Selasa, 29 Agustus 2017

Wae Rebo, The Heart of Manggarai (1)



Ketika memutuskan akan menjelajahi Manggarai Barat, kami sudah menyadari, ini bukanlah sesuatu yang mudah. Kami membutuhkan persiapan matang, orang yang dapat kami handalkan, bukan guide yang abal-abal. Maka, kami persiapkan diri dengan sebaik mungkin yang kami bisa, menelusuri berbagai informasi tentang Wae Rebo, sejarah, rute perjalanan, transportasi yang mungkin dipergunakan, lama waktu tempuh, biaya yang kami butuhkan, siapa saja yang dapat kami hubungi untuk membantu mengumpulkan beragam data tersebut. Kami terlibat dengan banyak diskusi, banyak perdebatan, urun rembug, dan berbagai pertimbangan, sehingga memutuskan yang terbaik yang dapat kami lakukan.
 
 
 
Banyak yang berkata, kami gila, dan sesuatu yang tidak mungkin kami lakukan. Underestimate lah, tidak becus lah. Okay. Aku selalu percaya, adanya banyak tangan yang tidak terlihat, keterlibatan Tuhan, dan, niat baik kami yang tentu akan mempermudah kami melaksanakan ini. Perlu kedewasaan bersikap, kehati-hatian, dan kerendahan hati dalam bertingkah laku. Meski kami tipe orang yang senang berpetualang, menguji nyali diri, dan bersiap terhadap resiko yang mungkin kami hadapi, namun kebersamaan team sangat dibutuhkan.
 
 
 
Anakku telah lebih dahulu menjelajahi Manggarai tahun 2015 lalu. Melalui rute perjalanan darat, dia berangkat bersama Edi Sempurna Sembiring Meliala, sahabat se kelas dan se kos nya. Selama seminggu, mereka bergerak ke arah Timur, hingga mencapai Wae Rebo. Dan kini, sungguh beruntung aku dapat menuju ke Wae Rebo, yang disebutnya sebagai jantung hati Manggarai, sebuah desa aseli, negeri di atas awan.
 
 
 
Wae Rebo merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Flores, kira-kira 1.200 meter di atas permukaan laut. Situasi pedesaan yang terpencil, terisolasi di daerah pegunungan, membuat desa ini unik untuk diamati terkait aktivitas sehari-hari, sistem kekerabatan, dan bentuk bangunan nya. Desa ini sudah tumbuh dan berkembang semenjak 1100 tahun lalu, diyakini leluhur mereka berasal dari Minangkabau di Sumatera, berkembang ke daerah Todo yang juga di Manggarai, yang terkenal dengan kerajaan Todo, kemudian mengasingkan diri ke Wae Rebo. Desa ini bisa dicapai setelah melewati daerah pesisir pantai, pegunungan, berjalan kaki mendaki gunung, kemudian menuruni jalan curam, melintasi sungai, bahkan terkadang melalui awan, sehingga desa ini juga dikenal dengan negeri di atas awan.
 
 
Terdapat beberapa rute perjalanan untuk mencapai desa ini. Yang pertama, dari Labuan Bajo berkendara menuju Ruteng, lalu ke Desa Dintor, desa terakhir yang dapat dilintasi kendaraan, kemudian menyewa ojek menuju pos pertama Hutan Lindung, dan melanjutkan perjalanan kaki menuju Wae Rebo. 
 
 
 
Yang kedua, dengan menggunakan truk / oto kayu dari Ruteng, di Terminal Bus Mena. Kemudian bergerak menuju Desa Cancar, Desa Pela, Desa Todo, Desa Dintor, Desa Denge. Waktu tempuh selama tiga hingga empat jam ber kendara.
 
 
 
Yang ketiga, dari Labuan Bajo, dengan menggunakan perahu, menyusuri pantai Selatan, dekat Pulau Mules, menuju pesisir, Desa Nangalili.Setelah tiba di Desa Dintor, kembali melanjutkan perjalanan menuju Desa Denge. Dari Desa Dintor, menyewa motor atau bersama tukang ojek dengan tarif sebesar 50.000 menuju Desa Denge.
 
 
 
Perjalanan kami berawal dari Labuan Bajo. Rabu, 23 Agustus 2016. Pukul 7 pagi kami bergerak bersama Servasius, seorang guide lokal, aseli orang Manggarai, dan supir Kasianus. Sekitar empat jam berkendara dari Labuan Bajo, hingga berakhir di Desa Dintor, lanjut ke Desa Denge, dan menggunakan ojek bermotor menuju pos pertama di Hutan Lindung. Berikutnya kami lanjutkan dengan berjalan kaki selama tiga jam lebih, mendaki gunung, menyusuri hutan, menuruni gunung, melintasi sungai melalui jembatan bambu, melintasi awan, sebelum tiba di desa Wae Rebo.
 
 
 
Rumah berbentuk kerucut ini dahulu berbentuk kotak. Mulai mengalami pelapukan pada tahun 2008. Namun semenjak di renovasi pada tahun 2010, bentuknya berubah menjadi kerucut. Yayasan Rumah Asuh bersama Yori Antar dan kawan-kawan banyak berperan dalam proses renovasi Mbaru. Berikutnya banyak pula pihak swasta dan bahkan pemerintah daerah ikut terlibat. Jumlah utama rumah sebenarnya hanya tujuh. Pada masing-masing rumah, tinggal tujuh hingga delapan kepala keluarga. Namun kemudian berkembang menjadi sembilan, dimana dua buah Mbaru dipergunakan sebagai tempat tinggal bagi para wisatawan yang ingin menginap dan merasakan aktivitas kehidupan masyarakat Desa Wae Rebo. Terdapat rumah Utama yang disebut dengan Mbaru Niang, dimana di Rumah Utama ini terdapat Niang Gendang, gendang yang telah diwarisi semenjak jaman nenek moyang mereka. Rumah ini merupakan rumah yang pertama kali berdiri di Wae Rebo, dimana leluhur penduduk desa ini tinggal. Para tamu yang datang harus menuju rumah utama ini terlebih dahulu, untuk disambut dengan upacara sebagai pertanda sah nya mereka datang berkunjung dan mengetahui apa saja yang patut dan tidak boleh dilanggar selama berada di Wae Rebo. 
 
 
 
Sepanjang perjalanan kami temui banyak wisatawan asing, turis lokal, bahkan ibu Kadi, berusia 71 tahun, ibu Ima berusia 65 tahun, yang tetap bersemangat meski akhirnya membutuhkan delapan jam berjalan kaki. Kami bermalam di salah satu Mbaru, bersama dengan sekitar 50 an wisatawan lain, ikut mengenakan songkee yang di tenun oleh para perempuan desa Wae Rebo, makan malam bersama dengan seluruh wisatawan, menikmati bintang malam, dan bangun pagi serta menikmati sarapan pagi dengan menu pedesaan, sebelum kembali ke Labuan Bajo dengan kembali menyusuri perjalanan di pegunungan selama hamper empat jam berjalan kaki.
 
 
 
Delapan Mbaru atau rumah kerucut menggambarkan delapan garis keturunan kepala keluarga utama. Hingga kini terdapat 137 kepala keluarga dan 632 orang anggota masyarakat desa Wae Rebo, namun sebagian di antaranya sudah ada yang menetap di luar Mbaru, di kebun sekitar Mbaru, atau di perkampungan sebelah desa Wae Rebo, bahkan merantau ke desa lain untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan. 
 
 
 
Pada tahun 2012, desa Wae Rebo mendapat penghargaan Asia Pacific Heritage Award for Culture Heritage dari UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization), sebuah badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan.
 
 

Sabtu, 26 Agustus 2017

Pengabdian Masyarakat Prodi Administrasi Perhotelan STP Nusa Dua Bali di Labuan Bajo, 22 Agustus 2017




Program Studi D IV Administrasi Perhotelan (ADH) Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat dengan tema, Pelatihan tentang Pengelolaan Pondok Wisata dalam Rangka Meningkatkan Kapasitas Masyarakat di Destinasi Wisata Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada hari Selasa, 22 Agustus 2017. Adapun penyelenggaraan kegiatan ini dilakukan di Kelurahan Kampung Ujung, Kecamatan Komodo. Kabupaten Manggarai Barat. Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang dihadiri para tokoh masyarakat di Kelurahan Kampung Ujung yang terdiri dari: Kadisparbud Kabupaten Manggarai Barat, Lurah Kampung Ujung, Pemuka agama, Ketua Homestay Labuan Bajo beserta anggota Pokdarwis, Ibu-ibu PKK, dan masyarakat Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.


Kegiatan Pengabdian Masyarakat ini merupakan salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dilaksanakan para dosen di lingkungan STP Nusa Dua Bali. Beberapa hal yang melatar belakangi pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah sebagai berikut:
·    Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah. Pemerintah menetapkan target kunjungan wisatawan ke Indonesia sejumlah 20 juta wisatawan. Beragam upaya yang dilakukan Kementrian Pariwisata yaitu dengan membangun 10 Bali baru yaitu menetapkan 10 destinasi pariwisata prioritas yaitu Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Candi Borobudur, Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Danau Toba (Sumatera Utara), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Tanjung Lesung (Banten), Morotai (Maluku Utara) dan Tanjung Kelayang (Belitung).
  • Kementerian Pariwisata juga merumuskan tiga program prioritas pariwisata Indonesia untuk tahun 2017 untuk mencapai target kunjungan wisatawan. Tiga program prioritas Kemenpar tersebut adalah pariwisata digital (digital tourism), konektivitas udara dan pondok wisata (homestay). Menteri Pariwisata menargetkan akan membangung 20.000 unit homestay di tahun 2017, 30.000 unit homestay di tahun 2018 dan 50.000 unit homestay di tahun 2019. Menurut Menpar Arif Yahya, 1.000 unit homestay akan dibangun pada triwulan pertama di tahun 2017 dengan alokasi 100 homestay di masing-masing 10 destinasi Bali baru yang menjadi prioritas pemerintah.
  • Kota Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat merupakan salah satu dari 10 destinasi baru dan merupakan pusat pariwisata teramai di Flores. Labuan Bajo sangat berpotensi dalam mengembangkan homestay karena menjadi titik singgah bagi para wisatawan. Tingkat kunjungan wisatawan ke Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2010 hingga tahun 2015 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2010 ke tahun 2011 jumlah kunjungan wisatawan yang berkunjung sebanyak 326 orang. Tahun 2011 ke tahun 2012 terjadi penurunan yang cukup signifikan sebanyak 10.078 wisatawan. Tahun 2012 ke tahun 2013 terjadi peningkatan sebanyak 13.214 wisatawan. Tahun 2013 ke tahun 2014 terjadi peningkatan kunjungan wisatawan yang tidak terlalu jauh dari tahun sebelumnya yakni sebanyak 11.899 wisatawan. Tahun 2014 ke tahun 2015 terjadi peningkatan kunjungan wisatawan yakni sebanyak 4.781 wisatawan. Kabupaten Manggarai Barat di Provinsi Nusa Timur (NTT), menjadi salah satu tulang punggung sektor pariwisata nasional tatkala Labuan Bajo, ibu kota Kabupatennya, terpilih menjadi salah satu dari 10 tujuan pariwisata prioritas 2016.
  • Labuan Bajo merupakan salah satu desa dari 9 desa dan kelurahan yang berada di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Labuan Bajo dulunya adalah sebuah kelurahan sekaligus ibukota Kecamatan Komodo juga merupakan ibukota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Sekarang sudah dikembangkan menjadi Kota Labuan Bajo. Wilayahnya meliputi 15 Desa, yaitu; Kampung Ujung, Kampung Tengah, Kampung Air, Lamtoro, Wae Kelambu, Wae Medu, Cowang Dereng, Wae Kesambi, Wae Bo, Lancang, Sernaru, Wae Mata, Pasar Baru, Pede, dan Gorontalo.
·                Meningkatnya kunjungan wisatawan ke daerah ini tentu saja harus didukung pula oleh kesiapan masyarakat untuk menjadi tuan rumah yang baik. Dari analisis situasi dilapangan, Pondok Wisata di Labuan Bajo masih mengalami kendala dalam pengelolaan dan hygiene sanitasi. Masyarakat setempat sangat antusias untuk dapat terlibat dalam penyediaan sarana akomodasi berupa pondok wisata dan juga pemenuhan akan kebutuhan makanan dan minuman bagi wisatawan yang berkunjung. Pondok Wisata Labuan Bajo hendaknya dapat dikelola secara lebih professional. Dari hal ini akan dapat menciptakan keuntungan bagi masyarakat setempat dengan adanya perputaran ekonomi yang dapat dirasakan dengan adanya pariwisata.
Jika dihitung-hitung, dengan jumlah pengunjung mencapai 90 ribu wisatawan per tahun dan pengeluaran rata-rata 1 juta per hari, maka jumlah uang yang beredar bisa mencapai Rp 90 triliun. Ini bisa hitungan minimal mengingat lamanya waktu tinggal belum dimasukkan. Tahun 2012, peredaran uang sudah mencapai lebih dari Rp 838 miliar.
         
          Namun dari jumlah itu, sebagian besar diterima oleh operator wisata dan pengusaha kapal wisata (75,55 persen). Sebanyak 2,09 persen diterima oleh pengelolah TN. Komodo dan pemerintah daerah. Sebanyak 22, 36 persen terdistribusi pada pengusaha hotel, restoran dan toko retail/ souvenir. Sementara manfaat pariwisata bagi masyarakat setempat sangat kecil karena penyerapan tenaga kerja yang terbatas sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat (Wahyuti, 2013: 53)



Sebagai bukti pentingnya menggali dan mengembangkan potensi masyarakat lokal dalam perkembangan pariwisata berkelanjutan adalah tarian Rismeka sebagai tarian penyambutan pada kegiatan Pengabdian Masyarakat Program Studi Administrasi Perhotelan Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali, pada hari Selasa, 22 Agustus 2017, bertempat di Hotel Pelangi, Labuan Bajo.
  • Adapun Pengabdian Masyarakat Program Studi Administrasi Perhotelan meliputi :
1.  Identifikasi Pondok Wisata di Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
2.  Identifikasi potensi masyarakat dalam pengelolaan pondok wisata. Pengetahuan dan pemahaman serta ketrampilan terkait pariwisata merupakan hal penting dalam pengelolaan pondok wisata. Dengan pahamnya masyarakat desa diharapkan terjadinya minat masyarakat desa akan potensi mengelola pondok wisata, menambah tingkat penghasilan rumah tangga, serta pemasukan desa. Namun kendala utama disini bukanlah potensi wisata tapi pemahaman dan ketrampilan sumber daya manusia Labuan Bajo tentang tata cara pengelolaan pondok wisata.
3. Pemasaran Pondok Wisata Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
4.   Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Pondok Wisata Labuan Bajo, di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.


Kadisparbud Kabupaten Manggarai Barat, bapak Theodorus Suardi, Lurah Kampung Ujung, bapak Syarifuddin Malik, dan Ketua Homestay Labuan Bajo, Ibu Margaretha Subhekti, menjelaskan bahwa kegiatan pengelolaan Pondok Wisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, belum berjalan secara maksimal.  Adapun beberapa masalah yang disampaikan antara lain:
    • Masih diperlukan pembinaan bagi masyarakat dalam hal penguatan pengetahuan mereka tentang Pondok Wisata, pengelolaan Pondok Wisata, berbagai produk terkait Pondok Wisata, serta pemasaran Pondok Wisata. Dimana saat ini kondisi sumber daya manusia terkait Pondok Wisata yang ada masih belum maksimal.
    • Belum maksimalnya potensi masyarakat terkait pondok wisata Labuan Bajo, seperti prosedur penanganan tamu yang datang, kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang penyiapan kamar yang dimiliki masyarakat lokal.
    • Perlunya pembinaan bagi masyarakat akan pentingnya pelayanan prima, sehingga dapat menambah nilai produk wisata yang ditawarkan.
    • Perlunya pelatihan bagi penduduk terkait dengan penyiapan makanan, pengolahan menu yang dihidangkan bagi tamu yang menginap, khususnya berbahan dasar makanan yang banyak tersedia di Labuan Bajo, bagi wisatawan yang tinggal di pondok wisata Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Foto Santi Diwyarthi.
Pada kegiatan Pengabdian Masyarakat tahap 1 ini, dihadirkan 4 narasumber : Theodorus Suardi, Drs. Dewa Ketut Sujatha, M.Si., CHT., Dra. Ni Desak Made Santi Diwyarthi, M.Si, dan juga Luh Gde Sri Sadjuni, SE., M.Par., CHT., untuk dapat memberikan berbagai penguatan dan pengalaman dalam mengelola Pondok Wisata beserta berbagai kendala dan masalah yang dihadapi oleh Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.

Kegiatan Pengabdian Masyarakat ini dilaksanakan pada hari Selasa, 22 Agustus 2017, bertempat di Ruang Aula Hotel Pelangi, Labuan Bajo, dengan diikuti 100 orang. 

Foto Santi Diwyarthi.

Narasumber dari Labuan Bajo, yakni bapak Ir. Theodorus Suardi, M.Si., menyampaikan materi mengenai Labuan Bajo dan Perkembangan Pariwisata Berkelanjutan. Narasumber dari Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali, yakni : Bapak Drs. Dewa Ketut Sujatha, M.Si., CHT., memberikan materi terkait Front Office dan Housekeeping. Ibu Dra. Ni Desak Made Santi Diwyarthi, M.Si., menyampaikan materi terkait Manajemen Pelayanan Prima. Ibu Luh Gde Sri Sadjuni, SE., M.Par., CHT., memberikan materi terkait dengan Food Product, khususnya pengolahan makanan ber bahan dasar ikan, dan klepon, dengan bahan yang banyak terdapat di daerah Labuan Bajo.
Berbagai pertanyaan terkait pengelolaan pondok wisata beserta permasalahan dilapangan yang dihadapi saat melayani wisatawan diungkapkan seperti misalnya; peningkatan ketrampilan pengelola pondok wisata dalam hal penerimaan tamu, promosi pondok wisata, mengolah makanan, menghidangkan makanan, memelihara kebersihan kamar, efisiensi dan efektivitas pengelolaan pondok wisata, mengembangkan budaya daerah yang berkelanjutan sesuai dengan perkembangan pariwisata Labuan Bajo, dan cara penyusunan paket wisata yang mungkin dikembangkan di Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Foto Santi Diwyarthi.

Berbagai permasalahan yang diinventarisasi terkait Pondok Wisata Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, meliputi :
1.      Sumber Daya Manusia dari Labuan Bajo kurang memiliki kesadaran dalam membangun serta mengembangkan kepariwisataan di desanya, kurang memiliki kemampuan dalam berbahasa Inggris, juga dalam pengetahuan pengelolaan pondok wisata baik operasional ataupun pemasarannya. Kurang memahami dan menguasai Manajemen Pelayanan Prima, sehingga terkesan kurang mampu mengelola pariwisata secara berkelanjutan. Padahal, wisatawan yang puas akan merupakan hal yang potensial untuk datang berkunjung kembali dan menyampaikan informasi positif mengenai Pondok Wisata di Labuan Bajo.
2.      Kebanyakan tamu yang datang ke Pondok Wisata hanya untuk transit dan menginap sehari, kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah lain, sehingga pondok wisata yang dimiliki warga Labuan Bajo menjadi kurang produktif. Intensitas kedatangan tamu yang tidak menentu karena guide yang biasa membawakan tamu telah memutuskan mengubah tujuan wisata ke pondok wisata lain. Belum adanya travel agent yang tertarik untuk menjalin kerja sama dengan pengelola pondok wisata
3.     Media promosi pondok wisata Labuan Bajo yang masih kurang sehingga banyak masyarakat yang belum mengetahui potensi – potensi yang dimiliki oleh Pondok Wisata Labuan Bajo. Website Disparbud Kabupaten Manggarai Barat yang terbengkalai, belum adanya penanganan pengelolaan pondok wisata yang kurang serius, sehingga koordinasi antara pengelola pondok wisata dengan Pokdarwis belum terjalin secara optimal. Rendahnya promosi karena kendala IT dan kualitas SDM, kualitas brosur yang kurang menarik, tidak memiliki foto yang ter update dan contact person yang sulit untuk dihubungi.

Foto Santi Diwyarthi.

Solusi yang dilakukan terkait situasi dan kondisi yang ada di Pondok Wisata Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
1.      Berbagai upaya menanamkan pengetahuan dan mengembangkan pemahaman di tengah masyarakat Labuan Bajo, mengenai pentingnya pariwisata berkelanjutan, juga pengelolaan Pndok Wisata, yang tidak hanya sekali berkembang, mendapatkan banyak wisatawan untuk menginap, namun kemudian tidak berlanjut lagi.
2.      Meningkatkan potensi masyarakat dalam mengelola Pondok Wisata, berupa pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan, terkait Manajemen Pelayanan Prima, Penetapan Prosedur Penangananan tamu yang berkualitas, pengolahan makanan dari bahan dasar makanan yang banyak tersedia di Labuan Bajo, melengkapi berbagai produk Pondok Wisata.
3.      Pembentukan dan pengembangan marketing team membantu dalam memberikan pengetahuan – pengetahuan menggunakan pendekatan Marketing Mix yang dimiliki Pondok Wisata secara sederhana, misalnya dengan menggunakan media berupa FaceBook, Instagram, Fanpage, brosur, leaflet, sehingga dapat lebih memperkenalkan potensi – potensi Pondok Wisata yang ada di Labuan Bajo. 
4.  Melakukan optimalisasi terhadap pembuatan dan promosi makanan serta minuman khas Labuan Bajo, terutama makanan ber bahan dasar ikan..

Sabtu, 19 Agustus 2017

Pujawali Saraswati di kampus kami, 19 Agustus 2017




 
Foto Santi Diwyarthi.
 
Saraswati melambangkan pengetahuan, kebijakan, kebenaran, kebajikan. Pilar kita dalam melangkah di kehidupan agar menjadi semakin bijak dan dewasa dalam bersikap. Kearifan yang diturunkan semenjak dahulu kala, warisan leluhur, mengajarkan kita untuk tidak gegabah dalam berpikir, bertutur kata, dan bertindak. “Gangsar tindak, kuangan daya”, tidak menggunakan logika atau nalar, sembrono, menyakiti orang lain, bahkan, melukai diri sendiri.
 
 
 
Menjadi tua, setiap orang bisa. Namun, menjadi semakin bijak dan dewasa, hanya orang orang pilihan yang sanggup. Dan, pemimpin sejati adalah orang-orang bijak yang dewasa dalam bersikap dan menjalin kerjasama dengan beragam pihak.... Dan, Perayaan Saraswati menuntun kita untuk selalu mengingat langkah-langkah yang telah dilalui, belajar dari pengalaman yang telah ada, mengembangkan potensi diri, belajar dari berbagai ruang dan juga waktu yang ada, mulai dari keluarga kecil, keluarga besar, para sahabat, tetangga, masyarakat luas....
 
 
 
Wangi dupa menyeruak hawa, harum bunga hiasi canang bebantenan yang ada, senyum dan tawa canda di antara kita bersama, gemulai tarian lenggang lenggok kaum wanita....... Aku terpana. Pujawali Saraswati, hanya salah satu cara kami memuliakanMu, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.... 
 
 
Selama penyungsung budaya masih ada, dan berkembang dinamis, maka budaya tersebut akan senantiasa bisa mengikuti perkembangan jaman. Ini bukan sekedar raga, namun rasa, cinta, mengasihi, dan menghormati leluhur kita, juga budaya yang menjadi tradisi, terlebih, menghargai diri sendiri..... 
 
 
 
Cinta adalah...... Bertumbuh dan berkembang bersama, dalam segala suka dan duka, di jalan yang terkadang penuh halangan dan tantangan bagi kita berdua. Dan, semoga cinta senantiasa berkembang secara positif di lingkungan Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. menjadi energi positif pula bagi perkembangan kinerja para pegawai, dosen serta mahasiswanya, bergerak bersama mewujudkan visi dan misi lembaga tercinta ini......
 
Foto Santi Diwyarthi.
 
Rahajeng Rahina Saraswati, Rahajeng kampusku tercinta, bersama kita bisa wujudkan semua cita - cita kita dalam balutan cinta, damai di bumi, damai di hati, damai senantiasa......

Kamis, 17 Agustus 2017

Laskar Pelangi ku dan Tujuh Belas Agustus an ala Kami.....






Foto Santi Diwyarthi. 
 
Tidak ada acara khusus yang kami selenggarakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Repuplik Indonesia ke 72. Namun tidak berarti kebahagiaan tidak berkembang di sini. Meski segala kesibukan dan keterbatasan sering menghambat kami untuk berkumpul bersama.....
 
 Foto Santi Diwyarthi.
 
Sore ini, kami berkumpul bersama di aula kami yang baru selesai di renovasi atap nya awal bulan ini. Ada 40 an anak SD dan SMP, juga SMA yang berada di Perumahan kami. Dan 25 anak dapat berkumpul bersama sore ini. 
 
Foto Santi Diwyarthi. 
 
Ku bawa berbagai gelas kertas berwarna warni, sendok plastik, jeruk lemo yang kubeli di pasar, dan tusuk gigi. Tadi, sepulang kerja, aku mampir di mini market dekat rumah. Tidak ada kelereng yang tersisa di sana, juga tidak ada balon lagi. Namun, bukan berarti tidak ada kebahagiaan bagi anak-anak di Perumahan. Tak kan kubiarkan mereka kehilangan asa untuk bermain bersama dalam berbagai lomba sederhana yang bisa kucipta demi mereka.
 
 
Foto Santi Diwyarthi.
 
Jeruk lemo menjadi pengganti kelereng, diletakkan di atas sendok plastik yang mereka bawa dengan bibir. Jadi lah lomba balap sendok dan jeruk lemo. gelas plastik yang berisi tusuk gigi lima biji, masing-masing tusuk nya harus dibawa setiap kali berlari bolak-balik lintasan untuk dipindah ke gelas kosong lainnya.
 
 Foto Santi Diwyarthi.
 
Berbagai lomba dan pertandingan, bukan lah tentang menang atau kalah, bukan pula tentang menjadi jawara atau sang sakti...... namun tentang proses bertumbuh kembang bersama, menjadikan mereka semakin bijak dan dewasa......... 
 
 Foto Santi Diwyarthi.
 
Setelah selesai lomba sederhana tersebut, kami duduk bersama di atas karpet, makan bolu kukus, pia jogja, wafer cokelat, permen lolipop, happytoos. Megibung bersama ala Laskar Pelangi di Pondok kami. Bahagia itu sederhana. Sedikut serbuk ajaib, mantra sim salabim, dan abrakadabra. Bahagia bersama mereka semua......
 
 Foto Santi Diwyarthi.

Minggu, 13 Agustus 2017

Ketut Juliantara, ADH D smt 3, di Banjar Tumbu Kaler, Karangasem, 13 Agustus 2017


Foto Santi Diwyarthi.


Duka karena ditinggal pergi ayahnda tercinta hari Jum’at, 11 Agustus 2017 membuat keluarga ini sangat bersedih. Ketut Juliantara merupakan mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali, Program Studi Administrasi Perhotelan semester 3 kelas D. Di tengah kesibukan mengikuti Kuliah Perdana dan Program Matrikulasi, dia harus bolak balik Rumah Sakit, menunggui sang ayah yang harus berkali cuci darah. Nasib berkata lain, takdir Ida Sang Hyang Widhi Wasa membuat mereka berpisah dari ayahnya.
 
 Foto Santi Diwyarthi.
 
Ku kenal Ketut Juliantara sebagai ketua kelas yang bertanggungjawab. Dia sering tiba paling awal dan pulang paling akhir dari hari-hari perkuliahan yang dijalani bersama rekan sekelasnya. Dia pula yang paling sering muncul di ruang prodi untuk mengurus surat ijin perkuliahan teman yang berhalangan hadir, meminta obat jika ada teman yang sedang sakit, atau sekedar berdiskusi dengan para dosen juga staf prodi.
 
 
Foto Santi Diwyarthi.
 
 
Terkadang tidaklah mudah tinggal di rantau, di suatu tempat yang asing atau terasa kurang ramah. Ketut Juliantara senantiasa memotivasi rekan rekan se kelas yang sering alami galau, kurang bersemangat menjalani perkuliahan, atau menghadapi permasalahan dalam kehidupan. 
 
Dan kini dia berduka. Ayahnda nya meninggal, dan telah menjalani rangkaian upacara mekingsan di geni, istilah Bali untuk pembakaran mayat pada hari Sabtu, 12 Agustus 2017, di Banjar Tumbu Kaler, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Tidak mudah memang, mengumpulkan dengan seketika, rekan-rekan sekolah, atau sekelas, di saat libur sekolah, pada hari Sabtu dan Minggu, apalagi, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, termasuk daerah yang sering alami gangguan sinyal jaringan komunikasi. Dan, aku sungguh beruntung mendapat berkah Tuhan, bisa bergabung dengan rombongan Ikatan Orang Tua Murid, mengunjungi Ketut Juliantara, menyampaikan ucapan turut ber belasungkawa.
 
“Kami berupaya memperkuat jalinan persaudaraan dan tali asih, agar anak tidak sampai patah semangat, dan putus sekolah di tengah jalan karena orangtuanya meninggal. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan santunan, dan juga beasiswa. Hingga kini ada 12 anak asuh IOM yang menempuh pendidikan di STP Nusa Dua Bali”. Ujar bapak Nyoman Mahardika, Ketua IOM STP Nusa Dua Bali. Kami berangkat bersama bapak Ketut Laut, dan bapak Ngurah Ambara, yang juga pengurus IOM STP Nusa Dua Bali.
 
“Saya sudah terbiasa bekerja semenjak saya bersekolah di SMK kelas dua. Sekarang saya juga bekerja di warung bakso, berjualan bakso, untuk memenuhi kebutuhan. Astungkara, dua bulan lagi cicilan motor saya juga lunas”, Tutur Ketut Juliantara sambil menatap mantap.
 
Di luar sana...... Banyak terdapat Ketut Juliantara - Ketut Juliantara lain, yang juga sedang berjuang dengan penuh semangat, bekerja keras, meraih harapan, mewujudkan impian di masa depan.
 
Teruslah berjuang, anak-anakku sayang. Terkadang, hidup tidaklah mudah, tidak berjalan semudah impian dan harapan kita. Terjatuh berkali, bangkit kembali, berkali, dan berkali lagi, dan lagi.......