Kamis, 10 Mei 2012, Wrespati Wage Bala, pukul 4 pagi. Dingin udara pegunungan di Sepang membuat kami tetap menggunakan jaket
untuk menghangatkan tubuh, namun tidak hentikan langkah dan hanya
bermalas belaka.
Kami semua bersiap. Tabla / bade / wadag sudah bersiap dengan bambu berpalang yang akan dipergunakan menggotongnya. Ida Bagus dari Ghriya Pangyangan membacakan mantram dan memercikkan tirta menyucikan. Gamelan Gong yang dimainkan mengeluarkan suara merdu nan magis yang membuat tiap orang terpukau.
Kami semua bersiap. Tabla / bade / wadag sudah bersiap dengan bambu berpalang yang akan dipergunakan menggotongnya. Ida Bagus dari Ghriya Pangyangan membacakan mantram dan memercikkan tirta menyucikan. Gamelan Gong yang dimainkan mengeluarkan suara merdu nan magis yang membuat tiap orang terpukau.
Ibuku
yang telah tiba larut malam setelah menempuh berkali penerbangan dari
Pontianak, dan menginap di desa Batuaji, telah pula berangkat menuju
Sepang. Beliau disertai Dewa Biyang Nyoman Nesi dan Dewa Kadek Kokar ygn
mengendarai kendaraan APV.
Kusiapkan sarapan bagi anak-anak dan
para ponakan. Mereka tidak boleh sampai terlupakan. Kuperhatikan pula
pakaian bersembahyang yang mereka kenakan. Setelah itu baru kusempatkan
untuk sarapan. Kami semua bersama dengan seluruh anggota banjar dan
kelompok sekehe Suka Duka Asah Badung sarapan bersama.
Berikutnya, rombongan bersiap untuk berangkat menuju setra / sema / kuburan.
Aku kebagian menggendong seperangkat peralatan upacara, dengan diselaputi kain kasa putih yang diselempangkan di bahuku. Namun tetap tidak mau melupakan seperangkat kamera saku untuk
mengabadikan berbagai peristiwa dan kejadian hari ini yang bakal
kualami. Batere kamera telah ku isi ulang se penuh nya tadi malam.
Anak-anak juga telah mengenakan pakaian sembahyang dan sandal yang tidak
menghambat perjalanan jauh mereka hari ini.
Kami
bersiap berangkat, dengan terlebih dahulu berdoa, dan diperciki tirta
oleh Ida Ratu Peranda, memohon berkat agar di puncak karya ini semuanya
dapat berjalan lancar.
Kami berjalan ber iringan di bagian depan tabla / bade. Ibuku juga bersikeras tetap ikut di bagian depan bade, sambil
memegangi kain putih yang terbentang, berjalan cepat. Terkadang harus
berlarian. Ah.... ibuku sayang, ibuku terkasih.... Ibu yang telah
melahirkan dan merawatku. Beliau sudah sepuh kini. Dengan kondisi fisik
yang tidak sempurna, kedua kaki cacat, pernah patah akibat beragam
kecelakaan, pinggul bengkok, namun bersikeras ikut berjalan kaki
menempuh jarak ber kilo meter, demi menghantar jenasah bapak mertua ke
tempat pengabenan, untuk kembali bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa.....
Dari Ibu ku lah aku belajar tentang arti kehidupan,
tentang semangat untuk pantang menyerah kalah
sebelum buktikan ketangguhan kita dalam berjuang.
Dari Ibu ku lah aku dapatkan spirit empati dan kasih sayang pada sesama....
Dari Ibu ku lah aku belajar untuk selalu rendah diri,
menyatu dan berbaur dengan orang lain,
karena gelar dan materi tak kan berarti tanpa terlibat bersama sahabat dan kerabat.
Dari Ibu ku lah aku dapatkan, manusia akan selalu temui masalah dan tantangan hidup,
namun kita akan bisa belajar untuk menjadi bijak dan dewasa dari ini semua,
meski berkali terjatuh dan terpuruk.... namun bangkit kembali selalu.....
Dari Ibu ku lah aku belajar tentang arti kehidupan,
tentang semangat untuk pantang menyerah kalah
sebelum buktikan ketangguhan kita dalam berjuang.
Dari Ibu ku lah aku dapatkan spirit empati dan kasih sayang pada sesama....
Dari Ibu ku lah aku belajar untuk selalu rendah diri,
menyatu dan berbaur dengan orang lain,
karena gelar dan materi tak kan berarti tanpa terlibat bersama sahabat dan kerabat.
Dari Ibu ku lah aku dapatkan, manusia akan selalu temui masalah dan tantangan hidup,
namun kita akan bisa belajar untuk menjadi bijak dan dewasa dari ini semua,
meski berkali terjatuh dan terpuruk.... namun bangkit kembali selalu.....
Perjalanan menuju setra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar