Jumat, 13 November 2020

Pura Samuan Tiga, dimana segala asa berawal, mewujudkan cita, cinta dan juga doa kita bersama

 

 

 

 


 

Ri masa ika hana malih hakyangan kang maka ngaran kahyangan Samuantiga, Ika maka cihna mwah genah ira kang para Dewa-Dewata Bhatara-Bhatari, Mwah kang para Resi ika makabehan paum duking masa ika, Kang ingaranan pura Samuantiga ri mangke".

Pada masa itu terdapat kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Sarnuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari,Juga para Rsi (Pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu, dinamai pura Sarnuantiga sampai sekarang.

Pura Samuan Tiga merupakan Pura Kahyangan Jagat yang sekaligus merupakan Cagar Budaya Nasional semenjak tahun 1992. Sebagai suaka peninggalan sejarah dan purbakala dari jaman kerajaan Bedahulu (Bedulu). Menurut I Wayan Patera, salah satu pengempon pura, Pura ini dahulu di sebut juga dengan Pura Gunung Goak. Asal muasal kata Pura Samuan Tiga juga bermakna Samua Tiga, penyatuan dari berbagai perbedaan bentuk, fungsi dan makna terkait pura yang ada di seluruh Bali, menjadi tiga klasifikasi utama.

"Samalih sapamadeg idane prabu Candrasangka, mangwangun pura saluwire : Penataran Sasih, Samuantiga, hilen-hilen rikala aci, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran nglamuk beha, mapalengkungan siyat pajeng, pendet, hane bale pgat, pgat leteh". Tatwa Siwa Purana, Lontar ke 11. 

Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka, membangun pura antara lain : Penataran Sasih, Samuantiga, tari-tarian di saat upacara, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran menginjak bara, mapalengkungan perang payung (pajeng) pendet dan ada balai pegat penghapus ketidak sucian (leteh).

Uraian ini menjelaskan bahwa umat manusia melakukan berbagai macam aktivitas, cara, simbol agama, budaya, juga bermakna untuk meningkatkan keyakinan kepada Tuhan, membersihkan diri, penyucian lingkungan, bertujuan untuk semakin mantap melangkah ke depan, bersama dengan orang lain di sekelilingnya.

Literatur sejarah Bali kuno menguraikan pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting musyawarah berbagai tokoh pada masa Bali Kuna. Pelaksanaan musyawarah para tokoh di Bali pada masa pemerintahan raja suami-istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 – 1011 Masehi.

Pura Samuan Tiga terdiri dari tujuh bagian utama, yakni : 1. Mandala Jaba Sisi (ruang terbuka), 2. Mandala Penataran Agung, 3. Mandala Duwur Kelod, 4. Mandala Beten Kangin, 5. Mandala Beten Manggis, 6. Mandala Sumanggen, 7. Mandala Jeroan.

Menurut Lontar Tatwa Siwa Purana, Pura ini berdiri pada masa pemerintahan Raja Chandrasangka, pada abad X, sebagai pura Penataran dari Kerajaan Bali Kuna, terletak di pusat pemerintahan, dan disebut sebagai Bata Anyar. 



Menurut R. Goris (1948), pada masa itu di Bali berkembang kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang berkembang pada masa itu. Sekte-sekte tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewata (Dewa Utama) dengan simbol tertentu. Penganut setiap sekte berkeyakinan bahwa istadewata merekalah yang paling utama di antara dewa yang lain. Keyakinan sektarian itu mengakibatkan benturan konflik dan ketegangan antar-sekte. Hal ini berpengaruh terhadap stabilitas  kerajaan dan masyarakat.

Menyadari hal itu, raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali dan Jawa Timur (Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur) untuk mencari jalan keluar gejolak antar-sekte ini.

Pada waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara. Ke-lima pendeta bersaudara tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Mereka adalah Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Dengan pemahaman mendalam terhadap latar belakang sejarah juga budaya yang berkembang di tengah masyarakat, kemampuan bernegosiasi dan juga semangat memotivasi orang lain, mengatasi konflik, menjadi teladan bijak bagi umat, kelima pendeta tersebut diyakini mampu mempersatukan umat yang terpecah-belah. Empat di antara kelima pendeta tersebut didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:

1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih.
2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) berparhyangan di Gelgel.
3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai.
4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis).

Mpu Kuturan yang berpengalaman  sebagai kepala pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Girah, oleh Gunapriyadharmapatni diangkatlah beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan.

Melalui posisi yang dipegang itu, Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan. Pada masa itu, setiap kerajaan di Bali memiliki tiga pura utama: Pura Gunung, Pura Penataran (di pusat kerajaan) dan Pura Segara (laut). Upaya Mpu Kuturan berhasil. Musyawarah tersebut berhasil menyatukan semua sekte untuk penerapan konsepsi Tri Murti yaitu kesatuan tiga manisfestasi Tuhan (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa) dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Konsep Tri Murti ini diperkenalkan dan disebarluaskan pada masyarakat, berlaku tidak hanya di Bali, namun di seluruh nusantara.

Konsepsi "three in one" ini (aryapengalasanblogspot.com) berlaku di seluruh Bali dan menghapuskan dominasi satu sekte terhadap sekte lainnya, meskipun belakangan sekte Siwa Sidhantalah yang tampil dominan. Penyatuan ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mpu Kuturan di Jawa dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang (Prambanan) yang memuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa.

Untuk memperingati peristiwa penting tersebut maka tempat dimana terjadi musyawarah tersebut, yakni Pura Penataran kerajaan tersebut, diberi nama Pura Samuantiga.

Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga yakni Pura Desa (Brahma), Pura Puseh (Wisnu) dan Pura Dalem (Siwa) pada setiap desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kamulan Rong Tiga (tempat pemujaan dengan tiga pintu).

Pura Samuan Tiga telah menjadi saksi sejarah perjalanan panjang masyarakat Bali, tentang kehidupan, budaya, konflik, perpecahan, perjuangan, penyatuan, semangat kebersamaan, usaha dan kerja keras, doa

Ini yang menjadi pitenget bagi siapapun, bahwasanya, harmoni akan tercipta bila didasari dengan niat tulus dalam diri setiap insani, pemahaman mendalam terhadap latar belakang sejarah, saling menghargai satu sama lain, dan aplikasi nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Karena.... bukankah, setiap orang memiliki peranan dan fungsi nya masing-masing yang akan saling melengkapi satu sama lain. Pedagang, penyanyi, petani, nelayan, guru dan murid, pemimpin dan rakyat, penguasa dan pengusaha, tokoh spiritual dan umat. Semua sama penting dan mulianya.

 


 

 

Aryapengalasanblogspot.com

Tatwa Siwa Purana

Babad Bali.com

Goris, R. 1948. Sejarah Bali Kuno. Singaraja: Tidak diterbitkan

Goris, R. 1954. Prasasti Bali I. Bandung: NV Masa Baru

Stutterheim. 1930. Oudheden van Bali. 

Stuterheim. Willem. 1987. Buku Teks: Sejarah Bali. UI: tidak diterbitkan.

Sabtu, 24 Oktober 2020

Pengabdian Masyarakat Prodi ADH, 20-23 Oktober 2020, di Desa Pelaga, Kec. Petang, Kab. Badung

 


 Bagai pepatah Minang yang berbunyi, “Lamak di awak, katuju di urang”. Setiap hal yang kita ucapkan, yang kita lakukan, harus mendatangkan manfaat, baik bagi diri sendiri, juga bagi orang lain. Menjaga persahabatan itu indah, bagi diri sendiri, juga bagi kehidupan kita bersama di mana pun berada…….

Pengabdian Masyarakat Program Studi Administrasi Perhotelan Politeknik Pariwisata Bali Tahun 2020 dilaksanakan di Desa Pelaga. Tema yang dipilih adalah Pelatihan Pengelolaan Pondok Wisata di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Pengabdian Masyarakat ini dilaksanakan pada hari Kamis dan Jumat, 22-23 Oktober 2020. Kegiatan Pengabdian Masyarakat ini dihadiri para tokoh masyarakat di Desa Pelaga yang terdiri dari: Perbekel, Kelian Desa Pekraman, Kelian Dinas Wilayah Desa Pekraman, LPM, anggota Pokdarwis, Ibu-ibu PKK dan masyarakat Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.


 

Kegiatan Pengabdian Masyarakat ini merupakan salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dilaksanakan para dosen di lingkungan Politeknik Pariwisata Bali. Beberapa hal yang melatar belakangi pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah sebagai berikut:

• Desa Pelaga Kecamatan Petang Kabupaten Badung merupakan salah satu desa wisata yang baru berkembang menawarkan pesona alam yang asri. Data BPS Tahun 2019 memperlihatkan jumlah penduduk sebanyak 6.550 jiwa, dengan jumlah KK 1.855, di daerah seluas 3.545.204 hektar, atau 39,27 km2 tersebut. Dengan potensi yang dimiliki, diantaranya Jembatan Tukad Bangkung, Air Terjun Nungnung, Agrowisata, Budidaya asparagus, perkebunan gumitir, trekking dan bike, terasering yang unik, perkebunan bunga, kopi, pemandangan yang masih asri, keramahtamahan masyarakat. Dengan banyaknya potensi wisata yang dimiliki merupakan potensi wisata alam, maka yang ditawarkan bagi wisatawan adalah merupakan wisata alam (Green Eco Tourism, trekking, dan eco bike). Namun hingga kini tidak mengalami peningkatan berarti, apalagi dengan adanya pandemi Covid-19 yang berlangsung secara global. Nyaris tidak ada wisatawan yang datang berkunjung kemari untuk memanfaatkan ke 35 kamar penginapan yang bergabung di bawah Pelaga Home Stay Association (Pelahsa), yang dikelola oleh Desa Adat Pelaga bersama Pokdarwis Desa Pelaga. 


 

Desa Pelaga terdiri dari sembilan Dusun atau Banjar Dinas, yakni Banjar Kiadan, Nungnung, Pelaga, Bukian, Tinggan, Tihingan, Semanik, Auman, dan Bukit Munduk Tiying. Pokdarwis desa Petang juga telah menjalin kerjasama dengan beberapa pelaku pariwisata untuk promosi kepada masyarakat luas dan bertujuan menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Tujuan dibentuknya Pelahsa (Pelaga Home Stay Association) adalah mempermudah koordinasi di antara sesame pengelola dan pemilik homestay atau pondok wisata, menjalin kerjasama dan saling memotivasi satu sama lainnya, dan mempermudah pemasaran usaha jasa akomodasi. Disamping itu juga untuk memberi pemahaman dan pengetahuan akan pentingnya pariwisata bagi anggota masyarakat. Dengan pahamnya masyarakat desa diharapkan terjadinya minat masyarakat desa akan potensi wisata desa dan mampu menambah pemasukan desa. 


 

• Kabupaten Badung saat ini telah memiliki 11 desa wisata, termasuk Desa Petang, dan masih perlu pengembangan secara berkelanjutan, agar bisa menjadi alternatif pilihan bagi wisatawan yang berkunjung ke kabupaten Badung.

• Adapun Pengabdian Masyarakat Program Studi Administrasi Perhotelan tahun 2020 di Desa Pelaga ini meliputi :

o Identifikasi Potensi wisata di Desa Pelaga Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali.

o Pemasaran wisata Desa Pelaga Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali.

o Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata di Desa Pelaga Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali.


 

Kegiatan Pengabdian Masyarakat ini dibuka oleh Direktur Politeknik Pariwisata Bali, dihadiri wakil dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Politeknik Pariwisata Bali, dengan Narasumber : Ir. I Nyoman Sukana Sabudi, M.P., dan juga para praktisi dari perhotelan, dengan melibatkan para mahasiswa Prodi Administrasi Perhotelan Politeknik Pariwisata Bali, untuk dapat memberikan berbagai penguatan dan pengalaman dalam mengelola Desa Wisata, terkait Pemasaran Produk dan Pelayanan Usaha Jasa Hospitality, Pengolahan Food Product, dan juga materi terkait Front Office dan Housekeeping.

Berbagai pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat terkait pengelolaan desa wisata beserta permasalahan di lapangan yang dihadapi saat melayani wisatawan, seperti misalnya; peningkatan ketrampilan pengelola pondok wisata dalam hal penerimaan tamu, promosi desa wisata, mengolah makanan, menghidangkan makanan, dan cara penyusunan paket wisata yang akan dikembangkan. Pengabdian Masyarakat ini diselenggarakan di Bejalin Eco Retreat Homestay yang terletak di Banjar Auman, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, pada hari Kamis-Jum’at, 22-23 Oktober 2015. Pada hari pertama Pengabdian Masyarakat, diberikan materi berupa Higiene dan Sanitasi, Front Office dan House Keeping, baik praktek maupun teori. Pada hari kedua Pengabdian Masyarakat, diberikan materi berupa Food Product Process, dimana para peserta Pengabdian ikut praktek pengolahan makanan dan menyajikan kopi yang bertujuan untuk meningkatkan keahlian masing-masing.

 


 

Jumat, 23 Oktober 2020

PKL, Widyawisata Lokal, Orientasi Industri Prodi ADH smt 1, 19-20 Oktober 2020

 

 



Berbagai aktivitas bersama mahasiswa tidak hanya terlaksana di dalam lingkungan kampus semata. Kegiatan juga bisa dilaksanakan di luar kampus, sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Dan, setelah di awal pandemic Covid-19, bulan Maret lalu, PKL Prodi ADH bersama mahasiswa smt 5 dilaksanakan di Jogja, kali ini di Bali. Banyak perlakuan sesuai dengan situasi pandemic yang diterapkan bagi para mahasiswa, salah satunya adalah dengan meminta mereka melakukan tes rapid agar dapat memantau kondisi kesehatan, agar bisa tetap melaksanakan kegiatan dengan tenang, agar benar-benar tercapai hasil yang sesuai dengan target prodi juga lembaga.


 

Kegiatan dalam bentuk Widyawisata Lokal atau Orientasi Industri di Bali bersama mahasiswa Program Studi Administrasi Perhotelan semester 1. Sebagai orang yang bergerak dalam dunia pariwisata dan perhotelan, sebagai calon pemimpin di masa depan, mereka harus mengenal dan memahami situasi perhotelan. Hal ini menjadi kriteria dasar penentuan beragam aktivitas dan lokasi yang dipilih. Hotel dan berbagai komponen di dalamnya, ruang lingkup manajemen dan praktek yang diterapkan dalam dunia perhotelan, pondok wisata dan juga sarana serta prasana yang terkait, aktivitas yang dilakukan dalam dunia pariwisata beserta sumber daya yang menunjang perilaku wisatawan agar tercapai kepuasan, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dimana pariwisata berada, serta peningkatan kompetensi SDM perhotelan juga pariwisata pada era tatanan kebiasaan baru.


 

Widyawisata Lokal atau Orientasi Industri bagi mahasiswa smt 1 Prodi ADH Poltekpar Bali berlangsung pada tanggal 19-20 Oktober 2020, di Ubud. Terdapat 120 mahasiswa yang bergabung bersama 15 dosen. Tidak mudah mempersiapkan berbagai komponen yang ada, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi program kerja. Jauh hari sebelumnya, dibutuhkan pendekatan, diskusi, negosiasi, komunikasi tiada henti, sebelum dilakukan pengambilan keputusan. Tidak mudah pula menggabungkan berbagai harapan, keinginan, kenyataan, perbedaan, baik di lingkungan internal dosen, mahasiswa, pihak manajemen hotel, orang tua dan keluarga mahasiswa, para pemilik homestay, dan masyarakat lain.


 

Mahasiswa dan dosen melakukan aktivitas di hotel, menginap di hotel atau Homestay, guest House, Cottage, Pondok wisata yang dikelola oleh local chain atau local owner. Terkait dengan Tatanan Kebiasaan Baru, pelaksanaan kegiatan berlangsung dengan penerapan prosedur kesehatan standar. Mahasiswa dan dosen dilengkapi dengan alat perlindungan diri, berupa masker dan faceshield, hand sanitizer. Mereka juga diminta senantiasa mengenakan masker, menjaga jarak satu sama lain, menjaga kebersihan tangan dan wajah, juga diri sendiri.


 

Pada hari pertama Widyawisata Lokal atau Orientasi Industri, aktivitas yang dilakukan adalah berkunjung ke Hotel Element by Westin yang terletak di Ubud. Sambutan ramah dan penuh suasana keakraban, namun tetap sesuai protokol kesehatan yang berlaku. Kami bersama mengikuti penjelasan dan diskusi dengan pihak hotel, yang dilakukan oleh General Manager hotel, bapak Syam, dan ibu Parwati, Director of Sales and Marketing dari Hotel Element by Westin Ubud.  Kemi melakukan tour de hotel, merasakan dan menikmati langsung produk hotel, salah satunya, dengan makan siang di hotel Element by Westin Ubud. Semua ini dilakukan dengan tujuan semakin mengakrabkan mahasiswa dengan produk layanan dan jasa yang ada pada berbagai hotel, ruang lingkup hotel, dan lingkungan yang terkait dengan dunia perhotelan juga pariwisata.


 

Mahasiswa dan dosen pendamping kelas A semester 1 menempati Homestay Tebesaya (10 kamar) dan Gunung Merta (8 kamar). Terdapat 30 mahasiswa, 18 wanita dan 12 pria, dengan pembimbing dosen I Gusti Agung Gede Witarsana, S.St.Par., MM., CHE., Dr. Irene Hanna H. Sihombing, MM., Made Uttari Pitanatri, S.St.Par., M.Par., Hardina, S.Pd., M.Pd., dan Kadek Sudarsana.

Mahasiswa dan dosen pendamping kelas B semester 1 menempati Homestay Desak Putu Putera (16 kamar). Terdapat 31 mahasiswa, 19 wanita dan 12 pria, dengan pembimbing dosen Dra. Ni Desak Made Santi Diwyarthi, M.Si., Dewa Putu Hendri Pramana, S.Kom., Putu Diah Prabawati, S.St.Par., M.Par. AA Sagung Widnyandari, S.Pd.

Mahasiswa dan dosen pendamping kelas C semester 1 menempati Homestay Jati Cottage (17 kamar). Terdapat 31 mahasiswa, 22 wanita dan 9 pria , dengan pembimbing dosen luh Gede Sri Sadjuni, SE., M.Par., Ir. I Nyoman Sukana Sabudi, MP., Nyoman Gde Mas Wiartha, S.IPI., SE., M.Par., Putu Andita Dwi Pratiwi, S.St.Par.

Mahasiswa dan dosen pendamping kelas D semester 1 menempati Homestay Bakung (6 kamar) dan Honai (11 kamar). Terdapat 31 mahasiswa, 18 wanita dan 22 pria, dengan pembimbing dosen Dra. Luh Ketut Sri Sulistyawati, M.Par., Ni Nyoman Sukerti, SE., M.Si., I Wayan Jata, S.Sos., M.Fil., Ni Made Suastini, SE., MM., Nyoman Sukarma, SE.


 

Hari kedua, Selasa, 20 Oktober 2020, seluruh rombongan check out dari homestay dan melanjutkan dengan aktivitas rafting di Tukad Ayung. Mengapa rafting, karena dunia hospitality juga berkaitan erat dengan aktivitas wisatawan, maka mahasiswa mengembangkan talenta, minat, kemampuan dalam dunia pariwisata. Pemahaman yang baik dalam dunia perhotelan, ditunjang dengan pemahaman serta minat dan bakat dalam dunia pariwisata, diharapkan dapat membentuk pribadi mereka sebagai insan perhotelan yang tangguh. Dari sini akan lahir para pemimpin perhotelan di masa depan, mampu menemukenali situasi perhotelan, membuat perencanaan kegiatan, memahami resiko kerja, dan manajemen tepat pula terkait dengan kondisi yang ada, terutama pada Era Tatanan Baru, yang menuntut kita semakin cepat, semakin tepat, semakin disiplin dalam berkreativitas.