Rabu, 22 Januari 2020

Siwaratri, Wrespati Pon Wariga, Kamis, 23 Januari 2020



Wrespati Pon Wariga, Kamis, 23 Januari 2020. Hari Raya Siwaratri. Sering disertai dengan pelaksanaan tapa brata Siwaratri pula.

Siwaratri, adalah hari dimana kita memuja dan memuji kebesaran Beliau, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang hadir dalam berbagai bentuk kitab suci seperti Weda, termuat pula dalam Itihasa Mahabharata dan Purana, maupun Nibanda. Di Indonesia, seorang pujangga bernama Empu Tanakung telah menggubah sebuah ceritra Lubdhaka yang ditulis dalam pustaka Sivaratrikalpa pada akhir jaman Majapahit, tentu dengan tujuan untuk meyakinkan umatnya agar dengan penuh keyakinan dapat melaksanakan brata Sivaratri yang ditetapkan dalam Veda.

Hari Raya Siwaratri bagi umat Hindu merupakan simbol pengendalian diri dari sikap egois dan emosi. Sudah sepatutnya kita berupaya mengendalikan diri dari beragam sifat dan sikap negatif. Sikap ini terwujud dalam rangkaian aktivitas sehari-hari, karena sikap ini akan senantiasa meningatkan kita semua, bahwa dengan pengendalian diri, akan terhindar dari konflik batin dan konflik antar umat. Dengan pengendalian diri, akan terjaga toleransi dan terjalin kebijakan di setiap tindakan. Dengan pengendalian diri, setiap orang menjadi dewasa dalam mencapai tujuan hidupnya.
 
Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kecenderungan, yakni kecenderungan berbuat baik dan kecendrungan berbuat jahat. Dua kecenderungan tersebut,  yaitu :
  1. Daiwi Sampad, yaitu sifat kedewaan.
  2. Asuri Sampad, yaitu sifat keraksasaan.
Daiwi Sampad bermaksud menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama manusia.
Sifat – sifat ini perlu dibina. Perkembangan kecendrungan sifat – sifat Daiwi Sampad dan Asuri Sampad pada manusia ada yang timbul karena faktor luar dan ada pula faktor dari dalam diri sendiri, serta ada pula dari kedua faktor tersebut.

Manusia didalam bertingkah laku sangat di pengaruhi oleh tiga sifat yang disebut Tri Guna, Tri Guna adalah tiga macam sifat manusia yang mempengaruhi kehidupan manusia. Tri Guna terdiri dari :
  1. Satwam atau sattwa adalah sifat tenang.
  2. Rajas atau rajah adalah sifat dinamis.
  3. Tamas atau tamah adalah sifat lamban.
Tri Guna terdapat didalam diri setiap manusia hanya saja ukurannya berbeda – beda. Tri Guna merupakan tiga macam elemen atau nilai – nilai yang ada hubungannya dengan karakter dari makhluk hidup khususnya manusia

I Wayan Sudira (2012) menjelaskan bahwa sudah seharusnya seseorang yang mendalami dan memahami ajaran agama, mengaplikasikan ajaran tersebut pula di dalam kehidupannya. Seharusnya lah, ajaran agama mampu membuat seseorang menjadi semakin bijak, dari perilaku yang tidak baik (seperti: Dari belengu Asuri Sampad menjadi Daivi Sampad. Dari pengaruh Danawa (sifat-sifat destruktif raksasa) menjadi perilaku Madhawa (Dewa / kemuliaan). Dari Wisya (racun, bencana, ketidak beruntungan) menjadi matemahan Amerta (penghidupan, karunia, kemuliaan)

Terkadang, orang bisa terjerat kesombongan, iri hati dan keinginan berkuasa. Dengan semangat Siwaratri, berpuasa dan pengendalian diri berkali-kali, beragam energi negatif dan destruktif / merusak ini di somya, dilebur, dikikis dan dikendalikan menjadi kearifan, kecerdasan, dalam menyikapi beragam situasi kehidupan.


Makna Siwaratri

Siwaratri memiliki arti Malam Siwa. Kata Siwa (Sanskerta) bermakna baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Siwa merupakan gelar atau nama kehormatan bagi Tuhan, yang diberi nama atau gelar kehormatan Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pemerelina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian. Sedangkan kata Ratri artinya malam, malam disini juga dimaksud kegelapan. Jadi Siwaratri berarti malam untuk melebur atau memralina (melenyapkan) kegelapan hati menuju jalan yang terang.

Kekawin Siwaratri karya Mpu Tanakung di kalangan masyarakat Hindu di Bali lebih dikenal dengan nama Kekawin Lubdaka. Kekawin ini biasanya dibaca pada hari raya Siwaratri, yaitu pada hari Caturdasi Krsnapaksa artinya panglong ping 14 Sasih Kepitu atau sehari sebelum bulan mati pada bulan magha (ke-7) yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun.

Ajaran Siwarati bersumber pada : Siwapurana, Padmapurana, Garudapurana, dan Kekawin Siwaratri Kalpa. Mpu Tanakung telah berasil menggubah karya sastra yang bermutu yaitu Kekawin Siwaratri Kalpa atau Lubdaka pada jaman Majapahit (Abad ke-15). Beliau mengambil sumber Padmapurana yang memuat percakapan antara Dilipa dengan Wasistha. Bagian Uttara Kanda dari Padmapurana sangat dekat dengan kekawin Siwaratri Kalpa. Bagian-bagian tertentu dalam kekawin Siwaratri Kalpa merupakan terjemahan dari sumber tersebut. Dengan menggubah kekawin Siwaratri Kalpa, Mpu Tanakung bermaksud menyebarluaskan cerita itu lewat media seni
sastra.

Siwaratri dan Brata

Hari Raya Siwaratri di Bali dilaksanakan oleh masyarakat dengan melakukan Brata. Berbagai macam Brata atau ajaran tentang latihan pengekangan diri oleh Tuhan Yang Maha Esa bertujuan untuk kembalinya diri manusia kepada kesadarannya yang sejati, yakni atma yang berstana pada diri pribadi seseorang. Kegelapan oleh berbagai fator terutama oleh keterikatan terhadap keduniawian menghambat usaha manusia untuk meningkatkan kwalitas dalam hakekat kehidupan. Kata Brata dalam bahasa Sanskerta berarti Janji, Sumpah, atau kewajiban, laku utama atau keteguhan hati, penyucian diri. Dengan demikian Brata Siwaratri berarti kewajiban sebagai laku utama, atau janji untuk teguh hati, untuk melaksanakan ajaran Siwaratri.

Salah satu ajaran tentang brata adalah Brata Swaratri yang mengandung ajaran yang sangat luhur, guna meningkatkan sradha dan bhakti kita kepada Tuha Yang Maha Esa. Dan melalui brata ini pula seseorang akan dapat meningkatkan keluhuran budhi pekertinya sehingga perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama dapat dicegah, diredam dan dihindari termasuk pula emosi yang dapat meletup dalam kerusuhan sosial yang dapat mengorbankan jiwa dan harta benda.

Brata bertujuan untuk memperoleh kesadaran diri dengan  melenyapkan papa. Kata papa dalam bahasa sanskerta artinya sengsara, neraka, buruk, jahat dan hina.

Brata Siwaratri terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :

1. Tingkat Utama yang terdiri dari Monobrata, Upawasa, dan Jagra yang dilaksanakan sekaligus.
2. Brata Tingkat Madya terdiri dari upawasa dan jagra dilaksanakan sekaligus.
3. Brata Tingkat Nista hanya dengan melaksanakan jagra.

Monabrata artinya pantangan bicara atau berdiam diri tanpa bicara
dari pukul 06.00 pada panglong ping 14 sampai pukul 18.00
Tileming sasih Kepitu selama 36 jam.

Upawasa artinya berpuasa tidak makan dan minum lamanya sama dengan monabrata.

Jagra artinya berjaga, bangkit, maksunya tidak tidur selama 36 jam.

Pelaksanaan Brata Siwaratri di India dan di Indonesia
Pelaksanaan Brata Siwaratri di India pada paro petang ke-14 bulan phalguna (februari-maret) hyampir sama dengan di Indonesia yang dilakukan pada paro petang ke-14 bulan magma (januari-februari), yakni mereka tidak tidur selama 36 jam, sembahyang Kepura-Pura Sanghyang Siwa dengan mengucapkan japa pancaksara OM NAMAH SIWAYA. Sejak pagi hingga keesokan harinya menjelang mata hari terbenam.

Berbagai perayaan dan pelaksanaan Brata tidak akan banyak memberikan manfaat bila umat tidak mampu menangkap makna dibalik perayaan atau Brata tersebut, untuk itu hal yang penting adalah merenungkan semua makna keutamaan Brata itu kemudian mengejewantahkannya, menerapkan dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial.

Brata Siwaratri adalah hari untuk meningkatkan kesadaran kita untuk senantiasa memuja keagungan Sanghyang Widi dalam hal ini salah satu abhiseka atau manifestasi utama-Nya adalah sebagai Sanghyang Siwa. Tujuan utama dari Brata Siwaratri adalah melenyapkan sifat-sifat buruk atau jahat dan hina.

Pemujaan terhadap Dewa Siwa dalam upacara Siwaratri karena manusia dalam menghadapi segala hambatan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri, memerlukan tuntunan dan waranugraha Dewa Siwa sebagai pemeralina segala sesuatu yang menghalangi tujuan suci. Dewa Siwa sebagai penuntun dan pelindung manusia dalam perjuangannya melenyapkan kegelapan batin, menuju kehidupan yang penuh kesadaran, karena hidup yang penuh kesadaran dapat melenyapkan kepapaan dan kesengsaraan.

Orang yang mencapai pencerahan / Enlightment, orang yang telah berhasil berjuang melenyapkan kepapaan adalah orang yang penuh dengan pengendalian diri dalam bidang makan dan minum yang disimboliskan dalam upawasa (puasa). Orang yang penuh pengendalian diri dalam kata-katanya disimboliskan dengan monabrata, dan orang yang selalu waspada dan sadar dalam segala tingkah lakunya sehingga selalu dapat berbuat dharma disimboliskan dengan jagra. Orang yang demikian selalu mendapat perlindungan dan waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Siwa, baik selama hidupnya di dunia maupun di akhirat.

Tapa brata siwaratri menghantar kita pada kedamaian dan keteguhan hati tatkala menghadapi berbagai persoalan yang membutakan mata hati kita sendiri. Berusaha menemukan kembali jati dirinya yang suci murni sebagai bagian yang menyatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun kenyataan yang sering terjadi adalah manusia sukar menemukan kesadaran terbebas dari belenggu dunia maya ini yang membuat dia lalai terhadap hakikat tujuan hidupnya. Dunia maya selalu menawarkan kenikmatan hidup yang seakan - akan terasa langgeng, tetapi sering kali justru menambah beban masalah di dalam kehidupannya sehingga kehidupan yang damai makin sulit diwujudkan. Tapa Brata Sivaratri sebagai petunjuk bagi umatnya untuk mencapai kesempurnaan hidup, membebaskan diri dari jerat maya, serta menemukan kebahagiaan dan kedamaian.

Veda mengajarkan bahwa setiap insan dapat hidup karena ada inti hakikat yang menghidupinya
"Eko devas sarva bhutesu gundhas, sarva vyapi sarva bhutantaratma, karmadhyaksas sarva bhutadhivasas, sakti ceta kevalo nirgunasca" (Svetasvatara Upanisad .VI .11)
(Satu sinar suci Tuhan yang tersembunyi dalam setiap insan, menjadi jiwa bathin semua ciptaan itu, Raja yang menyinari semua perbuatan dan menjadi saksi agung yang bersemayam di dalam hati)

Kita sebagai umat manusia adalah gambaran dari Lubdhaka, Nishada dan Susvara, yang sering kali terjatuh dan tersungkur oleh penderitaan hidup, tatkala rintangan datang bertubi-tubi, dan kegelapan seolah tiada henti menghampiri. Sering kita menyangkal kehadiran Tuhan, mengabaikan hati nurani, lebih memilih ego dan mengutamakan emosi semata. Hanya dengan tetap bersandar dan berpijak pada pedoman hidup kita, yakni kitab suci, yang hadir dalam banyak bentuk, maka kita dapat melalui berbagai terpaan hidup.

Manusia selalu berupaya mencari kebahagiaan, ingin terlepas dan bebas dari penderitaan. Lubdhaka, Nishada, Susvara adalah merupakan sosok "sang pencari" yang meniti kehidupannya dengan penuh bhakti kepada Yang Maha Kuasa. Dengan bhakti itulah ia menemukan hakikat dirinya.

Hal ini memperlihatkan pada kita, bahwa betapa berbagai bentuk dan rupa kitab suci yang hadir disekeliling kita, entah melalui kitab suci yang kita baca, kita telusuri maknanya hingga mencapai pemahaman bersatu, melebur dengan Hyang Widhi, hadir melalui banyak ajaran pengalaman kehidupan bersama orang lain, dari orang-orang yang ada di sekeliling kita, entah itu para sahabat, keluarga atau kerabat, kolega kerja..... kita akan dapat menjalani berbagai sisi gelap kehidupan ini. Agar bisa menjadi semakin bijak dan dewasa dari hari ke hari....

Karena, tua itu pasti, namun dewasa adalah sebuah pilihan. Setiap orang bisa menjadi tua, namun, hanya orang-orang pilihan yang bisa menentukan langkah pilihan untuk menjadi dewasa dan bijak, tidak terkungkung dalam kegelapan emosi dan sifat egois semata....
Sumber :

Gorris, R. 1984. Sekte-sekte di Bali. Jakarta: Bhatara Karya Sastra
Mantra, Ida Bagus. 1970. Bhagavad Gita. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Prop. Bali.

Pendit, Nyoman S, 1994,  Bhagavad Gita, Jakarta, P.T. Hanuman Sakti, Jakarta.
Putra, I. Gst. Ag, 2003, Panca Yadnya, Pemerintah Propinsi Bali, Kegiatan Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama, Denpasar.
Sudharta, Tjok. Rai dan I.B. Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa. Surabaya: Paramita.
Sudharta, Tjok. Rai. 1993. Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. Denpasar: Upada Sastra.
—————–. 1996. Manawa Dharmasastra. Jakarta: Hanuman Sakti.
Sura, I Gde,dkk.2000. Siwatattwa. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Keagamaan.
_____________. 2003. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Keagamaan
I Wayan Sudira
Ida Made Pidada Manuaba, S.Ag., M.Si.
(http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/690.htm)

Selasa, 21 Januari 2020

Drs. Anak Agung Oka Waicaka, M.Pd. 16/10/1955 - 22/01/2020




Anak Agung Oka Waicaka, 16/10/1955 – 22/01/2020

Lahir di Puri Satrya Kanginan, di Desa Paksebali, salah satu desa dari ke 12 Desa yang terdapat di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, 16 Oktober 1955. Akhirnya beliau meninggal setelah berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuh. 64 tahun dan tiga bulan.


Ksatria sejati yang teguh kukuh nan tangguh, tak goyah, meski terkadang resah menahan gundah….

Menikah dengan seorang puteri jelita, Ni Ketut Kartiningsih, yang lahir pada tanggal 21 April 1956. Pernikahan beliau pada tanggal 9 Januari 1978 berbuah lima orang putra dan putri. Anak Agung Anom Samudra, Anak Agung Raka Wedana, Anak Agung Istri Ari Parwati, Anak Agung Istri Putra Widiastiti, dan Anak Agung Istri Ngurah Diah Prami.


Ksatria sejati lahir dan menjalani perjuangan menegakkan kebenaran sujati…..

Mengabdi semenjak 1 Maret 1983, Beliau menduduki beragam jabatan fungsional dan struktural, mulai dari Kasubsie Bimbingan Siswa dan Praktek Kerja Nyata pada tahun 1982, Kasubsie Administrasi dan Pengajaran pada tahun 1986 dan 1991, Kasubsie Bimbingan Siswa pada tahun 1993, dan terakhir, Pembantu Ketua III bidang Kemahasiswaan pada tahun 2002.


Beliau menamatkan pendidikan S2 Magister Pendidikan, Bimbingan dan Konseling di Universitas Negeri Malang, pada tahun 30 Maret 2000.

Ksatria sejati tidak pernah undur diri dan berlalu pergi meninggalkan sahabat berjuang sendiri, meski tidak pernah selalu bisa bersama…..


Dengan jabatan terakhir Pembina IV a terhitung mulai 1 Oktober 2001, beliau memegang tiga Piagam Tanda Kehormatan 10 Tahun pada tahun 1977, 20 Tahun pada tahun 1987, dan 30 Tahun pada tahun 1997.

Info terakhir, Pelebon akan dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 26 Januari di Puri Satrya Kanginan, Paksebali, Dawan, Klungkung.


Gusti, Sang Mahaguru… Durus masolah ring Swargawi…
Ri samiparing Ida Sang Hyang Widhi