Hari Pertama Mertuaku
Berpulang
Sabtu, 5 Mei 2012, Saniscara Kajeng Wage Prangbakat,
Purnama Jiyestha, hari yang sudah kunantikan semenjak berhari lalu. Dua banten
pejati telah kupersiapkan untuk nangkil ke Pura Catur Kandapat Sari yang
terletak di jalan Antasura 150. Bersamaku akan ikut pula berangkat dari Umedui,
tiga anak asuhku, dan anak-anakku sendiri. Aku juga merencanakan akan mengajak
serta ponakan tercinta, Putu Diah Trisna Septiani.
Waktu menunjukkan pukul
6.10 sore tatkala telpon rumah berdering. Suamiku berbicara di ujung seberang….
“Datanglah ke Antasura, jangan bawa banten, ajak anak-anak”. Ah…. Jantungku
berdegup kencang. Bapak mertuaku yang sudah berumur 95 tahun, tinggal bersama
ipar di jalan Antasura, dan kini suami sedang berkumpul di sana pula.
Tebakan ku benar…..
Bapak mertua baru berpulang, dengan didampingi anak-anaknya, suamiku, Wayan
Tagel Eddy, para ipar, Made Miasa, Wayan Tinggal, Wayan Arsini, juga cucu, Putu
Diah dan Made Dika.
Segera kuberitahu Putu
Widiasih atau yang biasa kupanggil Ayu. Dia sedang bersiap untuk ikut
bersembahyang, namun kini kubatalkan. Kuminta dia menunggu rumah dan berjaga
terhadap segala kemungkinan, sementara aku dan anak-anak akan segera berangkat
menuju Antasura. Ku telpon May dan menyatakan bahwa aku tidak bisa menghantar
mereka bersembahyang bersama, dan meminta dia juga teman2nya mengambil banten
yang telah kupersiapkan untuk sembahyang. Ku telpon pula para sahabat, Jro
Nyoman Suharta, dan Nyoman Gede Artha sekeluarga, yang sesungguhnya tertarik ingin
ikut bergabung dalam rangkaian persembahyangan bersama di Pura yang terkenal
unik tersebut. Hmmm, Tuhan belum berkenan memberi ku kesempatan bergabung kali
ini, dalam rangkaian odalan di Pura tersebut.
Aku dan kedua anakku tiba
di Jalan Antasura, Gg Sutra, 30 menit kemudian, kami mendapati bapak mertua,
Ketut Rantun, telah dibaringkan di atas kasur di ruang keluarga. Dokter
didatangkan untuk memastikan keberangkatan beliau. Berikutnya, berdatangan para
kerabat dan sahabat, mulai dari adik2nya dan keluarga masing-masing dari Wayan
Arsini, para sahabat suamiku sesama rekannya yang sedang menempuh pendidikan di
program pascasarjana S3, para tetangga di Perum Pondok Galeria, seperti Pak
Made Mertayasa beserta istri, Pak Nyoman Arka, Pak Nyoman Runteg, Pak Dewa
Kadek Uriana.
Kami putuskan akan
membawa pulang bapak mertua ke kampung halaman tercinta, Asah Badung di Sepang
Kelod. Namun baru pada keesokan pagi dini hari, dengan alasan agar tidak
terjebak kemacetan. Mengapa tidak membawa beliau ke rumah sakit? Dengan alasan,
karena usia sudah sepuh, diyakini meninggalnya beliau memang bukan karena
penyakit atau kecelakaan. Lagi pula, bila dibawa ke rumah sakit, harus melalui
serangkaian visum, memandikan jenasah, meminta surat keterangan dari dokter
atau pihak RS, lalu kemudian ambulan beserta supir yang akan membawa ke kampung
halaman yang belum tentu bisa menguasai medan yang sungguh berat dengan jalan
berliku, rusah parah, dan dalam keadaan gelap larut malam.
Bagaimana dengan proses
mengawetkan jenasah? Karena kami belum tahu, entah bagaimana kelanjutan dari
prosesi acara upacara dan upakara yang disepakati bersama keluarga besar, juga
desa adat dan lingkungan di kampung. Ada 3 alternatif pilihan, diawetkan dengan
menggunakan formalin? Toh aku sudah beberapa kali membantu proses penyuntikan
formalin terhadap jenasah. Dengan menggunakan es? Namun bagaimana mungkin, bisa
mendapatkan es dengan mudah, di kampung jauh di Buleleng sana…. Atau, dengan
menggunakan dry ice. Maka, iparku, Agustinus Bheudema, mulai mengumpulkan
informasi yang berkaitan dengan ini.
Dari informasi yang
berhasil kami kumpulkan malam itu, penyalur dry ice terdapat di jalan raya
Sidakarya, Sesetan, Denpasar. Diperlukan 30 kg dry ice di hari pertama
penggunaan, dan kemudian 20 kg dry ice per hari nya bagi bapak mertua yang
memiliki berat badan 50 kg. Per kg dry ice dihargai sebesar Rp 20.000. Iparku
ditugaskan meng handle urusan membawa dry ice dari Denpasar ke Singaraja.
Berikutnya, kami
memandikan bapak mertua dengan menggunakan peralatan serba baru, ember dan
gayung baru, sabun baru. Aku menyabuni dan menggosok perlahan, demikian pula
Bli Made Miasa, Nyoman Sumadi, dan Ketut Karmini, juga suamiku, me lap hingga
bersih seluruh bagian tubuh beliau.
Kami kemudian menggosok
kembali seluruh bagian badan beliau dengan air hasil uleg an kayu cendana,
sebelum kemudian memberi pakaian bersih.
Ah….. tenang sekali
wajah beliau. Sungguh memancarkan sinar kasih teduh dalam senyuman di balik
wajah tertidur nya.
Terbayang saat-saat
kami masih berkumpul bersama, saling bertukar ceritera, tentang perjalanan
hidup, kisah dan berbagai harapan yang kami punya.
Namun ini jalan yang
telah Tuhan beri bagi kami semua. Kami harus tabah menghadapi ini, menjalani
semua dengan sepenuh cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar