Rabu, 31 Desember 2014

Life....


Life is a series of natural
and spontaneous changes.....
Don't resist them,
That only creates sorrow....

Let reality be reality
Let things flow naturally
forward in whatever way
they like......

(Lao Tzu)

A Prayer of Forgiveness



If I have harmed anyone in anyway
either knowingly or unknowingly,
through my own confusions,
I ask their forgiveness.....

If anyone has harmed me in anyway,
either knowingly or unknowingly,
through their own confusions,
I forgive them....

And if there is a situation,
I am not yet ready to forgive,
I forgive myself for that....

For all the ways that I harm myself,
negate, doubt, belittle myself,
judge, or be unkind to myself,
through my own confusions,
I forgive myself........

Hujan...... Kutitip Rinduku Ini



Hujan....
Titip rindu untuk bapakku.
Jaga dia di setiap doa yg terpanjat untuknya
Bahwa, aku selalu merindu

Hujan.....
Titip kasih untuk ibuku yang renta.
Bahwa aku takkan pernah lupa
Cinta yg terlahir di setiap nafasnya.

Hujan....
Titip doa juga
Agar kami semua
Bisa terjaga di setiap jejak langkah di dunia
Untuk membuktikan suci hati kami semua.....

Hujan.....
Cukup sudah derita
Penantian di setiap haus sekian lama
Biarkan kami rasakan pemuas dahaga
Kemarau nan bagai tiada bertepi selama ini

Hujan....
Titip rinduku padaNya.
Bahwa, kami berhak atas bahagia
Bersyukur atas apa yang kami punya

Selasa, 21 Oktober 2014

Hari Raya Saraswati dan Sang Guru : Pande Wayan Suteja Neka (4)






Hari Saniscara Umanis Wuku Watu Gunung, sebagai Hari Raya Piodalan Sang Hyang Saraswati, adalah sebagai hari pemujaan terhadap ilmu pengetahuan bagi umat Hindu.

Ilmu Pengetahuan merupakan jalan melangkah dalam kehidupan untuk menjadi semakin dewasa dan bijak. Ilmu pengetahuan yang digunakan bagi seluas-luasnya kepentingan mahluk hidup, kesejahteraan setiap umat di dunia.

“Siapa lagi yang akan menghargai budaya kita bila tidak kita sendiri?” Ujar Sang Guru suatu waktu. Hanya bangsa besar yang mampu mengakui, menghargai, merawat dan mengembangkan budaya leluhurnya. Ilmu pengetahuan akan saling melengkapi keberadaan budaya kita. Semakin tinggi ilmu pengetahuan yang dibarengi dengan semakin tinggi moral dan etika budaya, akan membantu bangsa dan Negara berkembang dengan semakin baik. Bangsa yang hanya mengutamakan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan tanpa dibarengi penghargaan terhadap budayanya, bagaikan bangsa yang tidak bermartabat, tidak memiliki pegangan dan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya.

Ah Guru….. Sungguh, kami membutuhkan bimbingan dan tuntunan mu selalu, belajar untuk menjadi manusia-manusia bijak, yang menggunakan segenap pengetahuan kami, demi kemuliaan budaya bangsa ini…… Terharu aku membaca dan merenungi surat beliau terkini yang kuterima…..



“Ibu Santi yang baik,

Petinget Tumpek Landep yg jatuh pada Hari ini, 18 Okt. 2014, sudah dirayakan sejak 15 s.d. 17 Okt. 2014, dengan pameran : Keris Pusaka Nusantara, di ruang pameran  temporer Museum Bali, Denpasar. Yang dibuka oleh bp. Wali Kota Denpasar. Saya pemilik Museum Neka hadir dalam kesempatan itu. Juga diluncurkan buku Jelajah Keris Bali seri - 2 : Proses Kreatif dalam dalam Pembuatan dan Perawatan. Buku seri- 1 sudah diluncurkan tahun lalu.

Juga di Neka Art  Museum dalam rangka Writter and Reader Festival yang juga ada mengambil tempat  di wantilan Neka Art Museum diluncurkan buku Understanding Balinese Keris : An Insider's Perspective by Pande Wayan Suteja Neka, translated and edited by Garrett Kam.

Ketiga buku diatas saya siapkan untuk melengkapi koleksi buku ibu Santi.
Datanglah bersama bapak Wayan, dan kita akan diskusi panjang lebar tentang budaya. Salam Seni dan Budaya !!!”. ”.



Aku terharu………
Spechless……..
Seorang Guru, mengetahui sejauh kebijakan ilmu pengetahuan. Dan aku tertatih, berusaha meraih mimpiku, menjadi seorang guru, yang patut ditiru dan digugu…… setidaknya, menjadi pribadi yang bermutu…….

Hari Raya Pagerwesi dan Sang Guru : Pande Wayan Suteja Neka (3)



Bhagavadgita, Adhyaya XIII, sloka 6-7 sebagai berikut.
“Maha bhutany ahankaro buddhir avyaktam eva ca Indriyani dasaikam ca panca cendriya gocarah”

“Iccha dvesah sukham duhkam sanghatas cetana dhrtih
Etat ksetram samasena sa vikaram udahrtam”

Artinya :
Lima unsur besar (panca mahabhuta), keakuan palsu (ahamkara), kecerdasan (buddhi), yang tidak berwujud (avyaktam), sepuluh indria (dasendriya) dan pikiran, lima objek indria, keinginan, rasa benci, kebahagiaan, duka cita, jumlah gabungan, gejala-gejala hidup, dan keyakinan-keyakinan -- sebagai ringkasan, semua unsur tersebut merupakan lapangan kegiatan dan hal-hal yang saling mempengaruhi dari lapangan kegiatan.

Upacara Pagerwesi juga merupakan manifestasi menjaga kesucian hati, jiwa dan pikiran dari belenggu beragam sisi negatif duniawi, selayaknya direfleksikan untuk memahami hakikat idep atau citta. Artinya, untuk mendapatkan pengetahuan rohani yang benar adalah benar untuk memahami terlebih dahulu seluruh kekuatan materi yang melingkupinya. Manusia yang berkesadaran tentu adalah mereka yang mampu membedakan antara “yang rohani” (hakikat) dan “yang materi” (instrumen/alat). Mengingat kegagalan dalam membedakan kedua aspek ini akan membawa manusia pada belenggu dualisme paradoks yang akan menghalangi sang atman menuju pembebasan sejati (moksa).



Terlahir pada tanggal 21 Juli 1932, Sang Guru pernah berkata……
“Hanya diri kita yang bisa membentengi diri dari berbagai benturan yang mungkin mengakibatkan kejatuhan kita sendiri.”

Lama….. Bertahun sesudahnya, baru kupahami makna kalimat tersebut. Budaya, Seni, Ritual, Pembimbing, bahkan seorang Guru yang selalu menjadi inspirasi di setiap langkah, hanya fasilitator yang membantu kita mengembangkan pola di setiap aspek kehidupan. Namun, diri kita sendiri, yang harus selalu menyaring, menjaga, mengembangkan pola yang pas dan sesuai bagi diri kita.

Hari Raya Pagerwesi jatuh setiap Rabu Kliwon wuku Sinta. Hari ini dirayakan untuk memuliakan Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan manifestasinya sebagai Sanghyang Pramesti Guru (Tuhan sebagai guru alam semesta). Hari ini dirayakan mengandung filosofis sebagai simbol keteguhan iman, Pagerwesi berasal dari kata Pager yang berarti pagar atau pelindung, dan Wesi yang berarti besi. Pagar Besi ini memiliki makna suatu sikap keteguhan dari iman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, sebab tanpa ilmu pengetahuan kehidupan manusia akan mengalami kegelapan (Awidya).

“Kembangkan ilmu pengetahuan, perluas cakrawala pemikiran, jangan membatasi diri terhadap lingkungan dan masyarakat yang datang menghampiri, jangan pelit berbagi informasi, atau merasa takut tersaingi. Namun bentengi diri terhadap beragam gempuran yang membawa efek negatif. Waspada selalu ya”. Demikian Sang Guru menguraikan bimbingannya berkali-kali.

Ah Guru….. Bagaimana caranya?
Ritual di kala Pagerwesi, dengan melakukan ayoga semadhi, menenangkan hati dan melakukan sembah bhakti pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, melakukan widhi widhana atau menghaturkan sesembahan di Sanggah / Merajan / Pura.

Apa yang telah dilakukan oleh Sang Guru, Pande Wayan Suteja Neka, telah mengajarkanku, bahwa, terkadang, mencapai cita-cita membutuhkan perjuangan dan semangat tidak pernah kenal lelah. Sungguh, sebuah perjuangan berpuluh tahun, berkeliling melanglang buana, sebelum beliau dapat membuka sebuah museum seni dan budaya, Museum Neka, pada tahun di Ubud, mengumpulkan potongan sejarah, beragam benda seni dan budaya, sebelum beliau pada akhirnya diakui sebagai seorang Maestro Keris.  

Jika saja beliau tidak bersungguh-sungguh, tidak kukuh dalam sikap, tidak membentengi diri dengan semangat dan disiplin tinggi, mungkin beliau tidak dapat menjadi seorang maestro seperti adanya saat ini.



Pada saat Pagerwesi, umat hendaklah ayoga semadhi, yakni menenangkan hati serta menunjukkan sembah bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Juga pada hari ini diadakan widhi widhana seperlunya, dihaturkan dihadapan Sanggar Kemimitan disertai sekedar korban untuk Sang Panca Maha Butha. Pada hari ini kita menyembah dan sujud kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, Hyang Pramesti Guru beserta Panca Dewata yang sedang melakukan yoga. Menurut pengider-ideran Panca Dewata itu ialah:

1. Sanghyang Içwara, berkedudukan di Timur
2. Sanghyang Brahma, berkedudukan di Selatan
3. Sanghyang Mahadewa, berkedudukan di Barat
4. Sanghyang Wisnu, berkedudukan di Utara
5. Sanghyang Çiwa, berkedudukan di tengah

Ekam Sat Tuhan itu tunggal. Dari Panca Dewata itu kita dapatkan pengertian, betapa Hyang Widhi dengan 5 manifestasiNya dilambangkan menyelubungi dan meresap ke seluruh ciptaanNya (wyapi-wiapaka dan nirwikara). Juga dengan geraknya itulah Hyang Widhi memberikan hidup dan kehidupan kepada kita. Hakekatnya hidup yang ada pada kita masing-masing adalah bagian daripada dayaNya. Pada hari raya Pagerwesi kita sujud kepadaNya, merenung dan memohon agar hidup kita ini direstuiNya dengan kesentosaan, kemajuan dan lain-lainnya.

Widhi-widhananya ialah: suci, peras penyeneng sesayut panca-lingga, penek rerayunan dengan raka-raka, wangi-wangian, kembang, asep dupa arum, dihaturkan di Sanggah Kemulan (Kemimitan). Yang di bawah dipujakan kepada Sang Panca Maha Bhuta ialah Segehan Agung manca warna (menurut urip) dengan tetabuhan arak berem. Hendaknya Sang Panca Maha Bhuta bergirang dan suka membantu kita, memberi petunjuk jalan menuju keselamatan, sehingga mencapai Bhukti mwang Mukti.