Hari Kedua Mertuaku
Berpulang
Pukul 4 pagi dini hari
Minggu, Mei 2012. Iparku, Nyoman Sumadi, mempersiapkan mobil kijang biru tuanya
untuk membawa jenasah. Kursi belakang mobil dibongkar, terpal digelar. Bapak
mertua dinaikkan ke mobil melalui pintu belakang, diapit oleh suamiku dan ipar,
Bli Made Miasa.
Kami yang lain yang
ditinggal di Denpasar, bertugas menunggu informasi selanjutnya. Wayan Adi
Pratama dan Made Yudhawijaya, anak-anakku,
juga Made Dika, ponakanku, masih tertidur lelap. Iparku yang merupakan
adik bungsu suami, Ketut Karmini, beserta suaminya, Agustinus Bheudema, kembali
ke rumah sebelum kembali berangkat ke Singaraja dengan membawa 30 kg dry ice
yang harus dibelinya terlebih dahulu di jalan Sidakarya, Sesetan.
Dengan mengendarai
motor Mio suami, aku menghantar Nengah Smerti kembali bekerja di restoran di
sebelah sekolah swasta terkenal di jalan PB Sudirman. Kemudian aku kembali
pulang ke rumah untuk menyiapkan pakaian yang akan kubawa pulang kampung.
Kuminta Ayu menyiapkan lauk pauk yang akan kubawa ke rumah ipar, agar anak-anak
tetap terjaga pemenuhan kebutuhan akan makanan mereka.
Waktu menunjukkan pukul
7 pagi. Belum lama aku di rumah, mencuci dan menjemur baju, kuterima telpon
dari Agus. Ia mengalami kecelakaan, terjatuh dari motor. Dia minta dibawakan
obat-obatan di lokasi kejadian, jalan Belitung, dekat lapangan Pegok. Hmmm. Ada
masalah di saat dibutuhkan konsentrasi tinggi. Kuhampiri dia dengan mengendarai
motor dan berpakaian lengkap untuk sebuah perjalanan jauh, karena sudah hampir
bisa dipastikan, dia tidak siap untuk mengambil dry ice dan membawanya menuju
Singaraja.
Kutelpon anakku Adi,
yang masih di jalan Antasura, untuk menyiapkan motornya, Yamaha Jupiter MX,
agar bisa kubawa ngebut melintasi jalan raya untuk segera tiba di Singaraja.
Kemudian aku menuju ke penyalur dry ice yang terletak di jalan Sidakarya. Ah
ha. Baru kuketahui, pabrik dry ice di Surabaya sedang dalam kondisi rusak, dan
paket pengiriman berikut baru akan tiba esok siang. Sementara bersama ku, ada 2
rombongan yang juga membutuhkan dry ice untuk mengawetkan jenasah. Namun
akhirnya, berkat perjuangan gigihku, juga disertai doa pada Tuhan, dan berkah
dari bapak mertua, bisa kudapatkan 20 kg dry ice. Diletakkan dalam box berbahan
gabus putih padat ber lakban, diikat erat di bagian belakang boncengan motorku yang
sudah terisi bensin penuh, aku mampir di rumah ipar, jalan Antasura.
Mampir di rumah ipar,
aku mendapati Yudha sedang bermain bersama Dika. Adi sedang memberi makan ikan
lele dan kodok yang merupakan ternak peliharaan iparku. Kuletakkan makanan yang
kubawa dari rumah, berpamitan pada mereka semua, dan segera meluncur ke
Singaraja.
Melaju menembus jalan
raya Denpasar – Gilimanuk, menerobos hutan Bading Kayu, dan tiba di Desa Dapdap
Putih dengan berkali lepas rantai motor, aku harus rehat sejenak di sebuah
bengkel. Motorku butuh perbaikan. Kusempatkan minum air putih sambil ber santai
sejenak. Kubiarkan boks berisi dry ice tetap terikat rapi di jok sadel sepeda
motorku bagian belakang.
Dua jam 30 menit
kemudian, aku tiba di halaman rumah di kampung halaman, di Pangkung Singsing,
di Dusun Asah Badung, Desa Sepang Kelod, Desa Adat Sepang, Kecamatan Busung
Biu, Kabupaten Buleleng. Di tengah jalan sempat aku berpapasan dengan ipar,
Nyoman Sumadi, yang sedang mengendarai Kijang Biru Tuanya. Dia mengatakan akan berangkat
menuju Desa Kapal, Badung, untuk memesan Tabla / Wadag bagi jenasah, lanjut
kemudian ke Klungkung, untuk menyampaikan informasi pada para keluarga, juga
membuat banten untuk persiapan nunas tirta.
Di rumah sudah ramai
orang mulai berdatangan. Para pria membangun rompog / tenda yang ditopang
dengan tiang bambu. Para perempuan mejejaitan dan mecik jaje untuk banten.
Aku mulai membuka kotak
berisi dry ice, dengan dibantu oleh para kerabat dan suami, membelah dry ice
menjadi potongan kecil dengan sebuah kapak. Lalu membuka lembaran kantung
plastik yang kubeli dijalan, menjejali potongan dry ice ke dalamnya, lalu me
lakban kantung tersebut sebelum kemudian diletakkan di sekujur tubuh bapak
mertua.
Nyoman Kopat
panggilannya. Dia adalah seorang cucu yang sangat mencintai sang kakek. Matanya
memerah, meski tidak menangis, namun terlihat jelas wajahnya sungguh sedih
bermuram durja.
Meski dia tidak bersama
kakek tatkala sang kakek berpulang, namun sungguh lama waktu yang telah mereka
lewati bersama. Maka, tak heran, ikatan batin sangat kuat terasa antara cucu
dan kakeknya.
Hari dengan cepat
beranjak malam.
Hari Ketiga Mertuaku Berpulang
Senin pagi, 7 Mei 2012.
Pukul 7 pagi, rombongan berikutnya tiba dari Denpasar. Anak bungsuku, ipar2ku
dan anak2 mereka. Kaum pria anggota banjar kembali tiba dan melanjutkan
membangun tenda. Kaum perempuan anggota banjar menanding banten.
Setelah selesai dengan
urusan dapur, mulai dari mempersiapkan bumbu, memasak untuk sarapan, menata
kue, aku berpamitan dengan seluruh kerabat untuk bergerak menuju Denpasar.
Waktu menunjukkan pukul
10.30 tatkala aku tiba di SMAN I Denpasar. Kutemui guru piket, dan menjelaskan
mengenai rencana Ngaben kakek Adi pada guru piket, dan memohon ijin untuk
berjumpa dengan nya.Berbincang sejenak dengan Adi, aku pamit melanjutkan perjalanan.
Suami meminta menghubungi Jero Gede Tanjung, dari kawitan Gede Tanjung Klungkung, tempat dimana leluhur bermula.
Ah,
entah dimana harus kutemui Beliau. Hanya pernah kukunjungi sekali pada
saat sepuluh tahun lalu, ketika ibu mertua berpulang. Dan itu pun di
malam hari, dengan diantar oleh Mbok Mang Dari. Maka, kutelusuri jalan
Cekomaria di Peguyangan Kaja, tembus di Banjar Cengkilung, Peguyangan
Kangin. Bertanya hanya 2 kali dengan orang yang kujumpai di jalan,
kutemui rumah Beliau, Jero Gede Tanjung Agung Suputra. Astungkara,
Tuhan. Hanya berkat Mu lah, kudapat menyampaikan pesan dari keluarga
besarku, dan sekaligus mengundang Beliau untuk hadir pada upacara
pengabenan bapak Mertua ku.
Bahan untuk pretima yang kulihat di rumah Jero Gede Tanjung Agung Suputra, di Banjar Cengkilung, Peguyangan Kangin.
Setelah berdikusi, aku
mohon pamit. Lalu mampir di rumah ipar, di Jalan Antasura, Gg. Sutra,
mengambil laptop yang kutinggal kan di sana, memberi makan anjing
peliharaan keluarga, dan menuju jalan Sidakarya, kembali kuambil
masing-masing dua boks berisi 15
kg dry ice, total 30 kg. kuikat di bagian belakang motor, dan
melanjutkan perjalanan kembali menuju Singaraja, Asah Badung.
Tiba pukul 5 sore
hari, masih ramai anggota banjar yang berkumpul. Sisa hujan deras masih
terlihat basahi berbagai sudut halaman. Pukul 6 sore anggota banjar
tuntas dengan aktivitas hari itu. Kami membersihkan halaman,
membersihkan diri, dan menikmati makan malam ala kadarnya.
Menjelang malam,
beberapa anggota banjar kembali megebagan, menemani sang empunya karya
menuntaskan berbagai kerja tersisa. Kemudian kami merebahkan badan untuk
beristirahat.
Dalam beragam gaya tatkala tertidur
Hingga yg ber galang beras.....
Lelah kah aku?? Sudah jelas. Aku hanya seorang perempuan biasa. Bukan apa-apa dan juga bukan siapa-siapa. Namun kita sebagai manusia, umat ciptaan Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, diberikan kebijakan untuk berkembang menjadi smakin kian dewasa dari hari ke hari. Sekarang, tergantung diri kita, apakah mau menggunakan kesempatan ini dengan baik, atau hanya menekankan egosi semata. Di saat begini, kita diminta bijak menyikapi berbagai situasi dan kondisi yang kita hadapi..... bukan dengan tuntutan untuk mencapai kesempurnaan, namun untuk bersikap bijak dan dewasa.....
Hari sudah sungguh larut malam, tatkala kurebahkan tubuh di samping ponakan ku, Putu Diah Trisna Septiani, di lantai dapur kami, dengan beralas plastik dan ber galang beras se kampil......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar