Sabtu, 29 Desember 2018

Patience is Earth, Sudakara Art Space, Sanur, 19 Desember 2018



Patience is Earth, 

Kesabaran adalah Bumi adalah sebaris kalimat yang bermula dari puisi karya Rendra, “Paman Doblang”. 



Bumi diolah, dihantam, digemburkan, dihancurkan, digerus, ditanami, diabaikan, tetap diam menerima perlakuan umat manusia. Kesabaran Bumi ini harusnya menjadi teladan manusia untuk belajar sabar mengatasi berbagai situasi dalam kehidupan. Dengan segala sabar dan pasrah, bumi terus menggeliat menggelora menaburkan bibit menjalani proses yang kemudian terwujud pada hasilnya, bumi memberikan hasil atas beragam perbuatan yang diterimanya.


Kesabaran adalah Bumi ini yang menjadi tema bagi pameran 14 seniman lukis muda Indonesia, dan dua dari Cina. Mereka menempa diri dengan perlahan, belajar mewujudkan harapan dalam proses berkepanjangan, terus menerus berproses, senantiasa memperbaiki diri dalam segenap potensi. Dan, inilah mereka, menampilkan beragam kreativitas, semangat, hasrat, inisiatif, kompetensi diri, melalui hasil karya seni lukis mereka. 



Bermula dari duduk bersama, saling bertukar pikiran, mencoba memberanikan diri memainkan jari jemari lentik di atas kertas padi dengan torehan kuas, menggunakan beragam media juga teknik seni lukis, para seniman muda ini telah memperlihatkan betapa kesabaran tidak akan pernah menghianati hasil kerja.



Hubungan Indonesia dan Cina merupakan sejarah panjang dialog tanpa henti. Hal ini bermula pada perjumpaan leluhur semenjak dahulu kala, terwujud pada beragam kolaborasi dalam berbagai bidang kehidupan, dan salah satunya adalah budaya. Kali ini, berupa pameran seni lukis di atas kertas padi, bertajuk “Patience is Earth”, di Sudakara Art Space, Sudamala, Sanur, dari tanggal 19 Desember 2018 hingga 6 Februari 2019.



Bukan suatu kebetulan, bila ini wujud dari proses kesabaran tersebut. Sabar menanti momen tepat dalam mewujudkan hasil kerjasama, sabar menanti dalam berkolaborasi bersama banyak seniman, bahkan kedua belah Negara, yang tentu tidak mudah menghadapi perbedaan antara Indonesia dan Cina, menyatukan banyak pihak untuk bertemu pada satu tempat, baik seniman, para tamu undangan, pemerintah, pengusaha, dan berbagai tokoh masyarakat. 


Pameran ini juga sekaligus sebagai rasa syukur dalam menyambut Hari Suci umat, yakni Hari Raya Natal bagi umat Kristiani, Hari Galungan dan Kuningan bagi umat Hindu, Hari Raya Tahun Baru bagi umat sedunia, juga Tahun Baru Babi bagi orang Cina, tanggal 5 Februari 2019.


Bermula dari diskusi yang mengalir, upaya menghasilkan karya seni berkualitas, proses pembelajaran tiada henti, kesabaran yang berbuah bahagia sehingga hadirnya pameran bersama kedua Negara, bahkan, dibuka oleh Konsul Jenderal Republik Rakyat Cina di Bali, Mr. Gou Haodong, IB Sidharta Putra (Gusde), tokoh masyarakat yang senantiasa menjadi garda terdepan dalam hal budaya, khususnya budaya Bali, dan juga seni lukis, Putu Suasta, motivasi dan semangat yang dicurahkan bagi para seniman muda, kelompok seni lukis dari Komunitas Kertas Padi, Ema Sukarelawanto, bagi dedikasi dan inisiatif dalam menyatukan seniman, dan Ben Subrata yang memberikan ruang besar bagi perkembangan seni budaya dan penyatuan seniman dari kedua Negara di Sudakara Art Space. 



Pada pameran seni lukis kali ini, Pelukis Liu Fei dari Cina menampilkan karya seni lukis nya di atas kertas padi. Terlihat nuansa kematangan guratan kuas mengenai pemandangan alam di negeri Cina. Tentang hutan bambu, air terjun yang mengalir pada sebuah pedesaan, ketajaman teknik lukis di atas kertas padi dengan menggunakan tinta Cina membutuhkan keahlian tersendiri agar tinta tidak luber namun tetap menghasilkan garis jelas. Terdapat delapan karya lukis Liu Fei yang sebagian besar menggambarkan keindahan negeri Cina. Teng Shengsheng, juga menyajikan delapan hasil karya seni lukisnya mengenai nuansa alam, mulai dari beraneka bunga berwarna-warni, burung, dan juga ikan koi. 



Made Kaek menampilkan Song of the Devil, Made Somadita menyajikan Chinese Hero, Made Duatmika Bodrex menyajikan Patung Batu Belah, Made Gunawan menyampaikan “Story under the tree”, Made Wiradana dengan “Ancient figure”, Made Dollar Astawa mengurai karya dalam “Isap Sari 01”, Nyoman Sujana Kenyem dengan karya berupa “Im Yang 01”,  Ketut Jaya Kaprus menyajikan indah “Spirit of Soul”, Wayan Redika menampilkan “Babi Tanah Air Beta”, Loka Suara menampilkan Salam #01, Putu Edy Asmara dengan Asparanggi, Polenk Rediasa berwujud dalam karya Merah Drupadi, Sutjipto Adi menguraikan karyanya dalam Calligraphy Abstraction #01, D. Tjandra Kirana dengan Inner Memory. Menjelaskan bahwa dalam memori manusia terkadang bertaburan kenangan yang terpendam, sekian lama menyeruak pada ingatan, datang dan pergi, namun adakalanya bertahan lama. 


Apa yang membedakan pelukis dari Republik Rakyat Cina dengan pelukis dari Republik Indonesia?? pelukis dari Republik Rakyat Cina melukis dengan penuh kehati-hatian, disiplin tinggi pada ruas garis yang ditorehkan, permainan warna yang kurang dekoratif, namun ketelitian pada setiap detailnya. Sedangkan pelukis dari Republik Indonesia mengurai eksplorasi pada kreativitas bentuk, warna, yang lebih bervariatif. Lihatlah pada keberanian Wayan Redika menampilkan torehan bergaya Kamasan dengan Sang Kala “Babi” bersimbol nusantara di punggungnya. Lihatlah bagaimana Putu Edi Asmara bertutur tentang “Asparanggi”, Tahun Babi menurut kalender Lunar dengan penyertaan simbol Pis Kepeng, dan juga gambar babi unik bersalto terbalik. Atau membandingkan karya Made Gunawan yang memperlihatkan lukisan alam dan karya Made Wiradana yang memperlihatkan sosok dari jaman purba menurutnya. 



Hal ini bukan berarti bahwa karya lukis seniman Indonesia hanya sekedar asal jadi dan kurang bermutu. Bila kita merujuk pada kebebasan berpendapat juga berkarya, dukungan yang diberikan oleh beragam pihak, seniman Indonesia diuntungkan oleh situasi tersebut. Kebebasan dalam bereksplorasi, menggunakan beragam bentuk dan media serta kesempatan yang diberikan, memperlihatkan kaya warna dan ragam dalam karya seni lukis seniman Indonesia.


Mr. Gou Haodong dalam kata sambutan menjelaskan bahwa legenda yang mengalir, hubungan yang terjalin, semenjak ribuan tahun di antara Cina dan Indonesia telah melahirkan beragam bentuk hasil karya. Bahkan, Konsul Jenderal Cina yang baru ini, sempat memamerkan hasil karyanya yang juga merupakan lukisan kertas padi. Seni adalah bahasa yang menyatukan umat manusia dalam berkomunikasi melalui bahasa jiwa, “Art is the language of soul communication” ujar Mr. Gou Haodong. 


Cahaya Wirawan Hadi selaku ketua PPIT Bali dan Agus Maha Usadha selaku ketua bidang seni dan budaya menjelaskan bahwa komunikasi yang telah berlangsung semenjak lama hingga di era globalisasi tentu memperlihatkan ikatan yang sudah terjalin dengan erat. Perkembangan teknologi dalam berkomunikasi sungguh membantu mempermudah hubungan ini berlangsung dengan baik. Berbagai perbedaan yang ada bisa teratasi dengan itikad baik kedua belah pihak, salah satunya adalah dengan jalinan kerjasama budaya, berupa pameran ini, “Patience is Earth”.


Wakil Gubernur Bali, Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati menyampaikan bahwa sejarah panjang hubungan bilateral Negara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Cina memperlihatkan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, baik dalam hal perekonomian, sosial budaya, pendidikan, dan lainnya, sehingga bahkan ada pepatah yang bertutur, bila ingin belajar, belajarlah, jauh, hingga ke negeri Cina, agar paham makna persaudaraan dan persahabatan yang telah terjalin semenjak ribuan tahun lalu.


Kita memang tidak akan bisa lupa dari sejarah yang telah tercipta dan terjalin selama ini. Hendaknya proses pembelajaran ini membuat kita semakin membumi, semakin sabar, semakin tekun berkarya, dan semakin membuka diri terhadap jalinan kerjasama juga interaksi yang melibatkan kedua belah pihak negeri. Salah satunya, dalam wujud kerjasama di bidang seni dan budaya.


Kertas padi merupakan suatu bentuk kecanggihan nenek moyang dalam membuat hasil karya. Betapa, kertas yang dipergunakan untuk mencurahkan segala hasrat, sebagai sarana belajar, bahan menyampaikan informasi, diremas, digulung, dilipat, pada saat dibuka dan dibentangkan kembali, akan kembali utuh pula. Hal ini mengajarkan pada kita, bahwa segala ujian, rintangan dan tantangan, harusnya menjadikan kita manusia yang sabar, tetap bersemangat, senantiasa berkarya, memberikan yang terbaik baik diri sendiri, untuk orang lain, demi masa depan.

Santidiwyarthi

Denpasar, 19 Desember 2018.

Hari Ibu, Pameran Seni Lukis, Keris, dan Museum Seni Neka



Pameran di Museum Seni Neka dalam rangka Hari Ibu berlangsung semenjak tanggal 22 Desember 2018 hingga 22 Januari 2019.


“Perempuan adalah anugerah terindah bagi dunia. Tanpa perempuan, dunia hanya akan menjadi bagian muram yang membuat bahagia tidak bisa menjelma di permukaan bumi, juga di dalam hati”. Seperti terurai dalam kata sambutan yang disampaikan oleh JMK Pande Wayan Suteja Neka disaat berlangsungnya Pameran dalam rangka Hari Ibu, 22 Desember 2018 di Museum Seni Neka.


Woman is the true representation of life itself. Women as mothers are positioned in a very noble place. As Indonesian famous proverb states “heaven is located at the soles of the fert of your mother”. Without women, this earth will lose its meaning”.


Sosok perempuan, representasi dari pilar kekuatan dan kemegahan keluarga, negara. Dia bisa menjadi penjaga damai di bumi, juga di dalam hati. Menjadi penyemangat keluarga juga orang lain di sekelilingnya, menebarkan kehangatan dan cinta kasih bagi banyak orang lainnya.


Hal ini yang juga tercermin pada lukisan yang diikutsertakan dalam pameran terkait Hari Ibu di Museum Seni Neka. Sosok megah perempuan dengan corak baju berwarna kuat, merah, kuning, keemasan, tatapan tajam dengan lirikan genit liukan manja sang pelukis. Atau sebaris perempuan dengan banten di atas kepala untuk persembahan bagi Tuhan, dengan pakaian yang dikenakan, mencerminkan khas perempuan Bali dengan ikatan budaya kental di sekeliling mereka. Pelukis pria yang menampilkan beragam lukisan tentang perempuan, pemuliaan perempuan dengan beraneka liukan kuas, torehan warna-warni nan variatif, berbagai figur perempuan, bahkan yang bertelanjang dada. Inilah kaum perempuan yang berani tampil apa adanya di tangan para pelukis pria.
 


Serangkaian Pelukis yang ikut berperan antara lain: Atjin Tisna, Made Jirna, Nyoman Gunarsa. Pelukis Indonesia: Irsam, OH Supono, Mulyadi W., Krijono, Nono Suteja, S. Yadi K., Linton Paul, Roedyat Martadiradja, Pelukis Luar Negeri : R. San Miguel, Teng Nee Cheong. 



Women bring three types of glory: The first glory is beauty. The second glory is strength. The third glory is women as the source of life. 


Perempuan itu adalah keindahan, kecantikan, anugerah yang diberikan Tuhan bagi dunia. Dia menjadi pilar kekuatan dunia, yang memberikan semangat, yang menjaga keutuhan keluarga, yang senantiasa menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang dalam berkarya, dan juga yang memberikan rasa damai di muka bumi. Bahkan Kitab Suci Reg Weda menyampaikan Perempuan, Pertiwi, adalah Dewi yang turun ke permukaan bumi untuk melaksanakan tugasnya menegakkan kebenaran dan menjaga perdamaian. Beliau adalah pasangan dari Bapak Angkasa yang tidak terbantahkan, saling melengkapi, dalam melindungi dan membimbing umat manusia di muka bumi.


Perempuan lah yang memberikan kehidupan pada dunia. Semenjak terjadinya pembuahan, mengandung dan melahirkan, memberikan air susu pada bayinya, merawat dan membesarkan anak. 

Pertiwi yang dikenal sebagai “Dhra, Dharti” merupakan salah satu dari Shakti nya Dewa Wisnu. Beliau merupakan bagian yang membawa, menyediakan, melengkapi kebutuhan keluarga. Bersama-sama dengan Dewi Lakshmi, juga Shakti nya Dewa Wisnu, yang merawat, menjaga keutuhan juga persatuan umat manusia. Dan di dalam Hindu, kami berdoa bagi Pertiwi, menghormati dan menghargai Dewi Pertiwi sebagai perlambang atau simbol perempuan yang telah memberikan kehidupan, menjaga kelangsungan di permukaan bumi.



Di Indonesia, pemerintah menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Dan perayaan ini diperingati dengan berbagai cara di seluruh pelosok Indonesia. Jauh sebelum penetapan Hari Ibu, beragam suku di Indonesia telah menghargai spirit atau energy dari alam dan kekuatan dari bumi. Beragam suku di Indonesia ini mempersonifikasikan alam sebagai Ibu yang memberikan kehidupan, dan juga Dewi yang menjaga alam dan lingkungan bagi berbagai suku di Indonesia. Hindu memberikan sumbangsih besar dengan konsep Dewi Pertiwi (Goddess Pertiwi) juga Ibu Bumi (Mother Earth), sehingga kemudian lahir konsep Dewi Pertiwi atau Dewi Bumi.



Pameran kali ini merupakan suatu bentuk pemuliaan Perempuan terkait dengan Hari Ibu. Ke tiga belas seniman turut berperan serta dalam 31 karya seni lukis mereka yang ber tutur tentang perempuan. Pameran kali ini pula bertepatan dengan Hari Purnama, hari baik dalam agama Hindu, diberikan keris bagi Pande Made Sutawan. Pande Made Sutawan adalah seorang yang berkecimpung dalam dunia pariwisata dan perhotelan, khususnya sebagai GM Hotel Royal Pitamaha di Ubud. Namun ketertarikannya, ketulusikhlasan menghaturkan ngayah di pura, dalam berbagai kegiatan upacara keagamaan, membuat JMK Pande Wayan Suteja Neka memberi hadiah sebuah keris khusus.
“Sudah semenjak lama, Iwa (uwak / sebutan bagi paman) meminta saya datang dan memilih keris untuk digunakan sebagai sarana ngayah di pura. Namun saya tidak berani, belum tergugah untuk datang terkait urusan perkerisan ini. Entah mengapa kini saya begitu ingin datang, dan ternyata hari baik, yakni Purnama” Ujar Pande Made Sutawan.


Energi Alam memang sungguh tidak bisa terduga, tidak bisa dipungkiri atau disangkal. Pasrah dan tulus ikhlas dalam pengabdian, khususnya terkait dengan upacara keagamaan atau spiritual, akan menghantar kita pada berkah dari Ibu Pertiwi, anugerah Tuhan. Dan hal ini terwujud pada keris yang diberikan seorang Jejeneng Mpu Keris, Pande Wayan Suteja Neka, pada salah satu warga Pande yang berkarya dalam beragam bidang termasuk spiritual dan religi keagamaan, Pande Made Sutawan.



“Saya sengaja memberikan keris ini bertepatan dengan Hari Ibu, sebagai simbol bahwa Ibu Pertiwi akan senantiasa memberkati setiap jejak langkah Pande Made Sutawan, untuk selalu berkarya pada berbagai aspek kehidupan. Keris ini sebagai perlambang anugerah Tuhan, dari seorang Pande, Jejeneng Mpu Keris, kepada warga Pande, agar selalu menegakkan kehormatan seperti sebagaimana tersirat pada filosofi keris ini. Ujar JMK Pane Wayan Suteja Neka.


“Bertepatan dengan Hari Ibu, saya juga memberikan keris ini bagi ibu Santi, yang sudah beberapa kali menulis tentang Gianyar, Ubud, Museum Neka dan Pameran Lukisan di dalamnya. Perempuan penulis diharapkan bisa menghasilkan karya tulis yang sanggup mencerahkan banyak orang, memotivasi orang lain untuk turut berkarya, menggerakkan kreativitas bagi pembacanya dan orang lain di sekelilingnya. Kayu sulaiman adalah kayu perlambang kesaktian. Namun kesaktian yang dimaksud disini adalah bahwa dengan hasil karya kita bisa memberikan banyak kesaktian bagi orang lain untuk terus berkarya pula secara positif. Kritikan tidak harus membuat kita patah semangat dan mundur, menarik diri”. Tutur JMK Pande Wayan Suteja Neka disaat menyampaikan keris tersebut.


Pemberian keris terkait Hari Ibu, Hari Bumi Pertiwi, karena, “Keris ini adalah perlambang perjuangan memahami budaya nusantara, mengembangkan dan menghargai warisan luhur nenek moyang. Maka saya sampaikan bertepatan dengan Hari Ibu, di saat Pameran Lukisan terkait Hari Ibu, bagi seorang ibu, yakni ibu Santi, dan juga Pande, yang akhirnya tergugah memiliki keris yang akan dipergunakan untuk ngayah bagi pertiwi” Ujar Pande Wayan Suteja Neka.