Selasa, 12 Januari 2021

Buda Cemeng Klawu, Betara Rambut Sedana, Dewi Laksmi, dan Kesejahteraan

 



Singgih yen tekaning yuganta kali, tan hana lewiha sakeng mahadhana. Tan waktan guna sura pandita widagdha, pada mengayap ring dhaneswara. Kekawin Nitisastra  IV.7. Akan ada saatnya, jaman Kali tiba, tidak ada yang lebih bernilai daripada uang. Sudah susah dikatakan para ilmuwan, pemberani, orang suci, dan orang yang kuat, semuanya menjadi pelayan orang kaya.

 

Buda Waga, ngaraning Buda Cemeng, kalingania adnyana suksema pegating indria, betari manik galih sira mayoga, nurunaken Sang Hyang Ongkara mertha ring sanggar, muang ring luwuring aturu, astawakna ring seri nini kunang duluring Diana semadi ring latri kala. Lontar Sundarigama. Buda Wage, Buda Cemeng namanya, keterangannya ialah, mewujudkan inti hakekat kesucian pikiran, yakni putusnya sifat-sifat kenafsuan, itulah yoga dari Bethari Manik Galih, dengan jalan menurunkan Sang Hyang Omkara Amerta (inti hakekat kehidupan), di luar ruang lingkup dunia sekala. Maka patut melakukan Widhi Widana dengan, wewangian, memuja di sanggar, tempat suci, di atas tempat tidur, serta menghaturkan kepada Sang Hyang Sri, lalu melakukan samadi atau renungan suci di malam hari.

Budaya nusantara yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat membuat kearifan luhur selalu hadir hingga kini. Baik itu muncul berupa rangkaian upacara dan berbagai bentuk perangkat upakaranya. Dalam beragam fungsi serta peranan bagi kehidupan manusia. Demikian pula halnya dengan Hari Suci Buda Cemeng Klawu, atau Buda Wage Klawu. Hari ini berlangsung setiap enam bulan sekali, atau setiap 210 hari sekali. Pertemuan antara Saptawara Buda (Rabu), dengan Pancawara Wage, serta Wuku Klawu ini yang disebut sebagai hari raya Buda Wage Klawu. Buda Wage Klawu atau Buda Cemeng Klawu terkini, dilaksanakan pada hari Rabu, 13 Januari 2021. Diperingati sebagai Hari Suci Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam symbol sebagai Bethare Rambut Sedana, dengan bentuk Dewi Laksmi, yang melambangkan Kemakmuran, Kesubuhan, Kesejahteraan, Rejeki atau Anugerah berlimpah, Prospherity. Persembahyangan berlangsung di Pura, Merajan Keluarga, pemilik toko, Pura Kahyangan Tiga, Pura Kahyangan Jagat atau Desa Pekraman di Bali. Tidak ada sarana khusus pada rahina suci Buda Cemeng Klawu. Kita bisa menggunakan sarana canang sari, banten pejati, banten tumpang pitu, yang disesuaikan dengan desa, kala, patra, adat istiadat, dan desa mawacara yang berlaku di berbagai daerah, juga dengan melihat kemampuan umat masing-masing.

Ada sebagian anggota masyarakat yang meyakini bahwa pada hari ini tidak boleh melakukan transaksi perdagangan yang berkaitan dengan uang, agar rejeki tidak berkurang, seperti membayar utang, menagih utang, atau menabung. Namun dibalik ajaran ini, terkandung nilai mulia, mengingatkan kita untuk mengendalikan diri berbelanja secara berlebihan untuk barang yang tidak diperlukan, pengendalian diri dari hawa nafsu, menguji kesabaran dan keyakinan teguh dalam meraih rejeki atau cita-cita. Juga mengingatkan kita, bahwa uang bukan segalanya, ada waktu dimana kita harus berhenti sejenak berpikir dan melakukan sesuatu berdasar untung rugi. Hanya fokus bersembahyang dan bersyukur atas rejeki yang telah dimiliki.

Budaya nusantara sungguh indah, begitu banyak ragamnya, memperkuat keyakinan dalam menjalani kehidupan. Di masa pandemic Covid-19, dengan begitu banyaknya perubahan terjadi, hidup bagai terbalik dan kacau, diluar nalar manusia, budaya membantu memperkuat iman dan kesadaran, juga kesabaran. Manusia belajar bersyukur akan sesuatu yang masih dimiliki, bisa diperoleh hingga hari ini. Bahwa teknologi semata, kekuasaan dan harta, semua bisa hilang musnah, tidak terjangkau. Bahwa kita sedang diuji, seberapa tangguh menjalani kehidupan dengan apa adanya, yang kita miliki. Bahwa hanya kebersamaan dan kerja sama, yang bisa membantu kita melalui semua fase ini, mencapai masa depan. Bahwa segala rintangan dan tantangan, bisa membuat kita terjatuh dan tersungkur, kehilangan orang yang dikasihi, harta benda, tidak memiliki berbagai fasilitas dengan sempurna. Bahwa yang berharga adalah cinta kasih, cita-cita, dan doa, agar bisa menjalani hari-hari di masa kini, juga di masa yang akan datang. Bahwa uang adalah sarana di dalam kehidupan, bukan tujuan semata dalam memperoleh uang, namun sarana yang bernilai menghantarkan manusia mencapai tujuan. Maka, yang kita lakukan adalah dengan menempatkan uang sebagai sarana, alat, dalam mewujudkan Dharma / Kebenaran / Kebaikan.

Santidiwyarthi, 13 Januari 2021.

Sumber dari: Kekawin Nitisastra IV.7 dan  Lontar Sundarigama, Bulelengkab.go.id.

Siwaratri, Mpu Tanakung, Lubdhaka dan Kearifan Luhur

 


Mpu Tanakung menyampaikan mahakarya beliau, yakni Siwaratri Kalpa, pada masa akhir kerajaan Majapahit, abad ke 15 Masehi. Teks Kekawin Siwaratri Kalpa mengungkap konsep Anugraha Dewa Siwa, yang menggambarkan Lubdhaka memperoleh anugrah Bhatara Siwa pada saat Siwaratri, malam pemujaan Dewa Siwa.

Namun ada pula bantahan bahwa Siwaratrikalpa bukanlah buah karya Mpu Tanakung. Misalnya, pendapat Zoetmoelder, P.J., & Teeuw, A. (1969), yang menjelaskan bahwa Mpu Tanakung telah menggubah, mengadakan beberapa penyesuaian terhadap ajaran pemujaan Siwa di dalam Siwa Purana dan Kanda Purana itu sendiri, yang sebenarnya berasal dari budaya India, menjadi Kakawin Siwaratri Kalpa. Dan Mpu Tanakung lahir di jaman Ken Arok, sehingga hal ini menjelaskan bahwa Siwaratri bukan bersumber dari Mpu Tanakung. Hal ini sudah tentu dapat menjadi bias, menimbulkan kebingungan, karena adanya kontradiksi yang terjadi di tengah masyarakat. Bagaimana mungkin, seorang penjahat, pemburu, demikian mudahnya mendapat sorga, memperoleh pengampunan setelah segala kesalahan yang dilakukan.

Kesalahpahaman tentang Siwaratri juga terjadi karena bias yang dihasilkan oleh bahasan budayawan Jawa tersohor, Raden mas Ngabehi Purbacaraka yang menyampaikan bahwa Kekawin Siwaratri Kalpa dibuat untuk memuji Ken Arok dan menyampaikan tentang dosa yang bisa ditebus dengan memuja Dewa Siwa. Ken Arok merasa bersalah setelah membunuh Tunggul Ametung untuk menjadi Raja Singasari.

Sudah tentu perlu berbagai kajian, pemahaman, kebijakan dalam memahami filosofi yang tumbuh dan berkembang. Teknik belajar agama melalui sastra, baik itu tembang atau prosa, atau melalui media apa pun, harus selalu dikaji berulang secara berhati-hati. Sekali salah melangkah, bukan kedamaian yang tercipta, bukan shanti yang diraih, namun kehancuran, menjadi gila, dan lain sebagainya. Ada petuah bijak leluhur yang bertutur, bila kita menemui kesukaran dalam mempelajari Weda, baca saja, pahami dahulu Ithihasa seperti Ramayana atau Mahabharata. Dan ini sudah cukup sebagai bekal atau modal menjalani kehidupan di dunia.

Ini semua menjelaskan pada kita, bahwa budaya yang tumbuh berkembang sudah tentu akan berbeda-berbeda di berbagai daerah. Sesuai dengan para penuturnya, penggugahnya, penyungsung budaya tersebut, dan daerah dimana budaya luhur tersebut tumbuh dan berkembang sebagai kearifan luhur secara turun temurun.

Di Indonesia, Siwaratri merupakan kegiatan keagamaan rutin tahunan yang berlangsung setiap Purnama ning Sasih Kepitu. Siwaratri mengajarkan pada kita semua pengendalian hawa nafsu, merenungi setiap tindak tanduk yang kita lakukan di dalam dunia, melebur jati diri, menggapai kesadaran tertinggi, untuk selanjutnya menjadi semakin bijak dan dewasa dalam berpikir, berkata, juga berperilaku.

Sesungguhnya makna Siwaratri bukan terletak pada peleburan dosa. Keyakinan kita tidak mengajarkan tentang penghapusan dosa, karena kita percaya akan adanya Karmaphala. Namun lebih pada merenungi dan menyadari setiap kesalahan dan kekeliruan yang ada, berupaya tidak mengulanginya kembali di kemudian hari.

Tatkala Lubdhaka, seorang pemburu handal yang telah menghabisi banyak binatang buruan, terpaksa bermalam di tengah hutan, di atas pohon billa, berjaga agar tidak dimangsa binatang buas. Satu demi satu daun billa dipetik agar terhindar dari kantuk, tepat di saat purwaning tilem sasih kepitu. Daun yang terjatuh perlahan mengenai lingga Siwa secara tidak langsung menjadikan lubdhaka dianggap melakukan pemujaan bagi Dewa Siwa. Di saat Lubdhaka meninggal dunia, Atman Lubdhaka dijemput oleh Dewa Siwa dengan menggunakan kereta berkuda. Terjadi pertentangan dengan Sang Suratman (Dewa yang bertugas menjaga pintu gerbang kematian) yang mencatat aktivitas Lubdhaka telah banyak melakukan pembunuhan binatang buruan. Setelah dijelaskan panjang lebar, Sang Suratman memaklumi bahwa segala kelakuan Lubdhaka adalah demi menghidupi keluarga, juga demi kerabat dan masyarakat yang membutuhkan. Apalagi Dewa Siwa menganggap Lubdhaka sebagai pengikut setia yang berkelakuan baik dan banyak membantu orang lain. Atman Lubdhaka dibebaskan untuk kembali menempuh hidup di dunia. Dan semenjak saat itu, dia bekerja sebagai petani. “Siwaratrikalpa” sebagai mahakarya Mpu Tanakung ini sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Siwaratri

Bagaimana kita bisa menerapkan ajaran yang terkandung pada “Siwaratrikalpa”, buah karya Mpu Tanakung, adalah dengan melakukan Brata, yang mencakup laku Upawasa, Monobrata, dan juga Jagra pada hari Siwaratri, yang bertujuan memuja Sang Hyang Siwa, memohon pengampunan atas segala dosa.

Dalam situasi pandemi Covid19 yang tidak memungkinkan kita bepergian dengan bebas, Brata bisa dilakukan di rumah masing-masing, di kamar suci, di Pura, tetap dengan menerapkan prosedur kesehatan dan keselamatan.

Tujuan pelaksanaan ketiga Brata Siwaratri yang mencakup Upawasa, Monobrata, dan juga Jagra adalah meningkatkan kemampuan dan kemauan mengendalikan kegelapan. Umat Hindu meyakini terdapat kegelapan (hawa nafsu) yang membutakan mata hati nurani umat manusia, tujuh kegelapan ini disebut pula dengan Sapta Timira. Ke tujuh kegelapan tersebut yakni: 1.Surupa (mabuk akan ketampanan/wajah rupawan), 2.Dhana (mabuk harta / duniawi), 3.Guna (mabuk ilmu / sombong akan keahlian yang dimiliki), 4.Kasuran (mabuk kemegahan dunia / kekuasaan duniawi), 5.Kulina (mabuk akan gelar kebangsawanan), 6.Yowana (mabuk akan keremajaan / tidak rela menjadi tua), 7.Sura (mabuk akan minuman keras / minuman yang mengandung alkohol)

Implementasi di dalam kehidupan sehari-hari:

Upawasa. Upawasa berarti puasa. Menahan diri atas godaan hidangan. Maknanya adalah semoga tidak memakan hidangan atau menuntut hasil yang bukan berkah, seperti perbuatan melanggar hukum, baik hukum agama dan hukum Negara. Upawasa mengajarkan kita untuk meningkatkan konsentrasi meraih tujuan kehidupan, melatih kerja organ tubuh, susunan syaraf, tenggorokan, pikiran, membersihkan tubuh dari segala kotoran. Harapannya, dengan melatih fisik dan mental kita, maka kita akan terbiasa fokus pada satu tujuan. Apalagi jika disertai dengan berjapa, pengulangan mantram berkali-kali dan terus-menerus, yang akan membuat meditasi menjadi semakin khusyuk.

Monobrata. Menjaga kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan. Tidak mencacimaki, cerewet, berkeluh kesah, menyebar berita bohong, bertingkahlaku kasar.

Jagra. Senantiasa menjaga diri, waspada terhadap berbagai tantangan dan ujian, rintangan di dalam kehidupan, meningkatkan kesadaran dan kesabaran dalam berbagai situasi kini, terutama di tengah era globalisasi dan pandemi.

Melakukan jagra secara terus menerus, begadang semalam suntuk, disertai dengan melantunkan kidung suci, menyebutkan nama suci Tuhan berkali-kali, diharapkan membuat keyakinan kita semakin tebal, iman menjadi kuat, tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai permasalahan yang ditemui.

Hal sederhana yang bisa dan biasa dilakukan adalah dengan mengucapkan nama Tuhan, meski di dalam hati, secara berulang-ulang dan terus menerus. Contohnya: Om, Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya…. Bisa menggunakan genitri secara berulang kali dan bersinambungan.

Brata Siwaratri bertujuan semakin memperkuat kedekatan hubungan dengan Tuhan di dalam diri dan membuat kita terhindar dari perbuatan tercela. Tapa monobrata memiliki tujuan mulia, yakni kemampuan mengendalikan hawa nafsu, emosi, dan sifat egois di dalam diri. Semakin seseorang dikendalikan hawa nafsu, justru tergerak melakukan perbuatan melanggar hati nurani, bahkan bertentangan dengan hukum. Brata Siwaratri mampu membimbing kita menjadi manusia dengan iman tebal, melaksanakan berbagai perbuatan positif, semakin kreatif, dan mampu menjalin kerjasama dengan berbagai anggota masyarakat. Apalagi di saat seperti sekarang, tidak cukup hanya seseorang yang cerdas dan teknologi memadai, kita perlu orang yang mampu saling menghargai diri nya sendiri, juga menghargai orang lain, dimanapun berada.

Setelah Brata Siwaratri berlangsung sepanjang malam, umat Hindu bersiap menyambut hari yang akan datang, mengawalinya dengan melakukan Dharma Shanti, saling berkunjung pada pihak kerabat, sahabat, tetangga, saling memaafkan.

Makna yang terkandung dibalik nilai Siwaratri adalah, terkadang, kita begitu mudah menghakimi orang lain, begitu gampangnya menuduh dan menyalahkan, memiliki persepsi yang berlebihan terhadap seseorang. Namun sesungguhnya terdapat begitu banyak hal yang tidak kita pahami. Siwaratri mengajak kita untuk merenung, meresapi situasi yang terjadi, yang menjadi semakin bijak berperilaku. Siwaratri mengajak kita untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar, dimanapun kita berada, menghargai budaya yang tumbuh dan berkembang, menghargai leluhur, dan menerapkan yang paling baik bagi diri sendiri, tanpa sikap egois bagi yang lainnya. Siwaratri juga mengajarkan pada kita bahwa dengan fokus pada Sang Hyang Widhi, Tuhan, kita akan terhindar dari berbagai hal, baik duniawi maupun rohani, yang bisa memabukkan kita, dan justru membuat kita semakin jauh dari Tuhan. Apalagi ditengah berbagai situasi pandemi Covid-19 saat ini.

Santi Diwyarthi, 12 Januari 2021.

Referensi:

Suamba, IB Putu. Kesusasteraan Jawa Kekawin. Jurnal Jumantra. Vol. 4 No. 1, April 2013. Anugraha Bhatara Siwa dalam Teks Kakawin Siwaratri Kalpa.

Zoetmoelder, P.J., & Teeuw, A., 1969.

Zoetmoelder. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.

Hindu.web.id.

Perpusnas.go.id.

Wikipedia.org.