Sabtu, 11 Juli 2009

Tirta Yatra

Jum'at, 10 Juli 2009.
Subuh pukul 4 pagi, bangun dan memulai persiapan bekal keberangkatan menjalani Tirta Yatra. Kumasukkan nasi ke dalam lapis rantang plastik yg baru kubeli. Dua lapis lainnya kuisi dengan tahu goreng kecap dan ayam bumbu bali, agar saat lapar mendera, aku bisa berikan hidangan bagi keluarga selama diperjalanan nanti.
Pukul enam pagi, aku beserta keluarga tiba diantar mobil pickup carteran di lapangan Lumintang. Kulihat dua bis sudah menunggu. Ada Pak Dewa Sujatha, pemimpin rombongan keluarga besar STP yang akan berangkat ke Jawa, ada Pak Tuwi beserta keluarga, ada ibu Riyani beserta suaminya, ada Ibu Citra dan keluarganya, lengkap dengan bantal kesayangan anak anak. Ada Ibu Dayu Kalpikawati heboh dengan persiapan keberangkatan bersama anak-anaknya. Ada Ibu Nova yang berusaha menenangkan anaknya dengan tangisan tidak rela ditinggal ibunya walau cuma sehari berpisah. Akh... selalu indah jika berjuang bagi kebahagiaan keluarga...

Pukul tujuh, tiga bis dengan muatan berjumlah 150 an pegawai Sekolah Tinggi Pariwisata beserta anggota keluarga mereka bergerak perlahan. Pemberhentian pertama kami adalah Pura Rambut Siwi, memohon keselamatan dengan doa pada Tuhan untuk mengawali dan menemani kami selama menempuh perjalanan ini.

Dari Iwan Fals, ST 12, Mansyur S., Dek Ulik, hingga Wayang Cenk Blonk menemani kami selama perjalanan. Itu pun tersendat dengan kondisi kaset yang sudah tidak prima lagi. Ditingkahi dengan riuh rendah suara anak anak yang bernyanyi, berceritera, merengek dengan berbagai permintaan, orangtua yang membujuk anak, koordinator perjalanan yang terus menerus memberikan pengarahan agar rombongan mau mematuhi arahan yg diberikan...... Hem... inilah seni keberangkatan bersama banyak orang. Menekan ego masing-masing, mengutamakan kepentingan banyak orang, menerima kesalahan dan kekurangan diri sendiri juga orang lain.

Penyebrangan Gilimanuk - Ketapang, tidak kami alami persoalan berarti. Anak-anak sangat menikmati kebersamaan mereka, mengamati nakhoda kapal menjalankan ferry ini, hilir mudik naik turun lantai kapal,dan aroma laut.

Pukul 12.30, kami tiba di Pura Blambangan. Pejati kuhaturkan, dan mulai bersujud di penghujung telapak kaki Beliau. Harum aroma dupa menyentuh hidung, desau angin semilir tak lagi kuhiraukan. Hmmmm... Tuhan, walau berat, kuhantar keluargaku mengenal kebesaran nama Mu. Tidak akan pernah ada tanding harga bahkan nilai, jika harus kulakukan segala upaya demi ini. Satu jam, terasa sangat kurang waktu yang tersedia. Namun harus kuterima demi kebersamaan seratus lima puluh orang ini. Masih terngiang alunan kidung suci Ibu Riyani menyentuh kalbu, masih berdenting genta sang pemangku di telinga tatkala bis mulai menyeruak sesak jalanan menuju arah berikut, Lumajang I'm coming....

Pukul 9 malam. Tiba di Pura Luhur Semeru Agung Lumajang. Menikmati rehat sejenak, membersihkan diri, makan malam singkat dengan semangkok kecil soto ayam. Kujunjung pejati, kutuntun si kecil melangkahkan kaki ke Pura. Indahnya kedamaian melakukan semadi dalam rengkuhan Tuhan, di rumah Beliau, tertunduk malu mengingat kesalahan dan kealpaan ku selama ini. Mampukah aku jadi lebih baik dan semakin baik lagi? Bahkan, saat narsis mendera sehabis sembahyang, kupaksa suami dan anak-anak berfoto ria, demi alasan bisa memiliki foto-foto indah yg dapat dipajang dan dipamerkan pada teman-temannya dan keluarga besar....

Pukul 12 malam... Rombongan kami kembali bergerak, beringsut perlahan, kali ini menuju Probolinggo. Tiba pukul 3 pagi hari waktu Probolinggo, kami berhenti di Restoran Tongas Asri. Anak - anak mulai berlarian, dan merengek dengan berbagai permintaan, dari sarung tangan bermotif spiderman, Sarung kepala ala ninja, hingga membuka bekal dan berbagai tuntutan lainnya. Akh... Bahkan pergantian kendaraan ke mobil Isuzu dengan kapasitas cuma 15 orang ini untuk menuju puncak Penanjakan membutuhkan perjuangan tersendiri.

Dua jam perjalanan menuju puncak Penanjakan untuk menikmati matahari terbit juga membutuhkan usaha tersendiri. Medan yang terjal, lebih terjal dibanding jalan Denpasar - Asah Badung, dilakukan pada pagi hari buta, membuat hati ini sedikit waswas. Anak-anak yang masih dalam kondisi mengantuk, mobil yang sudah tua, bangku kayu yang kududuki patah sehingga duduk ini tak nyaman terasa, medan dengan seribu kelokan.... Tuhan... beratnya perjalanan ini menuju jantung hati Mu, bantulah kami semakin menghargai dan menghormati keberadan Mu...
Sunset kami nikmati, kukeluarkan roti tawar besar dan susu cair terbungkus plastik kecil (sachetan) dan menawarkan pada banyak teman, walau kutahu takkan cukup bagi mereka semua. Bahkan saat anakku merengek minta makanan jenis lainnya yang tak kumiliki. Ah... satu bentuk perjuangan lainnya lagi...

Pukul enam pagi, tiba di Pura Poten, ini kah suku Tengger dan kebudayaan mereka? Kebanggaan mereka? Kehidupan mereka? Tak sanggup kusamai perjuangan mereka, rasa sombong yg sering menggugah diri, tidak lah ada artinya dibanding mereka ini. Seribu kali penjelmaan kembali, rasanya tak kan mampu menyamai jejak kaki mereka dalam memuliakan Tuhan.

Indahnya semilir angin dingin 18 derajat Celcius, deru debu kaki kepundan Bromo ditingkahi derap kuda berlari, matahari yang mengintip manja, penjaja bunga kering yang coba merayu... semua temani iring langkah kaki terayun ke hadapan Pura Poten.
Pemangku mulai mengurai doa, wangi bunga dan dupa yang terangkat ke udara menghantar kami memuja Tuhan. Inikah rahasia yang Kau tawarkan? Kebahagiaan dan kepuasan batin, yang sesungguhnya ada dalam diri, sementara kami mengejar kepuasan materi semu...
Tiada jalinan kata terucap, semua terpekur dalam diam. Bahkan anak - anak dalam pangkuan orangtua pun tertunduk. Mengantuk kah mereka? Atau, berpasrah dalam doa masing masing? Apakah yang mereka panjatkan? Tak terasa mengalir air mata perlahan...

Pukul tiga sore, kami kembali bergerak menuju Tongas..
selamat tinggal Bromo, selamat tinggal masyarakat Tengger, selamat tinggal Pura Poten... Sebagian hatiku tertanam di sana, pada sapaan ramah sang Mangku, pada kebesaran Beliau yang tertata di alam negeri atas langit (karena kulihat awan di bawah kami, karena entah kapan bisa kugapai lagi, kembali merengkuh keberadaan di sini...

Pukul lima sore... iringan bis mulai menata diri di jalanan Probolinggo menuju Banyuwangi. Ladang tembakau terhampar di sepanjang jalan raya Besuki, ditingkahi perkebunan jagung, hamparan tanaman tebu, semua ini memberikan gambaran kehidupan masyarakat di pedesaan pulau Jawa. Bahkan perbukitan dengan pemandangan lahan kritis sepanjang perjalanan menuju Situbondo dan kondisi perumahan yang sempat terekam dalam ingatan telah menunjukkan rendahnya level perekonomian masyarakat.. Ah.. semoga mereka berhasil melalui ini semua dengan sebaik mungkin..

Pukul dua belas malam waktu Denpasar. Akhirnya kami tiba di sini...
Bis berhenti di depan terminal Ubung,
kami disambut rinai hujan yang jatuh satu satu.
Tuhanku...
Takkan lelah ku ajak dan ku hantar keluarga ku
melangkah ke hadapan Mu, menghampiri Mu, walau dengan segala lelah ini,
walau dengan segala heboh ini... dengan penuh keyakinan, bahwa
mereka akan tetap baik-baik saja, sejauh tetap berada dalam jalan Mu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar