Minggu, 05 April 2020

Sraddha / Tatwa



Sraddha

Craddhaya satyam apnoti
Craddham satye prajapati
Dengan sraddha orang akan mencapai Tuhan
Tuhan menetapkan, dengan sraddha bersatu dengan Tuhan

Sradha merupakan keyakinan umat Hindu terkait tujuan hidup. Bayangkan bila kita tidak memiliki tujuan, tidak ada pegangan atau pedoman hidup, tidak memiliki visi dan misi, maka hidup akan terasa hampa dan tiada berguna. Sradha atau kepercayaan dan keyakinan hidup ini diterapkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, suatu ajaran yang melandasi tujuan hidup, serta disiplin yang harus dilakukan. Ketiga hal tersebut terwujud dalam Sadya, Sadhana, dan Sastra. Sastra menggambarkan tentang ajaran atau falsafah kehidupan yang menguraikan pedoman hidup, terkait kebajikan, petuah, jalan spiritual. Sadhana menjelaskan upaya spiritual, proses latihan, penguasaan dan pengendalian diri, dalam menggapai jalan dharma. Sadya menggambarkan disiplin diri, integritas, konsentrasi, kesediaan, kesiapan, kematangan diri dalam melaksanakan keyakinan tersebut. 

Sraddha pertama kali dikenal sebagai rangkaian upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh Raja majapahit dalam rangka meninggalnya sang neneknda tercinta. Kitab Nagarakertagama menguraikan Raja Hayam Wuruk melakukan upacara Sraddha bagi sang nenek yang bernama Dyah Gayatri. Klostermeier (1990: 180) menjelaskan bahwa kata Sraddha berarti upacara terakhir bagi seseorang setelah upacara pembakaran jenasah yang disebut Antyesti atau Mrtyusamskara, dan penyucian roh yang disebut Pitrapinda atau Sapindikarana. Kini upacara Sraddha dilaksanakan pula di Bali dengan istilah Nuntun atau Ngelinggihang Dewa Hyang, upacara Atmasiddha Dewata.

Ajaran agama yang bertitiktolak dari keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, membuat Agama merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemahaman yang baik terhadap ajaran agama dapat menuntut seseorang mencapai kebahagiaan lahir dan batin, menghindari konflik dengan berbagai lapisan masyarakat. Sudah sepatutnya, tokoh masyarakat, kaum cerdik cendekiawan, orangtua, pemerintah, bisa menjadi teladan dan memberikan informasi tepat mengenai terapan ajaran agama dalam kehidupan.

Apuryamanam acala pratkstam,
Samudram apah prawisanti yadwat
Tadwat kania yanm prawisanti sarve
Sa santun apnoti na kama kami
(Bhagawad Gita II, 70)

Bagaikan air mengalir menuju samudra, walau terus menerus, namun tetap tenang tidak bergeming. Demikian pula halnya dengan orang yang berjiwa tenang mencapai kedamaian. Walau berbagai peristiwa dan pengalaman dialami, tidak mudah melepaskan hawa nafsu tanpa kendali.

Sudah sepatutnya, kita semua belajar mengendalikan hawa nafsu. Menghadapi berbagai kejadian di dalam perjalanan hidup, tidak mudah tergoda atau mengumbar emosi / ego. Belajar tetap tenang. Sebagaimana setiap perjalanan hidup, berakhir pada kematian, untuk mencapai moksa, dimana kita kembali menjadi satu dengan Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tidak mengalami terlahir kembali, sudah terlepas bebas dari Punarbhawa atau Samsara, mencapai kebahagiaan tertinggi. 

Sraddha memiliki makna yang sangat luas, dan bersifat sematik serta aplikatif pada berbagai ruang kehidupan . Yaska menjelaskan bahwa Sradha berarti kebenaran (satyanamani). Menurut Sayana, Sradha berarti Adaratisaya / bahumana, penghargaan tertinggi (RegWeda I, 107: V.3), Visvasa, keyakinan atau kepercayaan (RegWeda II, 12:5), Purusagatobhilasa visesah, suatu bentuk yang istimewa dari keinginan manusia (RegWeda X. 151), Sraddhadhanah sebagai karmanustannatatparah, Dia yang memiliki keyakinan di dalam diri, dan semangat untuk mempersembahkan upacara pemujaan (Atharvaveda VI. 122:3).

Sraddha atau keyakinan dalam agama Hindu ada lima, Yakni Widhi Tatwa atau Brahma Sraddha, Atma Tatwa, Karmaphala Tatwa, Punarbhawa atau Samsara Tatwa, Moksa Tatwa. Widhi Tatwa atau Widhi Sraddha, Keyakinan terhadap Brahman, Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan berbagai manifestasinya, lambang, simbol, gambar, bentuk, fungsi, makna. Atma Tatwa atau Atma Sraddha merupakan keyakinan adanya atma yang bersemayam di dalam tubuh, yang membuat tubuh bernyawa. Karmaphala Tatwa atau Karmaphala Sraddha, keyakinan bahwa setiap perbuatan memiliki akibat, hasil dari perbuatan. Punarbhawa, Samsara Tatwa, atau Samsara Sraddha, keyakinan terhadap kelahiran kembali, menitis berkali untuk berbenah diri, menjadi semakin baik. Moksa Tatwa, atau Moksa Sraddha, keyakinan akan bersatunya sang atman dengan sang Brahman.

Sraddha ini menjadi sarana umat manusia mendekatkan diri dengan Tuhan, bahkan kelak, bersatu dengan Tuhan. Sebagaimana tercantum di dalam Kitab Suci Yayur Weda, Craddaya satyam apnoti, Craddham satye prajapati. Dengan Sraddha, orang akan mencapai Tuhan, Tuhan menetapkan, dengan Sraddha adalah jalan manusia menuju pada Nya. Dia adalah Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang disebut dengan beragam nama. Namun hanya satu dan satu-satunya. Agama Hindu bersifat monotheisme, percaya akan satu Tuhan, tidak bisa terpisahkan dan dibagi-bagi. Sifat keesaan Tuhan disampaikan dengan berbagai istilah, pada awalnya Purusha (yang tiada terbatas), Hiranyagarbha (pencipta seluruh mahluk yang ada), Prajapati (asal mula semua mahluk), Pita (ayah dari semua yang ada), namun tidak mempengaruhi hakikat Tuhan yang hakiki, sebagai Tuhan Yang Maha Esa. 

Sebagaimana tercantum di dalam Reg Weda Mandala I. Sukta 164: Mantra 46, “Om Ekam Sat Wipra Bahudah Wadanti, Agnim Yamam Matariswanam”. Ia yang tunggal, absolut, satu-satunya, namun disebut dengan berbagai istilah oleh umat manusia. Di dalam Upanishad IV. 2.1 disebutkan “Om Tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman”, Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, hanya satu dan maha sempurna. Di dalam Narayana Upanishad disebutkan “Eko Narayana na Dwityo Sti Kacit”, hanya satu Tuhan yang disebut Narayana, tiada duanya. Di dalam Sama Weda 327 disebutkan “Sumeta visva ojasa patim divo, Ya eka id bhur atihir jnanam, sa purvyo nutanamo aji gisan, tam vartanir anu vavrta eka id”, Marilah datang pada Nya, penguasa semesta. Dia yang Esa, dan satu-satunya. Dia yang ada semenjak dahulu kala hingga kini. Hanya kepada Nya semua arah tujuan. Dia satu-satunya. “Om twam siwa twam mahadewa, Iswara parameswara, Brahma, Wisnu ca, Rudra ca, Purusah parikirtitah”, Engkau yang disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu dan juga Rudra. Engkau adala asal mula dari segala yang ada di dunia.


Referensi:
Babad Bali
Dodek Isa Siawan. 2011. Filsafat Hindu
Widhi Tatwa, Filsafat Hindu.
I Nyoman Kurniawan. Catur Sadhya Sadhana, Empat Tiang Kesadaran Sempurna

Sabtu, 04 April 2020

Moksa Sraddha



Moksa Sraddha
Apuryamanam acala pratkstam,
Samudram apah prawisanti yadwat
Tadwat kania yanm prawisanti sarve
Sa santun apnoti na kama kami
(Bhagawad Gita II, 70)

Bagaikan air mengalir menuju samudra, walau terus menerus, namun tetap tenang tidak bergeming. Demikian pula halnya dengan orang yang berjiwa tenang mencapai kedamaian. Walau berbagai peristiwa dan pengalaman dialami, tidak mudah melepaskan hawa nafsu tanpa kendali.

Sudah sepatutnya, kita semua belajar mengendalikan hawa nafsu. Menghadapi berbagai kejadian di dalam perjalanan hidup, tidak mudah tergoda atau mengumbar emosi / ego. Belajar tetap tenang. Sebagaimana setiap perjalanan hidup, berakhir pada kematian, untuk mencapai moksa, dimana kita kembali menjadi satu dengan Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tidak mengalami terlahir kembali, sudah terlepas bebas dari Punarbhawa atau Samsara, mencapai kebahagiaan tertinggi. 

Moksa adalah tujuan akhir bagi para penganut agama Hindu. Umat Hindu menghendaki agar bisa hidup hanya sekali saja di dunia ini, kemudian dapat mencapai kehidupan abadi dan kebahagiaan selamanya, bersatu dengan Tuhan. Sebagaimana tercantum pada “Moksartham Jagadita Ya Ca Iti Dharma”. Bersatunya sang atman dengan sang Brahman. Namun, jika memang tujuan akhir adalah bersatunya roh dengan Tuhan, mengapa terkadang orang takut akan kematian?? Bisa jadi karena begitu tingginya tingkat ego, masih emosian, dan berat meninggalkan berbagai materi yang dimiliki. Orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya, pasrah akan jalan hidup, akan senantiasa bekerja keras, tetap bersemangat, namun tidak terikat pada hasil. Orang-orang seperti ini lebih memilih menjalani kehidupan dengan sebaik mungkin, melaksanakan setiap tugas, hak dan kewajiban, tanpa bersikap berlebihan. Disaat suka dan duka, bisa tetap fokus berdoa dan bekerja, tidak meremehkan orang lain, bisa menempatkan diri sendiri, memotivasi orang lainnya. Hal ini mengajarkan kita untuk senantiasa waspada dan siap terhadap berbagai aspek kehidupan, namun tidak panik berlebihan dalam menyikapi hal tersebut.

Sebagaimana tertulis pada Bhagawadgita VII: 19, Bahunam janmanam ante, Jnanawan mam prapadyate, Wasudewah sarwam iti, Sa mahatma sudurlabha. Pada akhirnya, dan banyak kelahiran, orang yang bijaksana menuju kepada Ku, karena mengetahui bahwa Tuhan adalah semua dari yang ada di dunia ini…..

Setiap orang berbuat kebajikan sesuai dengan keyakinan dan kemampuan, melepaskan diri dari keterikatan, Suka tan pawali duka, agar bersatu kembali dengan sang Brahman, menjadi Awatara.

Santidiwyarthi, 5 April 2020

Referensi:
Babadbali.com
Dodek Isa Siawan. 2011. Sraddha.

Punarbhawa Sraddha atau Samsara Tatwa



Punarbhawa Sraddha atau Samsara Sraddha / Tatwa

Punarbhawa atau Samsara terjadi karena sang atman masih dipengaruhi oleh Karma Wasana. Bekas-bekas perbuatan (karma wasana) ada bermacam-macam. Jika bekas perbuatan hanya merupakan bekas-bekas keduniawian, maka sang atman akan terlahir kembali. Kelahiran dan perjalanan hidup merupakan samsara. Samsara digambarkan sebagai hukuman, merupakan akibat perbuatan atau karma di masa kehidupan terdahulu.

Jangka waktu samsara menurut Dodek Isa Siawan (2011) tergantung dari perbuatan baik dan buruk seseorang di masa lampau (Atita), yang akan datang (Nagata), dan yang sekarang (Wartamana). Selama kita terikat pada unsur duniawi, maka sang jiwa akan terus menerus menjelma dan menitis dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Hal ini yang membuat orang berupaya melepaskan keterikatan atau kemelekatan diri terhadap materi, kebendaan, atau hal-hal yang bersifat keduniawian. Mereka yang sudah terlepas dari keterikatan atau kemelekatan ini disebut sebagai sudah terbebaskan dari berbagai hal yang bersifat duniawi, menjalankan hal-hal yang bersifat spiritual, pelayanan kepada umat, dan bersiap mencapai moksa.

Namun pada kenyataannya, sungguh sulit untuk terlepas dan bebas dari berbagai godaan dan rintangan duniawi. Ego manusia, sisi duniawi yang ada pada diri seseorang, tuntutan pekerjaan dan keluarga serta masyarakat di sekitar kita, membuat manusia senantiasa lengah dan lemah. Membuat kita tergantung pada orang lain, membuat hati terkadang luluh, dan kembali melakukan hal yang keliru atau kurang tepat berkali-kali. Bagaimana kita bisa mengatasi hal ini, bahkan mengantisipasi agar segala godaan tidak membuat rentan umat manusia? Sudah tentu perlu latihan pengendalian diri, perlu menguatkan tekad dan iman, agar tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, berlaku adil dan jujur, senantiasa menebar kasih sayang bagi siapapun.

Santidiwyarthi, 5 April 2020

Referensi:
Babadbali
Dodek Isa Siawan. 2011. Sraddha.