Rabu, 24 Oktober 2018

Yudisium Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali, Jumat, 19 Oktober 2018



Tidak ada hal yang membahagiakan selain doa dan usaha yang berhasil membuat kita meraih sesuatu yang diinginkan. Demikian pula mahasiswa yang berhasil mengikuti suatu tahapan ujian Skripsi, hingga kemudian dinyatakan berhak mengikuti Yudisium, sebelum akhirnya mengikuti Wisuda.



Yudisium Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali kali ini berlangsung pada Hari Jum’at, 19 Oktober 2018. Dan terbagi menjadi tiga lokasi, di Gedung Genitri B, bagi mahasiswi dan mahasiswa Program Studi Manajemen Kepariwisataan dan Program Studi Destinasi Pariwisata, Gedung Widyatula atau MICE bagi mahasiswi dan mahasiswa Program Studi Manajemen Bisnis Perjalanan dan Program Studi Manajemen Konvensi dan Perhelatan, dan Gedung Joop Ave atau Aula bagi mahasiswi dan mahasiswa Program Studi Bisnis Hospitaliti, Program Studi Administrasi Perhotelan, Program Studi Manajemen Divisi Kamar, Program Studi Manajemen Tata Boga, Program Studi Manajemen Tata Hidangan, Program Studi Manajemen Akuntansi Hospitaliti.

Tahun ini terdaftar 606 Yudisiawati dan Yudisiawan yang berasal dari berbagai Program Studi di Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. Program Studi Manajemen Kepariwisataan memiliki 27 mahasiswa. Program Studi Destinasi Pariwisata dengan 29 mahasiswa. Program Studi Manajemen Bisnis Perjalanan dengan 24 mahasiswa. Program Studi Manajemen Konvensi dan Perhelatan dengan 26 mahasiswa.  Program Studi Bisnis Hospitaliti dengan 66 mahasiswa. Program Studi Administrasi Perhotelan dengan 110 mahasiswa. Program Studi Manajemen Divisi Kamar dengan 87 mahasiswa. Program Studi Manajemen Tata Boga dengan 94 mahasiswa. Program Studi Manajemen Tata Hidangan dengan 108 mahasiswa. Program Studi Manajemen Akuntansi Hospitaliti dengan 28 mahasiswa.


Berdasar Surat Keputusan Nomer : 29/KP.006/STP/X/2018, yang dikeluarkan per tanggal 18 Oktober 2018, telah pula ditetapkan Yudisiawati dan Yudisiawan terbaik pada masing masing Program Studi. Memang, Yudisia terbaik ditetapkan berdasar Indeks Prestasi tertinggi yang diraih dan lama waktu tempuh untuk menamatkan pendidikan hingga sampai pada Yudisium kali ini. Namun, prestasi juga ditentukan oleh banyak faktor lain. Semoga kelak di dalam perjalanan hidup mereka, para Yudisiawati dan Yudisiawan ini bisa semakin bijak dan dewasa dalam bertutur kata, berpenampilan dan bersikap.

Yudisia terbaik dari Program Studi Manajemen Kepariwisataan, Ni Kadek Swandewi. dan Program Studi Destinasi Pariwisata, Baiq Iin Widya Wanting Putri. Program Studi Manajemen Bisnis Perjalanan, I Putu Bina Arta Wibawa, Komang Ary Wibayani, dan Kadek Novie Krisna Yanti. Program Studi Manajemen Konvensi dan Perhelatan, Nataline Putri. Program Studi Bisnis Hospitaliti, I Wayan Kouki. Program Studi Administrasi Perhotelan, Ni Putu Pebri Puspita Dewi. Program Studi Manajemen Divisi Kamar, Eka Novianti. Program Studi Manajemen Tata Boga, Vionisia Elsa Esterplay dan Ni Ketut Widya Rahayu. Program Studi Manajemen Tata Hidangan, Ni Kadek Lisna Candra Dewi dan Ni Kadek Trisnawati. Program Studi Manajemen Akuntansi Hospitaliti, I Made Astika Jaya.

Program Studi Manajemen Kepariwisataan meraih gelar Yudisium dengan mahasiswa yang memiliki Indeks Prestasi Tertinggi, yakni 3,81, oleh Ni Kadek Swandewi.

Berikutnya, mahasiswa yang telah dinyatakan Lulus dan berhak mengikuti Wisuda ini, berhak atas gelar Sarjana Pariwisata (S.Par.) bagi mahasiswa Strata 1. Sarjana Terapan Pariwisata (S.Tr.Par), bagi mahasiswa Diploma 4, dan Ahli madya Pariwisata (A.Md.Par) bagi mahasiswa Diploma 3.


Sabtu, 20 Oktober 2018

Satya Cipta, Sang Pelukis Cahaya



Satya Cipta, Sang Pelukis Cahaya
Wanita kelahiran tanah Lampung ini menamatkan pendidikan pada Institut Kesenian Jakarta, Jurusan Seni Teater.Selanjutnya, semenjak tahun 2006 hingga 2013 bekerja pada beberapa kelompok teater di Jakarta, juga pada beberapa sutradara, mencakup Slamet Raharjo, Sudjiwo Tejo, Jose Rizal manua, Putu Wijaya. Hal ini mematangkan kompetensinya sebagai seorang penata gerak dan tampilan artis, sebagai koreografer, dan bahkan seorang seniman,

Bila Lukisan adalah Cinta
Maka Satya menggurat nya pada kanvas dengan hasrat membara

Ketertarikannya pada bidang seni lukis mulai berkembang semenjak dia tinggal di Bali. Keahlian yang kian terasah ini terwujud pada berbagai karya lukis yang dihasilkan. Dan akhirnya memberanikan diri tampil pada berbagai pameran seni lukis.


Penampilan perdananya dalam potensi seni lukis adalah pada tahun 2017 pada pameran bertajuk “The Offering” di Gallery Monkey Forest. Tahun 2017, New Media Art Exhibition bertemakan “Déjà vu” di La Salle College of Art, Singapore. Tahun 2017, Pameran Seni Wanita bertema “Luwih Utamaning Luh” di Art Center Denpasar. 4th Indonesia’s Grand Exhibition bertema “Epicentrum”, di Manado, Sulawesi Utara. Tidak puas sampai disini, Satya Cipta bahkan menjajal kemampuannya untuk turut terlibat tampil dalam pentas Drama Musikal bergenre romantic karya Shakespeare. Berperan sebagai penyanyi sopran pemeran Cymbelline, mengandung kisah mengenai tragedy percintaan, yang disutradarai oleh Prof. Rubin dari (Essex University), dan dipentaskan di Art Center Denpasar.



Bila Lukisan adalah Cahaya
Maka Satya melebur segala resah gelisahnya tentang wanita
dan kodrat yang terkadang memaku kita dalam stigma membuta

Kali ini, kembali Satya melakukan pameran tunggal bertema “A Budding Talent”, di Museum Puri Lukisan Ubud. Dibuka oleh pada tanggal 6 Oktober 2018, rencananya pameran akan berlangsung hingga akhir Oktober 2018, dengan memamerkan 31 hasil karya seni lukisnya.
Bila Lukisan adalah  Kidung Asmara
Maka Satya membasuh wajah kita memerah semburat jingga
karena hasrat birahi tiada ternafikan lagi



Dengan mudah bisa kita temukan guratan coretan dan tarian kuas bercorak feminin di setiap karyanya. Garis kecil halus namun tajam, panjang, dengan lekuk indah, sebagian besar bertema wanita, ibu dan anak, dan pesona indah wanita. 

Pada beberapa bagian gambarnya, terlihat sketsa sederhana, dengan banyak ruang sengaja dibiarkan kosong, hanya goresan sederhana, permainan warna sederhana, hitam dan putih, namun tetap menampilkan indahnya perempuan.

Di bagian lain karya seni yang dihasilkan, terlihat guratan yang lebih penuh, berbagai bentuk penuh terdapat pada lukisan, termasuk dengan permainan warna yang lebih beragam.

Bila Lukisan adalah Satya
Maka inilah hitam putih merah biru kuning aneka warna tutur kata sang pelukis wanita tentang resahnya, tentang hidupnya, tentang asmara, tentang asa, yang mewakili wajah kita semua……
Inilah Satya Cipta, dengan keseluruhan kreativitas yang tercermin pada karya seni lukis. Tercermin bahwa emosi jiwa nya penuh letupan tiada terkira, terkadang datar, begitu sederhana, namun adakalanya begitu membias dan berpendar, seolah ingin menumpahkan seluruh hasrat gejolak di dalam diri. 

“Ya, karya saya memperlihatkan kegalauan wanita, yang terkadang begitu tertekan, karena dituntut untuk melakukan hal yang dianggap sebagai tugas wanita, dituntut untuk menerapkan laku wanita, sedangkan mungkin mereka memiliki hasrat, keinginan, kebutuhan, hak dan juga tanggungjawab yang tidak sama di setiap waktu”, ujar Satya.

Pola yang dihasilkan Satya tidak mudah dicerna penikmat seni pada umumnya. Beragam karya bisa diterjemahkan sebagai karya vulgar belaka, mendobrak kemapanan yang selama ini berlaku di tengah masyarakat, yakni, tabu berbicara seks secara terbuka. Ada bentuk perempuan bertelanjang dada, tampilan vagina bersimbol bunga dan cahaya, sosok yang sedang berciuman , tanpa mengenakan busana apa pun, dan bahkan, bersanggama. Namun, inilah wajah kita semua. Ada kalanya tampil penuh warna, wajah tertutupi topeng-topeng kemunafikan. Namun karya Satya berbicara jujur, tentang wanita, tentang sifat asli manusia bila hadir polos apa adanya, tentang perilaku hakiki manusia yang menghadirkan kita semua, tentang proses hadirnya sebuah karya, tentang persepsi penikmat seni, tentang letupan emosi, gejolak hasrat birahi, kesedihan, kemarahan, ledakan jiwa, proses yang akan selalu bergulir, hingga akhir masa.


Karya Satya mewakili sosok sebagian wanita, mewakili era nya, bahwa ada lompatan jauh dari sesuatu yang dahulu dianggap tabu untuk dibicarakan namun kini tidak. Karya Satya merupakan karya pelukis cahaya, melesat jauh ke muka, menyesak di dada bagi yang tidak siap memberi makna, dan mewakili gundahnya wanita.

Teruslah melukis, Satya. Hasilkan banyak karya dengan gaya, dengan irama nada, dengan alunan lentik jemarimu, dengan tinta Cina, dengan banyak warna, dengan manja, dengan cinta, dengan cita, dan, dengan cahaya….. 

Kacak matei mandi ghah, jak ughik keno jajah
Tidak mau hidup berada di bawah belenggu
Satya adalah keindahan wanita
Menyapa dunia dengan guratan karya jemari lentiknya,
Berbicara tentang cinta, harapan, segala resah yang membuncah,
“Dunia berawal dari wanita, sosok ibu, berjalan dengan ibu, dan berakhir pada ibu.
Bila ibu terjaga baik, dihormati, dicintai, maka dunia juga akan damai”.
Tuturnya suatu ketika.

Satya mewakili kegundahan wanita
Tentang segara rasa yang ada, hadir menyapa, menggoda,
berbicara tidak hanya berupa kata.
Tentang lukisan yang berbisik, berbicara, berteriak, berdesah,
bergeletar, bergejolak membara, berdecap nikmat, bercanda,
berjalan dalam garis kehidupan yang tertuang pada banyak wanita
“Akulah cermin jiwa sang wanita”. Ujarnya penuh makna

Satya adalah wanita berprinsip teguh kukuh ….
Tidak berhenti pada kata tidak, tidak berlalu pada kata cukupkan dahulu hingga disitu.
“Karya saya mendobrak pakem yang ada. Meski dianggap tercela adanya, namun inilah dunia kita semua. Mau tidak mau, suka ataupun tidak, bagian yang tidak diakui ini tumbuh berkembang bersama kita semua”, Tutur Satya perlahan.

Satya si Wanita Era Milenial…..
Sejarah perjalanan hidupnya berbalur pengalaman, pendidikan,
pekerjaan, pergaulan beragam yang menggambarkan kedewasaan wanita.
Rangkaian karya nya bertutur indah, tentang metamorfosa yang tercipta,
tentang mutiara yang terasah.

Satya si Pelukis Wanita…..
Pejamkan bilah kelopak matamu, bayangkan terlintas karya Satya…….
bila rasa hadir menggoda, bila hati jujur bicara,
bila resah bisa terbaca, maka, karya Satya bertutur tentang kita
Tentang semburat galau, tentang nuansa jiwa, tentang asa, cinta,
kerinduan, pengorbanan, perjuangan, kebahagiaan, dan ceritera kita bersama
Satya adalah Mata Hati kita.



Bila Lukisan adalah Cinta
Maka Satya menggurat nya pada kanvas dengan hasrat membara

Bila Lukisan adalah Cahaya
Maka Satya melebur segala resah gelisahnya tentang wanita
dan kodrat yang terkadang memaku kita dalam stigma membuta

Bila Lukisan adalah  Kidung Asmara
Maka Satya membasuh wajah kita memerah semburat jingga
karena hasrat birahi tiada ternafikan lagi

Bila Lukisan adalah Satya
Maka inilah hitam putih merah biru kuning aneka warna tutur kata sang pelukis wanita tentang resahnya, tentang hidupnya, tentang asmara, tentang asa, yang mewakili wajah kita semua……

I Ketut Budiana, Ida Bagus Putu Sena, "Whirling & Tattwa", dan Dunia Kita Bersama





Kamis 6 September 2018, Pameran bertajuk “Whirling” dan “Muter Tattwa” di buka oleh Wakil Gubernur Bali di Museum Puri Lukisan, Ubud. Dua maestro seni lukis Bali, I Ketut Budiana dengan topik “Whirling”, dan Ida Bagus Putu Sena dengan topik “Muter Tattwa”.


I Ketut Budiana kelahiran Padangtegal, Ubud, tahun 1950. Sungguh tidak mudah memahami hasil karya beliau yang menampilkan sosok tidak umum, di luar daya nalar, berbeda dari yang lainnya. Figur yang terkesan imajinatif, bernuansa magis dan mistik, menakutkan, dan dengan ikon spiritualistis Bali yang kental, sering membuat kita mengernyitkan dahi dalam mencerna hasil karya beliau.

“Perlahan saja, jangan terburu dalam upaya memahami atau mencerna setiap hasil karya seseorang”, Ujar beliau. “Tidak baik jika menelan mentah atau menerima begitu saja apa yang tersaji di hadapan kita”. Tambah seniman I Ketut Budiana. 


Memang benar. Aku jadi teringat dengan pepatah, “Never judge a book by its cover”. Terkadang, kita dengan begitu mudah nya menghakimi dan memiliki persepsi terhadap orang lain, baik penampilannya, hasil karyanya, dan setiap perkataan orang lain. Padahal, belum tentu yang tersirat dan tersurat benar adanya.


Ida Bagus Putu Sena merupakan seniman lukis kelahiran banjar Tebesaya Ubud. Karyanya sarat dengan makna kehidupan budaya masyarakat Hindu sehari-hari di Bali. Beliau mengakui bahwa setiap karya lukisnya berawal dan berpijak dari akar budaya yang mencakup tradisi, religi, ajaran leluhur, tatwa. Konsistensi sikapnya yang memadukan karakter pewayangan dengan nuansa kekinian menjelaskan bahwa budaya tetap bisa beradaptasi dengan situasi kekinian, tidak akan pernah lapuk digerus jaman. Tokoh – tokoh wayang tetap relevan untuk dijadikan teladan, panutan, contoh di jaman sekarang. Hal ini sudah seharusnya didukung oleh masyarakat  dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang telah diwariskan leluhur tersebut agar sesuai dengan situasi yang ada sekarang.

Tattwa, Susila, Etika. Ya, ketiga ajaran warisan leluhur ini sungguh kuat tersirat dalam guratan yang dihasilkan Ida Bagus Putu Sena. Seolah mengingatkan setiap penikmat karya seni lukis nya untuk tiada pernah henti berpijak dari ketiga hal ini, agar senantiasa harmoni tercipta lahir dan batin dalam perjalanan kehidupan di dunia. Seolah ingin menekankan kembali, Ida Bagus Putu Sena menjelaskan bahwa prestasi tidak dapat tercapai tanpa dukungan dari dalam diri sendiri dan dukungan dari berbagai pihak yang terlibat, baik keluarga, sahabat, dan masyarakat luas.


Daniel Jusuf, kolektor lukisan, juga mengakui, pola seniman lukis ini sungguh unik, dan harus didalami secara bersungguh, karena lain dari biasanya, dan penuh makna dengan berbagai guratan yang hadir di atas kanvas tersebut. 

Hal ini memperlihatkan bahwa seniman ini, baik Ida Bagus Putu Sena, maupun I Ketut Budiana, merupakan sosok seniman langka yang telah tiba pada kesujatian diri sendiri, dan menemukan pola dalam berkarya secara mandiri, namun tidak terlepas dari pakem religi yang ada pada masyarakat Hindu.


Memahami sosok I Ketut Budiana dan hasil karyanya membutuhkan upaya memahami dengan bersungguh, pengendalian diri yang matang, bebas dari unsur syak wasangka, praduga negatif, akan membuat kita bisa memahami bahwa kita bisa mencapai tahap pemahaman secara utuh suatu karya seni. Seniman yang sudah terbebaskan dari berbagai macam kepentingan akan semakin bebas berkarya, mewujudkan ide dan imajinasi. Hal ini yang akan menghantar seorang seniman memiliki taksu, kesujatian diri, energi dan spirit yang tidak hanya berasal dari luar, namun dari dalam diri sendiri. Istilah kerennya, tidak hanya sekedar ikut-ikutan pola yang berasal dari luar, bukan follower, namun menjadi trendsetter, menjadi trademark, menjadi diri sendiri.


Beragam pameran seni lukis yang pernah diikuti, berawal dari pameran di Museum Puri Lukisan di Ubud tahun 1973, 1976, dan 1988. Pameran di Jakarta, tahun 1974, pameran di Taman Ismail Marzuki di Jakarta, tahun 1975 dan 1977.  Pameran di Sydney Australia tahun 1977.  Pameran di Tropen Museum, Belanda, tahun 1979 dan 1986. Pameran di Taman Budaya Denpasar, tahun 1979 dan 1991. Balinese Art Festival, Tokyo Jepang, 1985, The Festival of Indonesia (Amerika Serikat, 1990 dan 1992.  Pameran di Rudana Gallery, Peliatan Ubud, tahun 1991. The World President Organization di Washington DC, AS, tahun 1992, Singapore Art Museum di Singapura, tahun 1994, Museum Nasional Jakarta, tahun 1995. Proyek Ogoh – Ogoh di Seattle, Amerika Serikat, tahun 1995.  Proyek Ogoh – ogoh di Barcelona, Spanyol, tahun 1998. Indonesia – Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo di Jepang, tahun 1997. Pameran tunggal di Tokyo Station Gallery, Jepang tahun 2003. Pameran tunggal bertajuk Cosmos, di Bentara Budaya, tahun 2014. Pameran di Balinese Art Festival di Tokyo, tahun 2015.


Beberapa karyanya tersebar di seantero dunia, baik di Belanda (Tropen Museum), Jerman (Museum of Ethnology di Berlin), Jepang (Fukuoka Art Museum), di Indonesia sendiri,  Museum Puri Lukisan (Ubud), Agung Rai Museum of Art (Ubud), Museum Neka (Ubud) dan Rudana Museum (Ubud).
Sejarah perkembangan seni lukis Ubud sedikit banyak juga mempengaruhi buah tangan hasil karya beliau. Termasuk para seniman yang tergabung pada kelompok Pita Maha seperti Ida Bagus Made Kobot, Sobrat dan Turas, yang kemudian membawanya pada komposisi hasil karya gabungan dari modern dan tradisional, aliran Barat dan Timur, teknik dan pola guratan seni lukis tradisional Bali.
Pengalaman sebagai seorang guru di pemimpin Yayasan Ratna Wartha, penulis buku autobiografi dalam tiga bahasa (Jepang, Inggris dan Indonesia), juga peraih beberapa penghargaan baik nasional dan internasional, membuat kredibilitas beliau tidak diragukan lagi.


Seorang guru, tenaga pendidik, seniman lukisan, seorang abdi sangging yang merupakan ahli undagi yang digariskan semenjak leluhur, membuat proses pengalaman dan pendidikan menempa beliau menjadi seorang maestro yang tidak terbantahkan. Sangging adalah ahli dalam membuat artefak terkait ritual budaya Bali, seperti Barong, Rangda, Bade, Pura. Hal ini membutuhkan laku spiritual khusus dengan tapa brata, tirta yatra, dan senantiasa menempa keahlian agar semakin berkompeten. Banyak para murid beliau yang berasal dari berbagai penjuru Bali, bahkan nusantara, yang kagum dan hormat, dan mengembangkan kemampuan berkat didikan dan tempaan beliau. Salah satunya adalah Satya Cipta.

Beristrikan seorang perempuan cantik, Ni Made Erni, dan memiliki empat putra serta putri yang cantik dan tampan, beliau menjelaskan bahwa keluarga adalah kekuatan terbesar yang dimiliki dalam menghasilkan sebuah karya. Hal ini menjelaskan dukungan penuh keluarga bagi beliau dalam berkreasi dan menghasilkan berbagai karya spektakuler. 


Namun banyak orang beranggapan bahwa sungguh tidak mudah memahami hasil karya beliau. Beragam sosok yang terkesan menakutkan, dengan bentuk yang tidak jelas, jauh dari bentuk indah, cantik dan tampan, sering I Ketut Budiana menampilkan sosok angker, kejam, bentuk yang menakutkan, mahluk tanpa kepala, tidak jelas. Bagi pelukis ini, hasil karya seorang seniman sesungguhnya merupakan narasi panjang yang harus dipahami secara mendalam, bukan sesuatu yang ditelan mentah atau diterima begitu saja. Ini yang beliau sampaikan dengan ungkapan bahwa akan selalu ada dua sisi di dunia di dalam kehidupan ini. Rwa Bhinedda, Yin dan Yang, baik dan buruk, benar dan salah, hitam dan putih, besar dan kecil. Sesuatu yang benar bagi kita, belum tentu demikian halnya di mata orang lain. Sesuatu yang bagi kita indah, belum tentu dianggap sempurna oleh pihak lain.

Terlahir tahun 1950 di Padangtegal Ubud, garis seniman turun semenjak Kakek, I Made Kari yang Ahli Undagi. Berasal dari keluarga seniman dengan ketrampilan membuat topeng, pelukis, pemahat, pengukir, pematung, pembuat bade dan lembu yang dipergunakan sebagai sarana ngaben bagi umat Hindu, termasuk ogoh-ogoh, bahkan pura. Sempat pula belajar dari pelukis Belanda, Rudolf Bonnet, beliau akhirnya memutuskan kembali ke jati diri, menemukan identitas diri dan melahirkan gaya lukisan sendiri. Setamat pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia, mengajar di berbagai sekolah, memimpin Yayasan Ratna Wartha di Ubud, menggambarkan bahwa seni juga bisa di dalami baik secara formil maupun informal. Hal ini memperlihatkan pengolahan matang proses pendidikan yang telah beliau lalui.