebut terhindar dari hal-hal yang
tidak diiginkan.
Tingkatan upacara melaspas, seperti halnya upacara-upacara lainnya yaitu:
- Kanista, upacara yang dilakukan paling sederhana
- Madya, Upacara yang dilakukan tergolong sedang.
- Utama, Upacara yang dilakukan tergolong besar.
Sebelumnya dilakukan upacara Melaspas, dilakukan terlebih dahulu mecaru.
- Nedunang Bhutakala
- Menghaturkan Labaan
- Mengembalikan ketempatnya masing-masing.
Selanjutnya baru dilakukan upacara Melaspas, Rangkaian upacara melaspas sebagai berikut:
- Mengucapkan orti pada mudra bangunan
- Memasang ulap ulap pada bangunan, ulap ulap dipasang tergantung jenis bangunan ( ulap ulap kertas yang ditulis dengan hurup rajahan ).
- Bila bangunan tersebut tempat suci maka dasar banguan digali lubang untuk tempatkan pedagingan, kalau bangunan utama di isi pedagingan pada puncak dan madya juga, pada bagian puncak diisi padma dari emas.
- Pangurip urip,arang bunga digoreskan pada tiap tiap bangunan (melambangkan tri murti, Brahmana, Visnu, Iswara), jadi umat Hindu Bali percaya bahwa bangunan yang didirikan tersebut menpunyai daya hidup.
- Ngayaban banten ayaban dan ngayaban pras pamlaspas yang didahului memberikan sesajen pada sanggah surya ( Batang bambu yang menjulang tinggi)
- Ngayaban caru prabot
- Ngeteg-Linggih. Bila yang di Melaspas adalah tempat suci (palinggih), lalu upacaranya di tingkat madya dan nistaning utama bisa dilaksanakan sekaligus. (Drs.I Nyoman Singgih Wikarman)
Puncak upacara melaspas umumnya disertai
dengan menancapkan tiga jenis bentuk banten yang disebut ”Orti”. Tiga
jenis banten Orti itu adalah Orti Temu, Orti Ancak dan Orti Bingin. Tiga
Orti ini menggambarkan makna dari rumah tinggal tersebut. Orti Temu
sebagai simbol yang melukiskan rumah tinggal itu setelah dipelaspas
bukan merupakan rangkaian bahan-bahan bangunan yang bersifat sekala
semata yang tak bernyawa, tetapi sudah ditemukan dengan kekuatan
spiritual yang niskala dengan upacara yadnya yang sakral. Ini artinya
rumah tinggal itu sudah hidup atau ”maurip” secara keagamaan.
Kesimpulannya, Upacara Melaspas dilakukan
bertujuan untuk memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar bagunan yang akan
ditempati diberikan anugerah keselamatan dan kerahayuan bagi semua yang
ada didalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar