Anak Agung Rai Suartini
kutemui di saat acara pembukaan pameran I Made Griyawan : Inquire Within, pada
hari Jum’at, 12 Juli 2019, di Agung Rai Museum of Art, Ubud. Beliau adalah
istri dari Anak Agung Gde Rai. Sungguh menyenangkan akhirnya bisa berjumpa
dengan nya. Karena aku percaya, selalu ada tokoh hebat nan tangguh dibalik
kesuksesan tokoh hebat. Dan, sosok Ibu Anak Agung Rai Suartini merupakan
perempuan hebat yang senantiasa mendukung setiap jejak langkah Anak Agung Gde
Rai.
Di dalam Siwatatwa,
dikenal konsep Ardanareswari, yakni simbol Tuhan dengan manifestasi setengah
Purusa dan setengah lagi Pradana. Kedudukan dan peranan Purusa disimbolkan
dengan Siwa (fungsi maskulin), kedudukan dan peranan Pradana disimbolkan dengan
Dewi Uma (fungsi feminin). Tidak ada yang akan tercipta bila kekuatan Purusa
dan Pradana tidak menyatu, memberikan bayu bagi terciptanya berbagai mahluk dan
tumbuhan yang ada.
Bersatunya pasangan
Agung Rai bersama Anak Agung Rai Suartini bersama Anak Agung Gde Rai
membuktikan betapa sejarah perjuangan panjang di dalam menjalani kehidupan akan
berbuah kebahagiaan. Pasangan yang saling mendukung satu sama lain, menjalani
beragam proses baik suka dan duka, memberikan harmonisasi di tengah keluarga
tersebut dalam beraktivitas sehari-hari, juga di tengah masyarakat.
Konsep Ardanariswari
ini menjelaskan bahwa perempuan sungguh berarti dan mulia sebagai dasar
kebahagiaan rumahtangga. Perempuan yang memberikan kemakmuran dan menegakkan
aturan dalam meraih kesejahteraan bersama, sebagaimana tercantum di dalam
Yajurveda XIV: 21. Murdha asi rad dhuva asi, Daruna dhartri asi dharani, Ayusa
twa varcase tva krsyai tva ksemaya twa. Perempuan, engkau adalah perintis,
cemerlang, pendukung yang memberi makan dan menegakkan aturan. Kami memiliki
engkau di dalam keluarga untuk memberikan usia panjang, kecemerlangan,
kemakmuran, kesuburan lahan pertanian, dan berbagai berkah lainnya.
Sungguh tidak mudah
mendampingi orang hebat, tokoh terkenal, seniman, juga budayawan, yang harus
beraktivitas sekaligus dalam banyak peran, dibutuhkan oleh masyarakat luas,
bahkan kalangan global. Ini mampu dilaksanakan oleh Ibu Anak Agung Rai
Suartini. Kepercayaan bagi suami, bapak Anak Agung Gde Rai, baik dalam hal
memberikan kesempatan luas untuk berkarya secara kreatif, bekerja dalam
berbagai bidang sekaligus untuk mengumpulkan nafkah bagi keluarga, memberikan
kesempatan luas bagi banyak orang, khususnya seniman muda, termasuk menggunakan
museum sebagai ruang pamer bagi para seniman ini, menekan ego karena begitu
banyak waktu keluarga tersisih demi masyarakat luas. Hal ini mencerminkan
kebesaran hati seorang perempuan, kebijakan dan kecerdasan yang tercermin pada
beliau. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan adalah ciptaan Tuhan di dalam
fungsi sebagai Pradana. Perempuan juga disimbolkan dengan yoni, sumber
kesuburan dan kearifan. Laki-laki merupakan ciptaan Tuhan dalam fungsi sebagai
Purusa, yang disimbolkan dengan lingga.
Anak Agung Gde Rai yang
lahir pada di Puri Kelodan, Peliatan, Ubud, pada tanggal 17 Juli 1955 merupakan
kolektor dan kurator seni ternama. Bukan hal mudah mencapai segala kesuksesan
ini hingga bisa mendirikan museum ARMA juga hotel yang bernuansakan budaya Bali
dan terkenal ke seluruh dunia. Museum ARMA diresmikan pada tahun 1996, pada
tanggal 9 Juni oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman
Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu. Bukan hanya
terkenal sebagai pengusaha dan budayawan, tokoh seniman, beliau juga dikenal
sosok sosial yang banyak memotivasi kalangan muda serta seniman yang baru
merintis karyanya.
Salah satu perjuangan
beliau bagi kaum muda, generasi penerus dunia seni dan budaya, di antaranya
adalah memboyong 100 lukisan karya 50 pelukis yang tergabung dalam Sanggar
Seniman Agung Rai pada pertengahan tahun 1989 ke Jepang di dalam pameran seni,
lukisan yang menggambarkan dunia kehidupan masyarakat sehari-hari di Bali,
budaya Bali, terkait ritual keagamaan, aktivitas kegiatan, kehidupan sosial,
dan berbagai sisi lain.
Fokus dunia seni yang dilakukan
tidak hanya bagi berbagai karya yang merupakan karya seni lukis tradisional,
namun juga kontemporer, modern, aliran Batuan, gaya Pengosekan, mulai dari Made
Wianta, Nyoman Meja, Ketut Budiana, Nyoman Suradnya, Made Budiana, Pande Gde
Supada, Djirma, Made Surita. Tjok Raka, Bendi dan Taweng.
“Saya ingin melakukan
promosi budaya, tidak hanya bali, namun juga Indonesia, tidak hanya seniman
terkenal, namun juga seniman muda. Hal ini untuk memotivasi seniman tersebut,
senantiasa berkarya, tidak hanya berpuas diri hingga disini, selalu kreatif
mengembangkan berbagai ide, juga berinovasi dalam berbagai hal” Ujar Agung Rai.
Inovasi yang dilakukan
oleh Agung Rai juga termasuk dengan memboyong rombongan seniman lukis dan
seniman tari sebagai duta seni dan budaya ke berbagai Negara. Dengan
memperlihatkan proses dari awal hingga akhir, seni lukis juga seni tari
ditampilkan di tengah para penonton atau masyarakat penikmat seni, hal ini
merupakan diplomasi budaya positif bagi Indonesia, juga Bali, di kancah
internasional.
Proses ini yang
didukung penuh oleh sang istri, Anak Agung Rai Suartini, sehingga Anak Agung
Rai bisa bebas berekspresi, berkreasi, dan juga melakukan beragam aktivitas di
bidang budaya, yang memberikan dampak positif bagi masyarakat di sekelilingnya.
Memang benar, pepatah
yang menyatakan bahwa di balik kesuksesan seseorang, terdapat orang lain yang
selalu mendukung penuh perjuangan meraih sukses tersebut. Peranan sang istri
sangat besar dalam mendukung dan memotivasi Anak Agung Gde Rai, juga dalam
membimbing keluarga tercinta, sehingga bisa kreatif dan terus berkarya. Hal ini
patut menjadi teladan dan memberikan semangat positif bagi masyarakat lain
pula.
Di dalam Padma Purana,
dijelaskan bahwa Dewa Brahma membagi setengah dirinya tatkala menciptakan Dewi
Saraswati. Bukan hanya setengah badan, namun juga setengah jiwa. Hal ini yang
dimaksud dengan konsep Ardanariswari di dalam konsep Hindu. Ini menjelaskan
bahwa wanita di dalam teologi Hindu bukan hanya sebagian kecil personifikasi
lelaki, namun juga bagian dengan kedudukan yang sama besar, sama kuat dan utuh,
sama penting dalam mewujudkan suatu kehidupan yang berbahagia. Ardha berarti
setengah, belahan yang sama. Nara artinya (manusia) laki-laki. Iswari artinya
(manusia) wanita.
Di dalam Siwatatwa,
dikenal konsep Ardanareswari, yakni simbol Tuhan dengan manifestasi setengah
Purusa dan setengah lagi Pradana. Kedudukan dan peranan Purusa disimbolkan
dengan Siwa (fungsi maskulin), kedudukan dan peranan Pradana disimbolkan dengan
Dewi Uma (fungsi feminine). Tidak ada yang akan tercipta bila kekuatan Purusa
dan Pradana tidak menyatu, memberikan bayu bagi terciptanya berbagai mahluk dan
tumbuhan yang ada.
Di dalam Manawa
Dharmasastra I:32 disebutkan: Dwidha kartwatmanodeham, Ardhena purusa bhawat,
Ardhena nari tasyam sa, Wirayama smirjat prabhu. Tuhan membagi dirinya menjadi
sebagian laki-laki, dan sebagian menjadi perempuan. DariNya terciptalah viraja
(kehidupan). Hal ini menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan lelaki dan perempuan,
dengan kesetaraan kedudukan, dan perbedaan ini untuk saling melengkapi satu
sama lainnya.
Menurut Manawa
Dharmasastra IX: 96, Prajanartha striyah srtah, Samtanartam ca manawah, Tasmat
saharano dharmah, Srutao patnya sahaditah. Uraiannya menjelaskan bahwa Tuhan
menciptakan wanita dengan tujuan untuk menjadi ibu, Laki-laki diciptakan untuk
menjadi ayah. Tujuan diciptakannya pasangan suami istri sebagai keluarga dalam
suatu upacara keagamaan sebagaimana ditetapkan menurut Weda, dalam suatu ikatan
tali pernikahan yang sah, saling melengkapi satu sama lainnya
Couteau, Jean., Wisatsana
Warih. 2013. GUNG RAI: Kisah Sebuah Museum. Jakarta: Gramedia
Sepuluh Museum Terbaik
di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar