Namanya Mohammad Iqbal.
Dia bertutur tentang karyanya, sebuah karya seni fotografis berjudul “Fisherman
at Singkarak Lake, berukuran 112 X 75 cm, sebuah foto di atas kain kanvas yang
merupakan hasil karyanya pada tahun 2017. “Saya memotret dari atas bukit,
mencoba mengamati aktivitas nelayan tersebut, menunggu momen tepat, dan
mengambil beberapa gambar yang sesuai, kemudian memilih tampilan mana yang akan
saya sajikan, yang bertutur tentang aktivitas nelayan di danau Singkarak”.
Sungguh, sebuah usaha yang tidak mudah, menanti dengan tepat sebuah peristiwa
yang layak untuk diabadikan, sehingga bahkan, riak dan lekuk air daari danau
Singkarak terlihat jelas pada gambar foto yang dihasilkannya. Jangan bandingkan
dengan kualitas puluhan foto yang kuhasilkan setiap saat berfoto. Jauuuuuhhh.
Bagai jarak dari bumi ke bulan, balik lagi ke bumi. Namun satu hal yang kunggap
kurang pas adalah dia tidak menunggu mengambil foto yang lebih memperlihatkan
tenaga dinamis sang nelayan saat melempar jaring jala ikannya.
Ada juga Jendi Putra
Prima dengan karya berjudul Bicuik Nan Tatanam, sebuah karya seni cat minyak
akrilik di atas kanvas berukuran 140 X 90 cm dari tahun 2016. Banyak dari kita
sendiri yang menolak fakta bahwa sesungguhnya di dalam diri juga tertanam
sifat-sifat dan sisi negatif. Kita menolak dinyatakan buruk rupa, berupaya
tampil sempurna, menolak disebut rakus, emosian, baperan, egois, angkuh,
padahal sebenarnya semua sisi ini ada di dalam diri kita. Lihatlah bagaimana
Jendi menggambarkan sosok manusia memeluk kerangka tulang belulang yang tetanam
di dalam dirinya. Ini cerminan “Sadripu” enam sisi negatif manusia dalam istilah
masyarakat Bali, yang harus selalu kita kendalikan agar tidak mengganggu
aktivitas kehiduppan kita.
Ada Juli Hendra, dengan
karyanya yang berjudul “Tabuik Paiaman”. Memandang karya seni fotografinya
mengingatkan akan upacara Ngaben dengan bade nya bagi masyarakat Hindu. Dia
bertutur jauh ke belakang, tentang sejarah keberadaan masyarakat Padang Pariaman,
tentang masa kecilnya, tentang kenangan akan ritual Tabuik yang dahulu begitu
disakralkan oleh masyarakat Minang. “Tahukah ibu, bahwa terdapat sepuluh
rangkaian ritual yang harus dilakukan sebelum sepasang Tabuik dibawa menuju
arah Pantai, berjalan sejauh lebih kurang 5 km, menuruni perbukitan, dan
kemudian beradu di bibir pantai”, Ujarnya dengan penuh semangat. Juli bertutur
mengenai fotografi hasil karyanya. “Jika dahulu ritual keagamaan ini merupakan
hal sakral dan terjadi bertepatan tanggal satu Muharam, hanya untuk konsumsi
masyarakat Pariaman saja, maka kini kegiatan tersebut semakin meriah, bahkan
sudah melibatkan berbagai tamu yang datang sebagai wisatawan, dan menjadi ajang
atraksi wisata”, Juli menambahkan lagi.
“Dan kini, perlahan,
Upacara Tabuik Paiaman ini telah berubah menjadi konsumsi pariwisata. Sesuatu
yang dahulu begitu disakralkan, dikeramatkan, telah mengalami komodifikasi
wisata”. Ujar Juli pula
Ah, inilah anak muda,
mahasiswa, seniman era milenial dengan multi talenta, multi tasking yang mereka
miliki, merekalah pemilik dunia ini. Betapa mengagumkan lompatan dentum
milenium yang mereka lakukan, mampu memahami berbagai aspek kehidupan
masyarakat di sekitarnya, mulai dari ekonomi, sosial, politik, mereka juga
menguasai beragam informasi dengan begitu lengkap dan cepat bak cahaya,
memahami teknologi dalam penyajian seni secara digital, natural, dan tetap
indah dalam komposisi kecepatan, keakuratan pengambilan cahaya juga pergerakan
lensa kamera dan menyajikan dalam bentuk karya seni. Mereka mewakili anak-anak
era kini, yang berani mengambil tindakan, menentukan langkah, menampilkan karya
seni secara maksimal, sekaligus juga mempresentasikannya secara apik bagi para
penikmat seni, bagi para pencinta seni, bagi para kritikus, dan bagi siapa pun
yang ikut menyaksikan karyanya, mereka juga berani mempertanggungjawabkan hasil
karya nya, siap untuk berdiskusi dan bahkan berdebat.
Sayang, tidak semua
seniman dari ke 48 karya seni di pajang pada pameran ini bisa hadir. “Kami
terkendala berbagai urusan administrasi dan kesibukan yang juga ada di kampus
kami”, Ujar Ketua panitia Pameran “Pluralisme”, Yandri, S.Sn., M.Sn.
Sayang pula, tidak bisa
menikmati seluruh rangkaian seni dengan tenang. Begitu banyak ragam karya yang
tersaji, membutuhkan ruang waktu dan pemahaman yang bersungguh pula. Kita tidak
bisa hanya sekedar memahami sebuah karya yang tersaji dan terpapar di hadapan
kita. Harus memaknai pproses penyajian karya seni pula, menelusuri riwayat nya
memahami masyarakat dimana karya tersebut berawal dan bertumbuh kembang,
seperti pemahaman ku akan nilai-nilai pada masyarakat Minang, tentang
matrilineal, tentang kegelisahan mereka, tentang ketangguhan mereka di rantau
orang, tentang semangat persaudaraan, aaahhh, sungguh, tak cukup waktu ku
bercumbu dengan seluruh karya indah yang tersaji……
Tentu tidak mudah bagi
para seniman muda ini untuk tampil sekaligus bersamaan. Mengurus ke 48 seniman
muda, mahasiswa yang mempertanggungjawabkan tugas akhir dengan menampilkan
karyanya, di suatu daerah yang jauh terpisah dari Padang, bahkan, mungkin, baru
pertama kali mereka berkunjung kemari. Apalagi di suatu daerah bernama Ubud,
yang terkenal sebagai destinasi wisata internasional, di pusat aktivitas kehidupan
masyarakat yang kental dengan suasana serta aktivitas adat istiadat, spiritual,
seni. Namun, keberanian mereka uji nyali patut diapresiasi. Bagi masyarakat
penikmat seni sendiri, hal ini tentu membawa angin segar, bahwa kita memiliki
banyak nuansa seni dan budaya yang bertumbuh dan berkembang di berbagai belahan
nusantara, bahwa seniman tidaklah elok berhenti berkarya, bahwa budayawan harus
bersikap dinamis dan siap menjadi agen agen pperubahan, yang menjadi motor
penggerak di tengah masyarakat, ke arah yang semakin baik dari hari ke hari,
bersinergi dengan berbagai pihak lain, dengan seniman dari daerah lain, dan bahkan,
dengan saling mengunjungi, membawa misi seni dan budaya.
Visual Art Exhibition
bertajuk “Pluralisme”, yang akan berlangsung hingga tanggal 2 Desember 2018, yang
menghadirkan karya seni lukis, seni kriya, seni desain komunikasi visual, peach
work art, seni perfilman, seni
fotografi, seni media, dari 48 seniman mahasiswa ISI Padangpanjang : Rajudin,
Ibrahim, Harissman, Zulhelman, Juprinaldi, Hamzah, Yunis Muler, Armen
Nazaruddin, Ferry Fernando, Aryoni Ananta, Olvyanda Aresta, Kendall Malik,
Yulimarni, Juli Hendra, Febrian Iqbal, Jendi Putra Prima, Genta Putra Mulyawan,
Rafki Bakti Jaya, Awan, Gladysmara, Dio Oktoviandi, Riadi Ferdi Sihombing,
Andika Putra, Jeki Aprisela, Novriadi, Julion Afdil, Jelly F., Murdiono, Zaky
Nusyirwan, Diana Aprilia, Surkapri, Arif Rahman As., Ivan Saputra, Muhammad
Iqbal, Dimas Fajrian, Jefri Riadi, Yorie Aviorel Daffa, Genta Noverda Putra,
Fajrin Pratama, Dika Saputra, Aprivaldi El Ikrimi, Zul Fadhli, Yeyen Darmawan,
Reny Gusvita, Windy Nasir, Suri Handai Yani, Suseva Dina Putri, Maksal Mina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar