Hong Ulun Basuki
Langgeng.
Tabe salamat lingu
nalatai salam sujud karendem malempang.
Hong wilaheng sekaring
jagat bhawono langgeng. Rahayu…..
Suku Tengger atau juga
dikenal dengan Wong Tengger, atau Wong Brama, adalah komunitas penduduk yang
menempati dataran tinggi di sekitar kawasan pegunungan Bromo Tengger Semeru,
Jawa Timur. Penduduk Suku Tengger menempati sebagian wilayah Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Suku
Tengger, menurut Sensus BPS tahun 2010, merupakan sub suku Jawa.
Tengger memiliki makna
berdiri tegak atau berdiam tanpa gerak, yang melambangkan watak orang Tengger
yang berbudi pekerti luhur, yang harus tercermin dalam segala aspek kehidupan.
Tengger juga memiliki arti pegunungan, yang sesuai dengan daerah kediaman Suku
Tengger. Namun Tengger juga bisa berarti gabungan nama leluhur suku Tengger,
yakni Rara Anteng dan Jaka Seger.
Bagi Suku Tengger,
Gunung Bromo atau Gunung Brahma dipercaya sebagai Gunung Suci. Setahun sekali,
masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini
bertempat di Pura Luhur Poten Bromo, yang berada di bawah kaki Gunung Bromo
Utara, dan kemudian dilanjutkan menuju Puncak Gunung Bromo. Upacara ini
dilangsungkan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan Purnama, sekitar
tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (Ke sepuluh) menurut penanggalan / kalender
Jawa.
Upacara adat lain
adalah Unan – Unan, Leliwet, Entas – entas. Dan, untuk tahun ini, puncak
rangkaian Upacara Adat Unan – Unan di Desa Argosari berlangsung pada hari
Jum’at 23 November 2018, sedang di Desa Kandangan berlangsung pada hari Rabu, 28
November 2018.
Upacara Adat Unan –
Unan merupakan perlambang terima kasih Suku Tengger atas hasil panen, bumi
pertiwi yang telah menjaga mereka selama ini, memberi berkah bagi masyarakat.
Upacara Unan – Unan di puput / di laksanakan hingga tuntas dengan dipimpin oleh
para dukun atau pinanditha dari lokasi yang bersangkutan. Misalnya, di Desa
Kandangan, berlangsung di Sanggar Bhuana, di puput oleh dukun se kawasan
Tengger Brang Wetan. Upacara Unan – Unan ini berlangsung setiap lima tahun
sekali, dengan memakai hitungan satu windu wuku, bukan satu windu tahun.
Upacara ini pada intinya mengurangi ulan (bulan) atau tuno “unosasih”, yang
juga biasa disebut mengurangi malamastaning jagad buana agung dan buana alit.
Bertujuan agar perbuatan, pikiran, perkataan, dapat tersucikan kembali, disebut
dengan istilah Amrasita bumi sak kureping langit sak lumahing bumi mugi rahayu
jagad gumelar. Langgeng ing kerto basuki.
Rombongan kami dari
Bali ingin turut merasakan euphoria spiritual budaya Suku Tengger tersebut.
Maka, kami berangkat bersama pada Hari Jum’at pagi, tanggal 23 November 2018.
Mengapa tidak sehari sebelumnya ? Karena kami tidak ingin meninggalkan tugas
kantor, dan tidak ingin tiba tepat di puncak upacara adat dengan ribuan umat
sedang sibuk melaksanakan rangkaian kegiatan. Tentu tidak bisa konsentrasi
bersembahyang.
Sungguh beruntung, kami
dapat berkumpul bersama dengan umat Tengger, melaksanakan persembahyangan
bersama, di Sanggar Agung Purwa Giri Waseso, dengan dipimpin oleh para Pemangku
Agama, Tokoh Spiritual, Mangku Sukarto. Juga bersama para pemuda Suku Tengger,
Mas Budianto, Wido Mahendra, dan kawan - kawannya....
Om utedanim bhagawantah
syamota prapitwa uta mandhye ahnam
utodita maghawanta suryasya
mayam dewanam sumantau syama.
Tuhan,
Yang Maha Pemurah,
jadikanlah
aku sebagai orang yang selalu bernasib baik
pada
hari ini,menjelang tengah hari, dan seterusnya.
Semoga para Dewa melindungi diri hamba.