Batolan mangko bajalan,
mufakat mangko bakato. Pepatah Minang bertutur indah terngiang. Makna nya
mengajarkan kita untuk tidak pernah mengasingkan diri dalam bergaul. Tidak baik
membentuk kelompok eksklusif dan membeda-bedakan orang dalam bergaul di tengah masyarakat.
Dalam bertindak juga kita harus mengutamakan berdiskusi, bermusyawarah untuk
merai mufakat.
Dan, hal ini sudah
diwujudkan secara indah dalam proses pegelaran pameran seni visual yang
berlangsung di Galeri Mandala Suci Wenara Wana.
Awal nya adalah
persahabatan yang terjalin di antara putra Bali dan Putra Padang yang bersama
menempuh pendidikan di ISI Jogjakarta bertahun silam. Kemudian mereka
merencanakan saling berkunjung. Mengapa tidak, jika bisa menjalin kerjasama,
kunjungan disertai dengan Pameran bersama. Akan ada begitu banyak manfaat, saling
membuka cakrawala wawasan pengetahuan terkait seni dan budaya daerah
masing-masing, bertukar informasi, membuka peluang kerja sama yang
berkelanjutan, termasuk pula, dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat
luas dimana pameran berlangsung. Dan, dimulailah rangkaian kegiatan, dari
penyusunan proposal kegiatan, berbagai pendekatan dan diskusi panjang untuk
mematangkan rencana, eksekusi akhir rencana, keberangkatan, dan seluruh tim
yang terdiri dari tujuh dosen beserta staf juga 15 mahasiswa dan mahasiswi ISI
Padangpanjang tiba di Ubud pada hari Kamis, 15 November 2018. Maka, terwujudlah
Pameran bertajuk “Pluralisme” yang akan berlangsung dari tanggal 16 November hingga
2 Desember 2018.
Mandala Suci Wenara
Wana atau lebih dikenal dengan Monkey Forest Ubud merupakan sebuah cagar alam
yang terletak di desa Padangtegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, terkenal
dengan habitat alami khas monyet Bali berekor panjang (Natural habitat of
Balinese long tailed monkey / Macaca Fascicularis). Monyet yang terdapat di Mandala
Suci Wenara Wana ini terbagi menjadi enam area, yakni yang pertama, areal di depan
Pura, area konservasi hutan, area pusat Mandala Suci Wenara Wana, area
Michelin, areal Timur dan pemakaman / setra. Data tahun 2011 memperlihatkan
terdapat 605 monyet ekor panjang dengan 39 pejantan, 38 remaja monyet, 194
betina monyet dewasa, 243 anak monyet, dan 91 bayi monyet. . Data tahun 2017
oleh pengelola mencatat terdapat total 749 monyet, dengan klasifikasi 63
pejantan monyet dewasa, 34 remaja monyet, 219 betina monyet dewasa, 29 betina
monyet remaja, 167 bayi monyet berusia 2 – 3 tahun, 118 bayi monyet berusia 1 –
2 tahun, 63 bayi monyet berusia 5 – 12 bulan, dan 56 bayi monyet berusia di bawah
lima bulan. Di Mandala Suci Wenara Wana ini terdapat 186 spesies tanaman dan
pohon pada area seluas 12.5 hektar. Di dalam Mandala Suci Wenara Wana terdapat
tiga pura, yakni Pura Dalem Agung Padang Tegal, Pura Beji dan Pura Prajapati. Ketiga
pura ini dibangun pada tahun 1350. Masyarakat setempat meyakini pentingnya
keberadaan Mandala Suci Wenara Wana ini bagi dinamika dan keberlangsungan aspek
kehidupan masyarakat di bidang spiritual, ekonomi, pendidikan, dan pusat
konservatori desa tersebut, termasuk desa lain di sekitarnya. Setiap bulan
sekitar 120.000 wisatawan mengunjungi Mandala Suci Wenara Wana, baik wisatawan
domestik mupun wisatawan mancanegara.
Tidak salah Dr. Drs. I Wayan
Suardana, M.Sn., dosen ISI dan Kajur Kriya Seni, menawarkan lokasi berpameran
disini. Dosen yang meraih penghargaan sebagai Dosen berprestasi beberapa kali
ini mengemukakan bahwa Ubud merupakan suatu destinasi yang sudah mendunia,
dengan jumlah kunjungan wisatawan yang terus meningkat, namun tetap menegakkan
falsafah hidup masyarakat, menerapkan seni dan budaya dalam berbagai bentuk
kehidupan sehari-hari, yang bisa dijadikan sarana pembelajaran rombongan ISI
Padangpanjang.
Dosen humble yang
menamatkan pendidikan Doktoral sebagai Doktor ke 34 di ISI Yogyakarta ini
memiliki disertasi berjudul Judi Tajen, mengupas Tabuh Rah, makna dan juga
fungsi, serta implementasi nya di tengah kehidupan sosial masyarakat Bali.
“Saya punya tanggungjawab moral untuk turut berperan serta membantu teman-teman
serta para mahasiswa dari ISI Padangpanjang mewujudkan pameran ini. Pameran ini
membuktikan pendidikan sebagai sarana mengembangkan kemampuan mereka di bidang
seni yang telah berkembang di Padang, kebudayaan yaang tumbuh dan berkembang di
daerah mereka, dan membuka cakrawala pengetahuan mereka terhadap dunia seni,
sekaligus budaya masyarakat Bali” Ujar Dr. Drs. I Wayan Suardana, M.Sn.
Ini salah satu bentuk
kepedulian kita bersama, sebagai tenaaga pendidik yang harus membuka ruang
seluasnya bagi para seniman untuk unjuk kreativitas dan terbuka terhadap kritik
serta pendapat masyarakat luas. Ini juga suatu bentuk kepedulian kita, sebagai
orang-orang yang terlibat dalam dunia seni dan budaya, bahwa pendidikan juga
penting untuk membantu logika berpikir secara sistematis, bahwa, dialogis bisa
membantu kita belajar menerima dan memahami suatu karya seni, yang hadir di tengah – tengah kita semua….
Bahkan, ada jokes yang berbicara..... "Orang Padangpanjang pameran di Padangtegal, disaksikan juga oleh orang PadangSambian. He he he..... aku kan tinggal di PadangSambian.
Mitrasya ma caksusa
sarvani bhutani samiksantam,
Mitrasyaham caksusa
sarvani bhutani samikse,
Mitrasya caksusa
samiksamahe
Yayur Weda XXXVI.18
Semoga semua mahluk
memandang kami dengan pandangan mata seorang sahabat,
semoga saya memandang
semua makluk sebagai seorang sahabat,
semoga kami
berpandangan penuh persahabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar