"A great man is always willing to be little". Ralph Waldo Emerson
Tatkala
menerima undangan untuk menikmati karya seni seorang Pande I Made Dwi
Artha, kupandangi kartu tersebut. Siapakah dia? Kucoba telusuri rekam
jejak nya. Hmmm, seorang pria muda. Masih sangat belia. Namun mengapa
sudah begitu berani mengadakan pameran tunggal? Bahkan, seorang Doktor
jenius terkenal yang berkenan menjadi kurator baginya.
Dilaksanakan
di Museum Neka yang terkemuka. Ah, umurnya baru 21 tahun. Bagaimana
mungkin, seorang remaja pria, sudah dengan pongah nya ber pameran
tunggal, mencoba menyaingi para seniornya, yang mungkin sudah berkarya
bertahun, bahkan bisa jadi berpuluh tahun.
Seorang mahasiswa STIBA
bernama Pande I Made Dwi Artha. Perjalanan kehidupan mahasiswa yang
masih mencoba belajar menapaki kehidupan, antara urusan keluarga,
banyaknya tugas kuliah, dan, ragam budaya di tengah masyarakat.
Bagaimana mungkin dia akan bisa memiliki kompetensi seorang budayawan,
bahkan seniman yang berkualitas, sehingga layak mengadakan pentas
tunggal?
Bahkan, katalog lukisannya belum kudapatkan. Tapi banyak
karya nya yang sempat kupandang melalui rujukan rekam jejak yang bisa
kudapat, membuat jiwa ini tergetar. Ada ketegasan disana. Setiap guratan
terlahir dengan jelas, begitu rinci menjalar, memenuhi setiap ruang
karya nya yang terisi dengan rapi, seolah setiap garis, setip titik,
bersatu indah, sehingga bisa berbicara dengan sangat tajam. Bahkan,
tidak ada kesalahan di mataku, seorang penikmat seni level emak-emak,
bisa dengan lugas menikmati indah karya goresan tangan Pande I Made Dwi
Artha.
Karyanya sudah memperlihatkan gaya tersendiri, tidak asal
meniru, bahkan bukan peniru gaya dari karya ayahandanya sendiri. Hmmm,
dia memiliki kelasnya tersendiri, pemilik kesujatian diri, dan, ini
hanya bisa dicapai oleh seniman yang sudah sangat berkompeten, sangat
percaya diri, dan, tetap dengan gayanya. Inilah seniman yang rendah
diri, tidak gembar gembor, namun setiap karyaya sudah memeperlihatkan
kualitas dirinya sendiri..... Tapi di atas itu semua, dia tidak bisa
meninggalkan kodratnya sebagai seniman Batuan. Corak ragam dan gaya
Batuan terlihat mengalir dari goresan, sapuan, dan penyelesaian setiap
karyanya.
Kali ini merupakan pameran tunggalnya yang ke dua. Pada
tahun 2017 Pande I Made Dwi Artha menyelenggarakan pameran tunggal
dengan menyertakan 9 lukisan ber bahan cat akrilik. Di Museum Seni
Titian Bali, pada hari Sabtu, tanggal 2 September hingga 3 Oktober
2017. Terlahir tahun 1998, belajar mengenal filosofis dan teknik lukisan
Batuan dari sang ayah, I Ketut Kenur. Pada umur 12, dia bahkan telah
memamerkan lukisan hasil karya di Museum Puri Lukisan Ubud. Pada usia 17
tahun, di tahun 2015, dia mulai terkenal dengan lukisan Men Brayut dan
Pan Brayut yang memperlihatkan potensi dan kompetensi diri dalam dunia
lukisan.
Pameran kali ini di Museum Neka dengan 19 karya lukis
besar, belasan berukuran kecil (20 X 20 cm) memperlihatkan kematangan
seniman Pande I Made Dwi Artha dalam bermain dengan perangkat lukisnya.
Yang sangat kunikmati adalah, betapa dia bisa masuk ke seluruh sendi
syaraf para penikmat karya seninya, menggugah emosi jiwa, tepat mengena
ke hati berbagai kalangan. Bisa di terima dan di cerna dengan mudah oleh
siapa saja, bisa diberi makna oleh siapa saja, tanpa perlu berpikir
keras dan rumit, bahkan, oleh seorang emak-emak sepertiku.
Menikmati
setiap guratan garis, lengkung, bulatan, cekungan, menikmati tarian
gadis Bali yang bergerak gemulai seirama gamelan yang mengiringi, terasa
harmoni.
"Saya selesaikan tiap lukisan rata rata satu bulan",
ujar Pande I Made Dwi Artha. Kubayangkan.... Karya "Keck Dance" dengan
begitu teliti pada setiap goresan yag dihasilkannya, tuntas dalam satu
bulan, setiap detil nya begitu bermakna..... ah, dia benar-benar
berjuang untuk tiap lukisan, sehingga tidak asal jadi.
Bahkan,
pada lukisan "Ibu Pertiwi", Pande berhasil memaknai sosok perempuan Bali
era milenial, berpijak pada satu sisi tradisional, dan sisi lain,
berpijak pada jenjang karir, pada dunia kehidupan milenial, pada jaman
serba kekinian antara tradisi dan religi, juga globalisasi. Hmmm, setiap
karya juga dihasilkan dari penelitian dan pemahaman mendalam terlebih
dahulu. Ini berarti bukan suatu karya yang asal-asalan atau sekedar jadi
belaka.
Menikmati beragam warna pada lukisannya, membuat suasana
hati ingat pada merah, hijau, kuning, biru, dan pelangi kehidupan, mudah
dicerna...... meski Pande I Made Dwi Artha mewarnai lukisan dengan
hitam dan putih, dan ragam warna lain, terasa komposisi warna tidak
membuat sakit di mata dan di hati.
Kemampuan menyatukan warna dan
karya, juga tetap mempertahankan makna yang ingin dicapai penulis,
sehingga bisa diterima dan dimaknai oleh penikmat seni, membutuhkan seni
tersendiri. Dan Pande mampu melakukan hal ini, membuat karyanya bisa
diterima banyak kalangan berbeda. Sungguh satu prestasi yang bisa
dicapai sedikit perupa...... Setiap karyanya diperlakukan dengan sangat
khusus, begitu eksklusif. "Saya bahkan berusaha mendapatkan kembali
karya pertama yang saya buat. Dan, meski karya saya terjual, saya
berupaya tetap mengikuti perkembangannya hingga kini". Ah, sisi positif
dari seorang seniman. Karya adalah dinamika jiwa, dan dia memperlakukan
setiap karya begitu istimewa, setiap guratan begitu tertata indah hingga
terangkai makna di setiap lukisan, termasuk di setiap karya karya nya
yang berukuran kecil pula.
Karyanya bertutur tentang realita
kehidupan, logika atau daya nalar sosok manusia, tentang rwa bineda,
tentang rasa, tentang raga, tentang nafsu, hasrat, birahi, harapan,
aktivitas pada berbagai ruang kehidupan, hingga aspek religius spiritual
yang kental melingkupi masyarakat Bali. Semua tentang sifat manusia,
sosok alami, natural, hingga surealis, terkait rakus, tamak, lemah
lembut, sosok keibuan, figur pemimpin, alam pedesaan, jaman
milenial..... dan, karya mutakhir Pande I Made Dwi Artha yang
diselesaikan tepat sesaat sebelum pameran dibuka, "Kala Rahu". Saya
disibukkan dengan jadwal ujian tengah semester di kampus, sehingga karya
ini baru rampung pagi harinya", ujar Pande.
Tepat di buka pada
tanggal 10 November 2018. Hari ini adalah Hari Pahlawan. Saniscara Wage
Kulantir. Bukan tanpa makna, bila hari ini bertepatan dengan Pembukaan
Pameran DeFINE Us.
Hari ini adalah petanda dan penanda, bahwa
Seorang Seniman Muda dan Berbakat, Seniman Besar yang membawa nama besar
Batuan, memaknai dirinya, memberi kesempatan luas masyarakat untuk
turut memberi makna bagi dirinya. Jadilah pahlawan bagi dirimu sendiri,
bagi keluarga dan juga masyarakat Batuan...... karena Seniman adalah
Pahlawan, dengan semangat Pahlawan, dengan karya Pahlawan, menjadi
pahlawan bagi negeri, bagi kita semua, bagi semesta.......
Selamat,
Pande, salut padamu. Muda usia, namun kaya imajinasi, dengan kompetensi
seorang seniman berkualitas, berani menentukan jati diri, dan, sudah
tiba pada kesujatian diri. Biarlah banyak penikmat seni memaknai setiap
karya senimu. Jangan pernah lelah berkarya, jangan pernah jumawa, karena
seniman jumawa dan tanpa karya hanya sosok raga belaka tanpa
makna......
Teringat petuah Mr. Brown.
Every person that you
meet knows something you don't. Learn from them (H. Jackson Brown Jr.).
Jangan pernah remehkan orang lain. Belajar lah dari mereka.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar