Galungan Ku, Galungan
Mu, Galungan Kita Bersama (2)
Galungan tiba setiap
210 hari sekali, di saat Buda Kliwon Dunggulan. Galungan merupakan simbol kesadaran
kita akan jati diri sebagai umat manusia. Senjatanya adalah dengan pengetahuan,
kesadaran akan kebijakan dan kedewasaan umat manusia untuk selalu berlaku bajik
dan arif.
Dengan berbagai cara,
orang menyambut dan menjalani Hari Suci ini. Beragam simbol terkait dengan
Galungan, beragam upacara serta upakara terlibat, beragam ritual dan gaya
terpapar, beragam makna pula yang digelar …
Dari Penjor, Banten,
Lawar, Penampahan, Manis, dan semua tentang Galungan. Dari Mebat, nanding
banten, megibung, menyameberaye, numpeng, ngae base, munjung, ngejot, dan entah
berapa banyak lagi istilah serta cara yang ada. Semua di sesuaikan dengan Desa,
Kala dan Patra, keselarasan Tri Hita Karana.
Rangkaian Hari Suci
Galungan diawali semenjak Saniscara Kliwon Wariga, dengan Tumpek Wariga, Tumpek
Bubuh atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah. Masyarakat Hindu di Bali
mempercayai permohonan pada Tuhan untuk mempermudah dan melancarkan upaya
menuju Galungan, pepohonan berbuah dengan lebat, hasil kebun berlimpah, dapat
memberikan manfaat bagi banyak orang. Upacara ini disertai dengan menghaturkan
berbagai jenis bubuh sebagai bagian dari isi banten yang dihaturkan. Bubuh putih
untuk jenis tanaman umbi-umbian. Bubuh bang (merah) untuk padang-padangan /
pasture / tanaman jenis rumput / pakan ternak / kacang-kacangan. Bubuh gadang (hijau)
untuk jenis tanaman yang berkembangbiak secara generatif, seperti pisang, Bubuh
kuning untuk jenis pohon yang berkembangbiak secara vegetatif. Raingkaian
upacara juga dengan menyerukan kalimat “Dadong, Dadong. I Pekak anak kija? I
Pekak ye gelem. I Pekak gelem kenape, Dong?. I Pekak gelem. Nged, Nged, Nged”. Hal
ini menjadi simbol upaya agar tanaman berbuah dengan lebat sehingga hasilnya
bisa dipergunakan sebagai bahan upacara Galungan dan Kuningan. Tumpek Wariga
juga merupakan wujud cinta kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.
Tumpek Wariga disusul
dengan Sugihan Jawa. Sugihan Jawa dilangsungkan pada hari Kamis, Wrespati Wage
Sungsang. Sugihan Jawa bermakna Penyucian di bagian luar. Pembersihan di jaba.
Penyucian Buana Agung, lingkungan sekitar, di luar diri. Pada hari ini umat
Hindu melaksanakan upacara Mererebu atau Mererebon. Ngerebon berupaya menetralisir
berbagai hal yang bersifat negatif. Hal ini dilakukan dengan pembersihan
merajan dan lingkungan rumah, termasuk Pura Kahyangan Tiga dengan menghaturkan
banten.
Sehari setelah Sugihan
Jawa adalah Sugihan Bali. Sugihan Bali merupakan penyucian atau pembersihan
Buana Alit. Dengan melukat, menghaturkan banten, bersembahyang, bermeditasi, kita
bersiap akan datangnya Galungan.
Pada
Hari Minggu, Redite Pahing Dunggulan, kita melaksanakan rangkaian upacara
Penyekeban, sebagai simbol pengendalian diri, panca indra, agar tidak melakukan
hal-hal negatif, berupaya mengendalikan diri. Penyajan yang jatuh pada hari
Senin, Soma Pon Dunggulan, berasal dari kata Saja, bermakna serius, sebagai symbol
kesungguhan hati, keseriusan dalam menyongsong hari suci Galungan dan Kuningan.
Masyarakat Hindu menyakini bahwasanya kita harus senantiasa mampu mengendalikan
diri, berupaya untuk senantiasa fokus, sehingga tidak tergoda oleh Sang Butha
Dunggulan, memusatkan konsentrasi terhadap pelaksanaan Galungan.
Pada
hari Penampahan Galungan, Selasa, Anggara Wage Dunggulan, umat Hindu bersiap
menyambut hari suci Galungan, dengan membuat Penjor. Penjor memiliki makna rasa
syukur atas segala anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa selama ini terhadap umat
manusia. Lengkungan penjor yang terbuat dari batang bambu yang melengkung
dihiasi berbagai sarana upakara, bermakna bahwa dengan rasa syukur tersebut,
manusia tetap tidak boleh sombong, menjaga kesucian hati, pikiran, perkataan,
juga perbuatan, menghargai orang lain, menghormati leluhur, memelihara tradisi
yang sudah berlangsung secara turun temurun, sesuai dengan kreativitas
masing-masing yang berlaku secara Desa, Kala dan juga Patra.
Selain
menghaturkan penjor, umat Hindu juga menyembelih babi yang sebagian dagingnya
akan dibuat banten sebagai pelengkap rangkaian upacara. Pemotongan hewan ini
bermakna simbolis membunuh segala sifat kebinatangan yang ada di dalam diri
manusia. Umat Hindu meyakini pada hari Penampahan ini para luluhur akan dating dan
berada di tengah keluarga, hadir ke dunia, maka mereka menghaturkan banten,
sesaji, suguhan yang terbuat dari buah-buahan, nasi, lengkap dengan lauk pauk,
wedang kopi, lekesan (daun sirih dan buah pinang) juga rokok, sebagai simbol sambutan
terhadap leluhur.
Pada
hari Galungan, Buda Kliwon Dunggulan, umat Hindu bersembahyang di merajan, juga
di Pura Kahyangan Tiga, memohon senantiasa diberi bimbingan, tuntunan, dan dijauhkan
dari ikatan nafsu atau godaan di dalam kehidupan. Pada Hari Umanis Galungan,
umat Hindu beranjangsana, saling mengunjungi, melaksanakan Dharma Santi, berdiskusi,
memberikan pencerahan terkait ajaran agama.
Pada
hari Umanis Galungan, anak – anak dan remaja mengadakan tradisi Ngelawang,
menarikan barong yang disertai dengan gamelan, berkeliling kampung, mengunjungi
rumah demi rumah, (lawang ke lawang). Pemilik rumah kemudian keluar dengan
membawakan canang yang berisi dupa dan sesari untuk dihaturkan. Tradisi
Ngelawang diyakini mampu membersihkan aura negatif yang terdapat di dalam
maupun di sekeliling rumah.
Ini
semua merupakan simbol Genius Local Wisdom yang sudah berlangsung secara turun
temurun, berlaku semenjak lama. Mengapa? Karena kearifan lokal ini mengajarkan
kita berada pada satu ruang dan waktu kebersamaan, kemampuan pengendalian ego
jika berkumpul dengan sanak keluarga dari berbagai latar belakang yang
berbeda-beda. Ada yang tua dan muda, ada yang sering ditemui, ada yang bahkan
ini merupakan pertemuan pertama, ada yang tanpa pengalaman dalam ritual
keagamaan seperti ini. Dengan duduk bersama, tinggal bersama, melakukan
aktivitas bersama, saling bertutur sapa, bertukar ceritera, akan mengenalkan
kita pada karakter masing-masing, akan menjalin kerjasama dan kebersamaan yang
sudah pasti terjalin dengan baik di kemudian hari.
Pulang
kampung, mudik, tidak hanya ada bagi umat Hindu, namun juga umat lainnya.
Bagaimana dengan umat yang tinggal di suatu daerah, tidak memiliki kampung halaman
? mereka tetap dapat saling berkunjung, mengucapkan salam, saling menyapa dan bersyukur
atas segala kemudahan dan kelancaran yang telah diperoleh selama ini, merangkai
kebersamaan hingga selanjutnya di masa depan.
Galungan
tidak hanya mengajarkan kita akan makna bersyukur, namun juga makna
kebersamaan, kerja keras, doa, cinta dan cita-cita di masa depan, dengan cara
pengendalian ego, dengan cara menjalin diskusi dan kerja sama, dengan cara
bersahaja, sederhana.
Setelah
Galungan, terdapat hari Pemaridan Guru, yang bermakna Memarid, Ngelungsur,
Nyurud, Memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasi berupa Sang
Hyang Siwa Guru. Hari Pemaridan Guru yang berlangsung pada hari Sabtu Pon
Galungan, dua hari setelah Galungan, sebagai simbol kita ngelungsur banten
Galungan, memohon berkah Tuhan, agar senantiasa diberi restu dalam berbagai
aktivitas kehidupan.
Masih
dalam rangkaian upacara Galungan, juga terdapat Hari Pemacekan Agung. Hari ini
jatuh pada hari Senin, Soma Kliwon Kuningan. Pemacekan Agung, tekek, tegar,
teguh dan kukuh, bermakna bahwa umat manusia diharapkan senantiasa menguatkan
iman, fokus pada keyakinan, menjaga kesucian pikiran dan perkataan juga
perbuatan, untuk tertuju hanya pada Beliau, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pada
hari suci Kuningan, umat Hindu membuat banten yang dilengkapi dengan tamiang,
kolem dan endong. Tamiang sebagai simbol senjata Dewa Wisnu yang menyerupai
cakra. Kolem simbol senjata Dewa Mahadewa, dan Endong simbol kantong perbekalan
yang dipakai oleh para dewata dan juga leluhur saat berperang melawan kejahatan
/ adharma. Tamiang dan Kolem dipasang pada semua pelinggih, tugu, bale dan juga
pelangkiran. Endong dipasang hanya pada pelinggih dan pelangkiran. Tumpeng yang
dipergunakan juga berwarna kuning dari pewarna berupa kunyit yang dicacah dan
direbus menggunakan minyak kelapa dan daun pandan harum sebagai simbol Kuningan,
Nguningan, Matur piuning, melaporkan telah berakhirnya kegiatan persembahan
bagi para dewata, leluhur dan Tuhan, menjaga kesadaran dan pengetahuan untuk
senantiasa waspada terhadap berbagai hal negatif.
Tumpeng pada banten yang biasanya
berwarna putih diganti dengan tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi
yang dicampur dengan kunyit yang telah dicacah dan direbus bersama minyak
kelapa dan daun pandan harum. Hal ini sebagai simbol dari kebahagiaan,
keberhasilan, kesejahteraan, kemenangan diri sendiri menaklukkan hawa nafsu.
Di saat Pegat Wakan, yang merupakan runtutan terakhir hari
suci Galungan dan Kuningan, umat Hindu menghaturkan banten dan kemudian mencabut
Penjor Galungan yang telah dibuat di saat hari Penampahan Galungan. Penjor
tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada
hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah hari Suci Galungan.
Penjor Galungan adalah lambang
dari Gunung Agung atau Naga Basuki. Penjor Galungan sebaiknya dipasang / nancep
di saat Anggara Dunggulan / Penampahan Galungan. Dan Pencabutan di saat Buda
Kliwon Pahang. Letaknya di sebelah kanan pintu gerbang, dengan Sanggah Penjor
menghadap ke jalan.
Arti dari segala
perlengkapan Penjor antara lain:
Sampian Penjor
melambangkan Sang Hyang Parama Siwa, dengan isinya, canangsari, kwangen dengan
sesari 11 kepeng. Jaja gina dan jaja uli melambangkan Sang Hyang Brahma. Kober
putih kuning dengan Padma Ongkara melambangkan Sang Hyang Iswara. Cilli /
gegantungan melambangkan Sang Hyang Tamiang melambangkan penolak bala / meseh /
Adharma. Ubag-abig melambangkan Sang Hyang Rare Angon. Klukuh berisi pisang,
tape, jaja, melambangkan Sang Hyang Boga. Tebu melambangkan Sang Hyang Ambu.
Palabungkah Pala Gantung melambangkan Sang Hyang Wisnu. Kelapa melambangkan
Sang Hyang Rudra. Busung, ambu, melambangkan Sang Hyang Mahadewa. Plawa
melambangkan Sang Hyang Sangkara. Sanggah Ardha Candra melambangkan Sang Hyang
Siwa. Banten melambangkan Sang Hyang Sadha Siwa. Lamak melambangkan Sang Hyang
Tribhuwana. Tiying / bamboo dibungkus kasa / ambu melambangkan Sang Hyang
Mahesora.
Saat akan mencabut
Penjor, menghaturkan Banten Tumpeng Puncak Manik. Abu penjor dimasukkan pada
klungah nyuh gading, kemudian ditanam di hulu natar rumah. Bila habis purnama
(uwudan), ditambah dengan damar Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar