JACQUES DERRIDA
Controversial French philosopher whose theory of deconstruction gave us new insights into the meaning of language and aesthetic values
Oleh : Dra. Ni Desak Made Santi Diwyarthi, M.Si.
I. Riwayat Hidup
Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004 (Satrio Arismunandar dalam http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2009/01/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya.html 2 Juni 2011).
Wikipedia menjelaskan bahwa Jacques Derrida adalah seorang filsuf Perancis yang dianggap sebagai pengusung tema dekonstruksi di dalam filsafat postmodern. Pemikirannya juga disampaikan melalui filsafat bahasa. Christopher Norris dalam tulisannya yang berjudul Derrida (1987) berasumsi bahwa filosofi Derrida utamanya tentang Tulisan.
Derrida yang lahir 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair, meninggal pada usia 74 tahun di Paris Perancis, 8 Oktober 2004. Tokoh aliran Dekonstruksi, Filsafat Kontinental, dan Fenomenologi ini memperlihatkan minat utamanya pada Filsafat Bahasa, Teori-teori Literal, Etika dan Ontologi. Gagasan utamanya meliputi Dekonstruksi, Differance, Phallogosentrisme, Metaphysics of presence. Derrida sendiri dipengaruhi oleh Husserl, Emmanuel Levinas, Friedrich Nietzsche, Ferdinand de Sausurre, Sigmund Freud, Karl Marx, Claude Levi Strauss, James Joyce, Stephane Mallarme, JL Austin.
Pemikiran-pemikiran Derrida terlihat mempengaruhi Paul de Man, Bernard Stiegler, Jean Luc Nancy, Phillippe Lacoue-Labarthe, Ernesto Laclau, Judith Butler, Louis Althusser, Peter Eisenman, Edward Said, Homi K. Bhabha, Gayatri Chakravorty Spivak, John Caputo, Simon Critchley, Mario Kopic, Peter Sloterdijk, Avital Ronell, Catherine Malabou, Slavoj Zizek.
Jacques Derrida adalah seorang filsuf Perancis yang dianggap sebagai pengusung tema dekonstruksi di dalam filsafat postmodern. Pemikirannya juga disampaikan melalui filsafat bahasa. Christopher Norris dalam tulisannya yang berjudul Derrida (1987) berasumsi bahwa filosofi Derrida utamanya tentang Tulisan
Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia mundur atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak, semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan yang lain, dalam pemikirannya kemudian.
Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana Sartre, Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19. Ia kemudian pindah dari Aljazair ke Perancis, dan segera sesudahnya ia mulai berperan utama di jurnal kiri Tel Quel.
II. Karya Tulis
Derek Attridge and Thomas Baldwin dalam The Guardian, 11 October 2004
(http://www.guardian.co.uk/news/2004/oct/11/guardianobituaries.france) menjelaskan bahwa Derrida telah mempublikasikan banyak karya tulisnya dalam berbagai bentuk . Baik berupa 70 buku dan tak terhitung jumlahnya artikel yang telah dihasilkan Derrida.
Derrida published some 70 books and countless articles. The most important volumes include Glas (1974), which staged a confrontation between Hegel and Genet by means of an ingenious page-layout; La vérité en peinture (The Truth In Painting, 1978), on visual art and attempts to theorise about it; La carte postale (The Post Card, 1987), an exploration of psychoanalytic themes through a fictional series of postcards to an unidentified addressee; and two large-scale collections of essays, Psyché: inventions de l'autre (1987), on a wide range of topics, and Du droit à la philosophie (1990), in which the institutional situation of philosophy is addressed.
Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi. Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud. Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai 'dekonstruksi'.
http://www.guardian.co.uk/news/2004/oct/11/guardianobituaries.france
(2 Juni 2011) menjelaskan bahwa titik awal pemikiran Derrida bermula dari penolakannya terhadap model umum pengetahuan dan bahasa yang berlaku di tengah masyarakat, bahwa pemahaman seseorang berkaitan dengan makna, yang berhubungan langsung dengan kesadaran. Baginya, model ini berkaitan dengan "mitos keberadaan", anggapan bahwa kita memperoleh pemahaman terbaik mengenai sesuatu bila sesuatu itu hadir dan membuat kita sadar atau yakin.
Derrida's starting point was his rejection of a common model of knowledge and language, according to which understanding something requires acquaintance with its meaning, ideally a kind of acquaintance in which this meaning is directly present to consciousness. For him, this model involved "the myth of presence", the supposition that we gain our best understanding of something when it - and it alone - is present to consciousness.
Pada 1967, Derrida sudah menjadi filsuf penting kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena). Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of Grammatology, Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-tulisan, yang menurut Derida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat.
Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks penting lain (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat, dari memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa di bidang kritik sastra, dan kajian budaya, di mana metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi kepada ahli teori, seperti Paul de Man (Satrio Arismunandar dalam http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2009/01/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya.html 2 Juni 2011).
Derrida berpendapat kita tidak pernah akan bisa memprediksi secara mendalam mengenai sesuatu yang membutuhkan pemahaman, bagaimana cara berinteraksi dengan seseorang dan mencapai kesepakatan pemahaman yang sama, dan kapasitas untuk mencapai pemahaman sama pada kesempatan lain pula dan dalam konteks yang berbeda. Ia menciptakan "differance" panjang (différance dalam bahasa Prancis, menggabungkan makna perbedaan dan penangguhan) mengkarakterisasi aspek-aspek pemahaman, dan mengusulkan bahwa differance adalah ur-fenomena berbaring di jantung bahasa dan berpikir, di tempat kerja dalam semua bermakna kegiatan dengan cara yang tentu sulit dipahami dan sementara.
He argued that understanding something requires a grasp of the ways in which it relates to other things, and a capacity to recognise it on other occasions and in different contexts - which can never be exhaustively predicted. He coined the term "differance" ( différance in French, combining the meanings of difference and deferral) to characterise these aspects of understanding, and proposed that differance is the ur-phenomenon lying at the heart of language and thought, at work in all meaningful activities in a necessarily elusive and provisional way (http://www.guardian.co.uk/news/2004/oct/11/guardianobituaries.france).
Dekonstruksi sering menjadi subyek kontroversi. Ketika Derrida diberi gelar doctor honoris causa di Cambridge pada 1992, banyak protes bermunculan dari kalangan filsuf “analitis.” Sejak itu, Derrida juga mengadakan banyak dialog dengan filsuf-filsuf seperti John Searle, yang sering mengkritiknya.
Bagaimanapun, dari banyaknya antipati tersebut, tampak bahwa dekonstruksi memang telah menantang filsafat tradisional lewat berbagai cara penting. Derrida dianggap sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21. Istilah-istilah falsafinya yang terpenting adalah différance dan dekonstruksi.
III. Buah Pemikiran
Tidak mudah memahami pemikiran Derrida. Untuk memudahkan mempelajarinya, kita coba menempatkannya dalam konteks pergeseran pemikiran pada era 1950-an sampai 1970-an, dari modernitas ke posmodernitas, dan dari strukturalisme ke post-strukturalisme. De Saussure, Chomsky, Jacobson dan Levi-Strauss mewakili kalangan strukturalis-modernis. Sedangkan Derrida bersama Lacan, Kristeva, Foucault, Barthes, dan Baudrillard, “bisa dikatakan” mewakili post-strukturalis-posmodernis.
Gary Gutting (dalam http://www.guardian.co.uk/books/2011/mar/20/thinking-impossible-philosopy-gary-gutting?INTCMP=ILCNETTXT3487 didownload pada 4 juni 2011) menjelaskan bahwa theories of Derrida and Foucault are revisited in this fair-minded history of French deconstructionism, and It wasn't all bunkum. Hal ini menunjukkan bahwa teori dekonstruksi termasuk dalam kelompok pemikiran posmodernis.
Pemikiran kalangan posmodernis itu sendiri bisa dibagi tiga. Pertama, yang merevisi pemikiran modernitas, namun cenderung kembali ke pola pemikiran pra-modern seperti metafisika New Age. Tokohnya seperti Capra, Zukav, dan sebagainya. Kedua, pemikiran yang merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan perbaikan di sana-sini yang dirasa perlu. Jadi, semacam kritik imanen terhadap modernism, dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Mereka di antaranya: Habermas, Whitehead, Gadamer, Rorty, dan Ricoeur. Ketiga, pemikiran yang memandang bahwa sisi gelap dari modernitas bukanlah sekadar efek samping dari pemikiran Pencerahan, melainkan sebagai sesuatu yang melekat di dalamnya.[1] Para pemikir dari kalangan ini terkait erat dengan dunia sastra dan linguistik. Mereka ingin melampaui bahasa, yang secara tradisional dipandang sebagai cermin untuk menggambarkan dunia atau realitas (Satrio Arismunandar dalam http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2009/01/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya.html 2 Juni 2011).
Caranya, dengan melakukan dekonstruksi gambaran-dunia, sehingga cenderung anti-gambaran-dunia sama sekali. Gambaran-dunia yang ingin dibongkar itu, misalnya, adalah diri, Tuhan, tujuan, makna, kebenaran, dunia-nyata, dan sebagainya. Para pemikir dari kelompok ini adalah Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida.
A. Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran
Untuk memahami Derrida, kita mencoba melacak kronologi pemikirannya dari strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas tersebut. Menurut paham strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Struktur itu sendiri adalah saling hubungan antar-konstituen, bagian-bagian, atau unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan koeksistensi, dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda. Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara penanda/petanda, ujaran/tulisan, langue/parole (Satrio Arismunandar dalam http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2009/01/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya.html, didownload pada 2 Juni 2011).
Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen, baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin, intelligible/sensible, idealisme/ materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya.
Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan.
Derrida, seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat Barat tersebut. Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah mengajukan sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi diri pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan hirarki-hirarki dualistik yang disembunyikan.
Oposisi biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida, adalah antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida, pemikir-pemikir seperti Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, semua telah melecehkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan mengontraskan, dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran murni bagi makna.
Argumen mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari pengalaman mental (makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis –sebagai sekadar representasi dari ujaran-- hanyalah turunan kedua, atau sekadar simbol dari simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut. Ujaran menurut De Saussure adalah kesatuan petanda (signifie) dan penanda (signifiant), yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Makna atau kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk.
Kebenaran yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida sebagai metafisika kehadiran (metaphysic of presence). Metafisika kehadiran, yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan.
Tanpa mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan dan membenarkan oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa strategi pertama dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang sudah ada. Derrida menyangkal oposisi-oposisi biner semacam itu, dan akhirnya juga menolak kebenaran tunggal atau logos itu sendiri.
Derek Attridge and Thomas Baldwin (dalam http://www.guardian.co.uk/news/2004/oct/11/guardianobituaries.france, didownload pada tanggal 2 Juni 2011) menjelaskan bahwa Derrida sendiri memiliki berbagai macam gaya dalam mengekspresikan pemikirannya.
In fact, Derrida had several styles, ranging from the technical analysis of Greek terminology, through highly personal meditations to an exuberant sporting with language. He could be a highly comic writer - and an equally comic speaker, with an impeccable sense of timing - even when the issues were of the utmost gravity. This affront to convention was not born of a desire to shock; it was part of a strategy of undermining the categories - including the distinction between the serious and the non-serious - that had long dominated philosophical language. (Exceptions, such as Nietzsche, were given due credit.) Derrida's writing is strange and difficult because it has to be: to test the limits of what can be thought is to test the limits of what can be articulated.
Jarang sekali orang mampu mengikuti pola pemikirannya, bahkan jauh lebih banyak muncul versi karikatur Derrida. Namun, secara perlahan orang mengakui kehadirannya, juga pemikirannya, mengenai pencarian jati diri, mengabaikan pencarian kebenaran kecuali kesujatian diri, pengungkapan bahwa pengetahuan historis berdasarkan pengalaman semata tidak mungkin, karena ada hal lain yang lebih utama, menyangkal bahwa ada sesuatu yang melampaui bahasa - dan melakukan semua ini dalam serangkaian tanpa henti dari permainan kata dan neologisme - tidak mirip tidak dengan kebenaran hakiki pemikiran yang ada dalam benak orang itu sendiri. Dia adalah seorang pemikir atau filsuf, beranggapan bahwa apa yang dikatakan sesungguhnya berbeda dengan apa yang dipikirkan seseorang, ia selalu bersikeras mengenai kekuatan filosofis dan linguistik (bahkan jika ia pemahaman tentang apa yang membentuk kekakuan berbeda dari yang tradisional), dan dia menghormati kebenaran dan akurasi sejarah dalam cara yang sangat tradisional.
Di atas itu semua, Derrida adalah orang yang luar biasa rendah hati dan memiliki kemurahan hati. Siapapun yang menghadiri salah satu konferensinya yang didedikasikan untuk karyanya mengamati bagaimana dia sungguh-sungguh mendengarkan setiap kertas kerja orang lain, menghargai pemikiran orang lain (baik oleh pemikir terkenal atau mahasiswa pascasarjana, dan orang tidak terkenal lainnya), mencatat hati-hati, mengajukan pertanyaan dan selalu memotivasi oranglain untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Akademisi yang tidak terkenal yang mengirimkan naskah akan menerima tulisan tangan komentar di tanggapan, selalu ditulis dalam semangat yang positif.
B. Differance dan Difference
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to-self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran (Satrio Arismunandar menjelaskan (dalam http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2009/01/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya.html 2 Juni 2011).
Sebagai contoh, dalam keseluruhan bab Course in General Linguistics karya Ferdinand de Saussure, Saussure mencoba membatasi ilmu linguistik hanya pada fonetik (phonetic) dan kata yang bisa didengar (audible word). Dalam penyelidikan ini, Saussure sampai mengatakan bahwa "bahasa dan tulisan adalah dua sistem tanda yang berbeda: yang kedua eksis semata-mata hanya untuk representasi dari yang pertama". Bahasa, tegas Saussure, memiliki tradisi oral yang independen dari penulisan, dan keindependenan inilah yang membuat sebuah ilmu murni ujaran dimungkinkan.
Derrida dengan berapi-api menolak hirarki ini. Derrida sebaliknya berargumentasi bahwa semua yang bisa diklaim terhadap tulisan –seperti, bahwa itu sekadar merupakan turunan (derivatif) dan hanya merujuk ke tanda-tanda lain— sebenarnya juga sama berlaku terhadap ujaran. Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri.
Inilah pengertian “tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu. Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa” daripada ujaran. Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos).
Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance. Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/menunda.” Kita tak bisa membedakan differance dan difference hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, yang sekaligus membuktikan tulisan lebih unggul ketimbang ujaran, sebagaimana diyakini Derrida (Satrio Arismunandar dalam http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2009/01/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya.html 2 Juni 2011).
Jika kata terucap (ujaran) membutuhkan tulisan untuk bisa berfungsi secara memadai, seperti ambiguitas dalam kata differance dan difference tersebut, maka ujaran itu sendiri selalu berjarak dari setiap apapun yang diklaim sebagai kejelasan kesadaran (clarity of consciousness). Pernyataan Derrida ini secara tegas telah membantah habis argumen De Saussure, yang berusaha memisahkan ujaran dan tulisan, dan melecehkan tulisan sebagai sesuatu yang nyaris tidak dibutuhkan oleh ujaran.
Differance adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari perbedaan-perbedaan, dan penjarakan (spacing), yang dengan cara tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain. Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya.
Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya. Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.
C. Sistematika dan Penerapan Dekonstruksi dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Satrio Arismunandar menjelaskan (dalam http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2009/01/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya.html 2 Juni 2011), pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya. Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.” Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat.
Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis.
Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar. Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks.
Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
D. Pengaruh Dekonstruksi terhadap Kajian Budaya
Dalam kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima. Secara sepintas, seolah-olah tidak ada tawaran “konkret” dari metode dekonstruksi. Namun, yang dimaui oleh dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks dan kebudayaan tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan sebagai arena pertarungan yang terbuka. Atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dan chaos, antara perdamaian dan perang, dan sebagainya.
Dalam kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa klaim absolut atau universal. Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang mempengaruhinya (Satrio Arismunandar dalam http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2009/01/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya.html 2 Juni 2011).
Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (the other). Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian budaya.
Plutok (dalam http://www.guardian.co.uk/books/2011/mar/20/thinking-impossible-philosopy-gary-gutting?INTCMP=ILCNETTXT3487 didownload pada 4 juni 2011) mengemukakan :
I believe that anyone who gives language some sort of primacy is bound to produce bad philosophy. Understanding began as seeing. At the beginning there was a sight-seeing tour without a guide. During that tour you realized your friend had missed it. You had to invent a few grunts to communicate the wonder of it but you soon realized they didn't help your friend. You ended up dragging him back to a representative sight, you pointed to a lion eating a carcass, and grunted, See what I mean? The other person would remember what he saw and possibly even what he felt when he saw it, and would see the meaning even when he wasn't there to watch it or feel it at a later time. In prehistoric times, some things you would have to remember and be able to show to others even when you had nothing to show. Everything began with visions and helpless grunts. That's not a cliche but my very own theory.
Bahasa memiliki banyak arti jika dipandang dari berbagai sisi, termasuk memiliki makna abstrak, pengalaman akan memudahkan orang memahami makna dari bahasa itu sendiri, karena pengalaman akan menimbulkan kesan yang datang, pemahaman bahasa datang berikutnya. Pengalaman itu bisa mencoba untuk membayangkan apa yang turunan (matematika) sebenarnya disarikan dari beberapa bentuk gambar yang berkaitan atau bisa juga baru belajar untuk meniru guru kalkulus. Dalam kedua kasus, Anda akan belajar untuk menghitung turunan tapi pemahaman Anda mengenai kata "derivatif" akan berbeda tergantung pada cara Anda memilih untuk mempelajarinya.
Dua orang bisa berbicara dalam bahasa yang sama tapi sama sekali gagal untuk mengerti satu sama lain jika mereka tidak memiliki pengalaman yang sama. Jika Anda tidak bisa memahami diri Anda, saat itulah kau tahu sesuatu yang salah. Jika tidak terkecuali pemahaman dan kesalahpahaman aturan setiap kali bertemu dua orang yang berbeda, dalam sejarah pedang sering terlibat.
Kata-kata terkadang hanya permainan, hal ini membantu menjelaskan mengapa dua orang terkadang tidak saling memahami (mereka tidak saling berbicara, tidak bisa menjalin komunikasi, tidak sepaham).
Bahasa, bahkan bahasa abstrak, bergantung sepenuhnya pada pengalaman, pada memori. Maka pikiran dapat memanipulasi kenangan seseorang, mungkin tanpa bahasa, karena bahasa sendiri tidak dapat menghasilkan pemikiran dan tidak dasar untuk itu (kenangan, secara umum, adalah). Pada akhirnya, mendengar, membaca, atau menggunakan bahasa hanyalah pengalaman suka mendengar atau membaca musik yang menggunakan dan menghasilkan kelompok kenangan yang sama seperti kenangan lainnya. Bahasa klise juga tidak mudah dipahami, bahkan setelah semua penjelasan diberikan, karena ada berbagai makna yang tersembunyi dibaliknya.
Gagasan bahwa setiap orang memerlukan bahasa untuk berinteraksi dan memahami orang lain, menurut Derrida, sungguh keliru. Karena tanpa bahasa kita masih bisa tetap berinteraksi dengan orang lain. Anda tidak perlu berpikir "berbahaya" atau "singa" untuk membuat perbedaan mental dalam contoh: gambar mental sederhana atau memori dari singa membunuh sesama suku akhir Anda akan cukup untuk memperingatkan orang ada sesuatu yang berbeda tentang itu kucing dibandingkan dengan tidur satu di kaki Anda di malam hari. Anda tidak perlu bahasa mengklasifikasikan segalanya untuk memiliki hal yang berbeda membangkitkan kenangan yang berbeda. Apa yang membangkitkan sesuatu tergantung pada apa itu dikaitkan dengan. Pikirkan anak-anak dan Disney dan generasi orang-orang yang tidak takut binatang tidak peduli apa yang mereka disebut dan Anda harus mulai mendapatkan titik. Tidak ada hubungannya dengan bahasa dan murni membayangkan nya "keterbatasan" seharusnya dikenakan pada jiwa manusia dalam semacam proses magis tak seorang pun pernah mencoba untuk menjelaskan.
REFERENSI:
1. Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
2. Bennington, Geoffrey. 2000. Interrupting Derrida. London/New York: Routledge.
3. Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI.
4. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
5. Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.
6. http://www.iep.utm.edu/d/derrida.htm (didownload pada 6 Desember 2008).
7.http://www.guardian.co.uk/books/2011/mar/20/thinking-impossible-philosopy-gary-gutting?INTCMP=ILCNETTXT3487 : Gary Gutting: Thinking the Impossible: French Philosophy Since 1960, (didownload pada 4 juni 2011)
8.http://www.guardian.co.uk/news/2004/oct/11/guardianobituaries.france : Derek Attridge and Thomas Baldwin dalam The Guardian, 11 Oktober 2004, (didownload pada 4 Juni 2011)
9.http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2009/01/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya.html : Satrio Arismunandar, (didownload pada 2 Juni 2011)
10. Kathryn Woodward. 1999. Identity and Difference. London: Sage Publication.
11. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
12. Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
13. Norris, Christopher. 2008. Membongkat Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
14. http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2009/01/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya.html : Satrio Arismunandar, didownload pada 2 Juni 2011)
15. Storey, John. 2006. Cultural Theory and Popular Culture: an Introduction. Fourth Edition. Athens, Georgia: The University of Georgia Press.
16. Williams, James. 2005. Understanding Poststructuralism. Chesham: Acumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar