Hari Keempat Mertuaku
Berpulang
Selasa, 8 Mei 2012.
Terjaga pagi hari, kubuatkan nasi goreng bagi keluarga. Lumayanlah,
memanfaatkan nasi kemarin, dengan tambahan mie goreng dan telur. Juga teh manis.
Kuutamakan anak-anak dan para ponakan. Mereka harus tetap mendapatkan perhatian
meski kami semua sibuk menuntaskan karya ini.
Pukul 8 pagi, anggota
banjar mulai berkumpul berdatangan, kaum lelaki dan perempuannya. Mereka kemudian
bertugas sesuai dengan arahan yang diberikan oleh para pemegang komando, mulai
dari ketua tim PKK, penglingsir, dan para mbok ku.
Kusadari, gas isi
tabung tinggal sedikit, dan kami membutuhkan cadangan gas. Seluruh anggota
keluarga yang pria sedang sibuk bekerja dengan bagian tugas masing2. Kenapa tidak?
Jangan pernah remehkan kemampuan seorang wanita, maka aku membawa tabung gas
yang kosong, mengikatnya di atas motor, dan melaju menuju desa, rumah Nang
Merat. Menukar tabung gas kosong tersebut dengan tabung gas yg berisi penuh,
lalu kembali ke rumah kami.
Bagaimana dengan
persiapan lainnya? Kami butuh sayur-mayur, telur bebek untuk perlengkapan
banten, aneka plastik. Maka, kembali aku
berangkat ke desa. Namun Yudha, anakku, dan Dita, ponakanku ingin ikut serta.
Knapa tidak? Kami bertiga menuju ke desa dengan mengendarai motor. Berbagai
peralatan dan perlengkapan yang kami beli kuletakkan di bagian depan motor,
anak-anak di bagian belakang, saling berpegangan erat, dan kami kembali ke
rumah.
Tinggal bersama di
berbagai lingkungan yang berbeda-beda, dengan banyak orang, menuntut kita untuk
bisa beradaptasi. Aku bersyukur memiliki keluarga yang beraneka warna, dan mau
belajar beradaptasi dengan berbagai perbedaan ini. Memelihara harmonisasi dan
tenggang rasa satu sama lainnya memang tidak mudah dan tak segampang membalik
telapak tangan. Namun sejauh kita siap dan mau belajar, maka semua akan lebih
mudah bagi diri kita sendiri dan juga orang lain.
Di jalan kembali ke
rumah, kami melihat serombongan anak sekolah yang baru pulang. Mereka berjalan
kaki beriringan, tersenyum manis dan menyapa kami. Hmmmm, tipikal masyarakat
Indonesia yang ramah dan murah senyum. Meski jarak jauh yang harus mereka
tempuh demi sebuah cita-cita di masa depan, menuntaskan pendidikan.
Ada beberapa bagian
banten yang harus di bawa ke rumah Beli Nengah Puja. Bapak nya yang merupakan
adik mertuaku, akan ikut diaben pula. Mbok Wayan Nuka dan Me Nyoman Tamas sudah
cukup lelah menuntaskan banyak banten. Maka kuputuskan akan membawa sebagian
banten dengan menggunakan motor, menggandeng Kadek, menantu Mbok Wayan Nuka.
Well, mau professor,
pejabat terkenal, sepenuh deretan gelar, tetap harus bisa membaur, saling bahu
membahu, tolong menolong menuntaskan berbagai problema. Dan kurasa aku cukup
mampu. Maka, kuberikan apa yg bisa kulakukan demi keluarga tercinta.
Mengendarai motor mondar mandir.
Pukul
12 siang, banten dari Griya Pangyangan tiba, kami mempersiapkan segala
sesuatu bagi penempatan sementara per bantenan ini. Di teras rumah, di
panggung yang terbuat dari bambu juga.
Dalam
jangka waktu yang hampir bersamaan, tiba pula tabla / bade / wadag yang
akan dipergunakan untuk meletakkan mayat dan diarak menuju setra. Bade
ini dipesan oleh iparku di daerah Kapal, Denpasar.
Juga sekeha angklung. Hmmm, sungguh sebuah rangkaian prosesi upacara dan upakara demi berjalan lancarnya karya kami ini.
Waktu menunjukkan
pukul 4 sore tatkala aku bersama ipar dan para ponakan mempersiapkan dry
ice tambahan bagi bapak mertua. Ku potong-potong dry ice menjadi
beberapa bagian kecil, memasukkannya ke dalam plastik ber lakban, melap
dan membersihkan tumpahan air hasil udara yang mengembun di tubuh kurus
beliau, dan kembali menutup dengan plastik dan terpal yang telah
disediakan.
Ramainya tamu yang datang silih berganti menunjukkan dukacita bagi keluarga kami, sungguh merupakan sebuah kehormatan bisa menerima mereka dari berbagai lokasi di seantero negeri. Mulai dari rekan-rekan kerja, para kerabat dan tetangga kami di Denpasar. Ah, semoga Bapak, leluhur, bhetare dan pada dewa sebagai kepanjangan tangan Beliau, dapat membalas budi baik mereka semua.
Waktu
menunjukkan pukul 6 sore. Saatnya bersiap berangkat menuju Denpasar.
Aku akan menjemput Adi anakku, sekalian mengambil dry ice untuk yang
terakhir kalinya.
Kukenakan
jaket, celana panjang, lengkap dengan kaus kaki dan sarung tangan, juga
helm baku SNI. Hmmm..... bakal malam hari melewati jalan raya, menembus
hutan dan jalan berliku pegunungan. Smoga Hyang Widhi melindungiku.
Bahkan,
dengan kondisi motor mati mendadak berkali, di Tukad Yeh Baas, di
Munduk Mengenu, di Hutan Bading Kayu, disertai gonggongan anjing dan
udara malam yang dingin menembus kulit, aku tersadar, motor Yamaha
Jupiter MX ku sudah lama belum ganti olie juga tak ditambah akinya
karena kesibukan mondar-mandir berkali.
Astungkara.....
empat jam kemudian aku tiba dengan perasaan lelah teramat, bila
dibandingkan 2,5 jam waktu yang biasanya kubutuhkan untuk menempuh
perjalanan dengan jarak sama. Kurebahkan badan setelah mandi dan
berdiskusi dengan anakku Adi. Besok kami akan menempuh perjalanan di
pagi hari dini sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar