Brahma vid Brahmaiva
bhavati. He who knows Brahman, becomes Brahman. Dia yang mengetahui Tuhan,
menjadi Tuhan, bersatu dengan Tuhan (Moksa). Mundaka Upanishad 3.2.9
Aku terlelap dalam
tidur panjangku. Dan aku terjaga dalam gelap malam, sendirian, tiada berkawan.
Namun akhirnya ku akui bahwa kita tidak pernah benar-benar sendiri, akan selalu
ada orang lain yang peduli, ada orang lain yang lebih menderita, setiap orang
menghadapi perjuangannya sendiri.
Kita mengetahui
kebijakan, menerapkan kebijakan di dalam kehidupan kita di dunia. Mencoba
menjaga perdamaian, menjalin kerjasama dan kebersamaan di berbagai aktivitas
kehidupan, menghindari pertikaian. Namun, tidak akan pernah ada kesempurnaan,
tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang pernah melakukan kesalahan,
setiap orang punya masa lalu, dan setiap orang berhak atas masa depan.
Bahkan, Wisnu dan Siwa
juga pernah tidak akur, alami pertengkaran, bertikai berkali. Wisnu pernah
tidak mengakui hakekat Siwa, mengabaikan keberadaannya. Hal ini terjadi di saat
Wisnu berada dalam keadaan surupa (kegelapan). Wisnu mengarahkan semua senjata
kepada Siwa, namun Siwa menelan semuanya, karena semua senjata adalah senjata
Siwa.
Untuk menyadarkan
Wisnu, membangunkan Siwa dari tidur panjangnya (surupa), terpaksa Siwa membentangkan
Tri Sula saktinya hingga mengenai dada Wisnu. Wisnu kemudian sadar dan ingat
akan jati dirinya sebagai Narayana.
Galungan merupakan simbol
kesadaran kita akan jati diri sebagai umat manusia. Senjatanya adalah dengan
pengetahuan, kesadaran akan kebijakan dan kedewasaan umat manusia untuk selalu
berlaku bajik dan arif.
Dan, beragam simbol terkait
dengan Galungan, beragam upacara serta upakara terlibat, beragam ritual dan
gaya terpapar, beragam makna pula yang digelar … Selalu indah memahami
perbedaan di antara kita, bukan ?
Dari Penjor, Banten,
Lawar, Penampahan, Manis, dan semua tentang Galungan. Dari Mebat, nanding
banten, megibung, menyameberaye, numpeng, ngae base, munjung, ngejot, dan entah
berapa banyak lagi istilah serta cara yang ada. Semua di sesuaikan dengan Desa,
Kala dan Patra, keselarasan Tri Hita Karana.
Penjor Galungan merupakan
lambang dari Gunung Agung atau Naga Basuki. Penjor Galungan sebaiknya dipasang
/ nancep di saat Anggara Dunggulan / Penampahan Galungan. Dan Pencabutan di
saat Buda Kliwon Pahang. Letaknya di sebelah kanan pintu gerbang, dengan
Sanggah Penjor menghadap ke jalan.
Arti dari segala
perlengkapan Penjor antara lain:
Sampian Penjor
melambangkan Sang Hyang Parama Siwa, dengan isinya, canangsari, kwangen dengan
sesari 11 kepeng. Jaja gina dan jaja uli melambangkan Sang Hyang Brahma. Kober
putih kuning dengan Padma Ongkara melambangkan Sang Hyang Iswara. Cilli /
gegantungan melambangkan Sang Hyang Tamiang melambangkan penolak bala / meseh /
Adharma. Ubag-abig melambangkan Sang Hyang Rare Angon. Klukuh berisi pisang,
tape, jaja, melambangkan Sang Hyang Boga. Tebu melambangkan Sang Hyang Ambu.
Palabungkah Pala Gantung melambangkan Sang Hyang Wisnu. Kelapa melambangkan
Sang Hyang Rudra. Busung, ambu, melambangkan Sang Hyang Mahadewa. Plawa
melambangkan Sang Hyang Sangkara. Sanggah Ardha Candra melambangkan Sang Hyang
Siwa. Banten melambangkan Sang Hyang Sadha Siwa. Lamak melambangkan Sang Hyang
Tribhuwana. Tiying / bamboo dibungkus kasa / ambu melambangkan Sang Hyang
Mahesora.
Saat akan mencabut
Penjor, menghaturkan Banten Tumpeng Puncak Manik. Abu penjor dimasukkan pada
klungah nyuh gading, kemudian ditanam di hulu natar rumah. Bila habis purnama
(uwudan), ditambah dengan damar Bali.
Brahma vid Brahmaiva
bhavati. He who knows Brahman, becomes Brahman. Dia yang mengetahui Tuhan,
menjadi Tuhan, bersatu dengan Tuhan (Moksa). Mundaka Upanishad 3.2.9
Sadhana Pancakam dari
Sri Shankaracharya merupakan sebuah karya sastra klasik mengenai
praktek-praktek spiritual. Beliau menyatakan, Brahmasmiti vibhavyatam, Always
be aware that you are Brahman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar