Minggu, 18 November 2012

Belajar dari si Om Maslow

Abraham Maslow bilang....

seseorang termotivasi oleh beberapa kebutuhan dalam beraktivitas sehari-harinya. Kebutuhan paling mendasar yang ada pada diri kita adalah kebutuhan fisiologis, yakni kebutuhan akan sandang, pangan, papan. Bila kebutuhan ini terpenuhi, maka seseorang akan termotivasi untuk mengejar kebutuhan level berikutnya, yakni kebutuhan akan rasa aman, meliputi keamanan secara fisik maupun psikis, keamanan dalam bidang ekonomi atau finansial. Berikutnya, kebutuhan akan sosial, bermasyarakat, meliputi diterima dalam sebuah lingkungan masyarakat, bergaul dan diperlakukan sama dengan yang lainnya. Lalu selanjutnya, kebutuhan akan prestige atau gengsi atau harga diri, dihargai, diapresiasi, diakui kontribusinya bagi orang lain. Dan terakhir, kebutuhan akan aktualisasi diri, ingin menjadi seperti apa yang diinginkan, tentunya tanpa mengabaikan norma-norma yang ada, tidak bertentangan dengan hukum.



Teori Hierarchy of Needs dari si om Abraham Maslow, termasuk salah satu grand theori ttg motivasi. Teori ini sendiri dikritik oleh banyak pihak lain, karena mengatakan, org hanya akan termotivasi untuk mengejar pemenuhan kebutuhan lain di atasnya, bila kebutuhan di bag. bawah sudah terpenuhi, misalnya, selama kita masih berpikir ttg urusan perut, spt lapar, seks, kita gak bakal bisa termotivasi untuk mengejar prestasi kerja.Karena bisa saja, pada suatu saat, saya mengutamakan kebutuhan lain di atasnya, dan melakukan pending atau penundaan mengejar kepentingan di bag. bawah, misalnya, saya mengutamakan persahabatan dan tidak memikirkan tentang rasa lapar atau rasa aman dalam diri. Contoh lain, saya mengutamakan gengsi / harga diri dan mengabaikan hidup bersosialisasi / bermasyarakat

Menurut Maslow, hanya org2 pilihan dan tidak semua org yg bisa mencapai tingkat mengaktualisasikan diri tanpa mengabaikan peraturan dan melanggar norma2 yang ada, seperti norma hukum, norma agama, budaya, adat istiadat, norma masyarakat yang berlaku, kagak termasuk Nourma Yunita si penyanyi legendaris, hehehe

Contohnya, org lebih mengutamakan gengsi dg punya perangkat IT terbaru, gadget, villa, yacht, mobil keren, wlo gak mampu bayar pulsa, gak bisa beli bensinnya, gak mampu nyicil.... masih berkutat seputran urusan penampilan, harus ke spa, manicure, pedicure, berusaha keras menumbuhkan rambut kepala, nyemir rambut item, meski udah aseli uban dimana2....

bahkan, hal ini di lakukan oleh para pemimpin, pemuka agama, tokoh spiritual, para artis, yg seharusnya menjadi teladan masyarakat lain..... Maka, salah kaprah ini berlanjut terus dan menerus, menjadi sebuah kesalahan global yang pada akhirnya dibenarkan demi alasan hukum dan masyarakat, menjadi norma yang diakui benar....

Ini menunjukkan, bahwa apa yang dahulu salah, bisa dibenarkan kini, dan, apa yang dahulu benar, bisa saja kini dipersalahkan atau gak diakui lagi.....

Sabtu, 17 November 2012

Pelebon Dewa Ajik Nyoman Pagi & Dewa Kakiyang Nyoman Gereh ring Bongancina



Setelah bertahun dilanda penyakit hepatitis, akhirnya pamanku meninggal dua minggu lalu di rumahnya. Dewa Nyoman Sudirga, atau lebih dikenal dengan nama panggilan Dewa Nyoman Pagi. Mayatnya telah dikubur di Bongancina, Singaraja. Tak lama kemudian, kakekku juga. Dewa Nyoman Gereh, yang meninggal karena penyakit seska nafasnya, di RS Puri Raharja, minggu lalu.

Setelah urun rembug yang berlangsung di keluarga besar, disepakati upacara ngaben akan berlangsung Wrespati Pon Uye, 15 November 2012, di Bongancina, Kab. Buleleng. Jenasah Dewa Kakiyang yang meninggal di Denpasar untuk sementara diinapkan di RS Sanglah, dan baru akan dibawa pulang tanggal 12 November 2012.

Sekian hari disibukkan urusan anak sakit, dan simbok yang terkapar sakit, aku tidak berani meninggalkan rumah untuk berkunjung ke Bongancina. Kuputuskan baru akan berangkat ke Bongancina hari Kamis, 15 November 2012.

Pagi hari, tuntas dengan cucian 2 ember, memasak demi keluargaku, anak-anak berangkat ke sekolah masing-masing, memberi obat dan makan bagi simbok yang sedang terkapar sakit, aku berpamitan pada suami. Aku berangkat dengan mengendarai motor, melintasi jalan raya Denpasar Gilimanuk. Tiba di Desa Suraberata, aku berbelok ke kanan, memasuki daerah Kedatuan, Kawista, Belatungan, dan menuju Bongancina. 






Dua jam mengendarai motor semenjak dari Denpasar, mampir di warung Jero, di dekat rumah Kakekku, kubeli satu karung beras seharga Rp 200.000, lalu kubawa untuk kuberikan pada keluarga sang kakek. Lalu aku berganti pakaian, mengenakan kain, dan bergabung dengan rombongan yang mulai bergerak berjalan menuju setra / kuburan desa.

Wadah layon yang diusung oleh anggota banjar, dan juga bade lembu yang diarak bergerak perlahan, diiringi oleh sekeha gong baleganjur. Kami bergerak perlahan mengiringi dari belakang. Setibanya di kuburan, para tukang banten dan pemangku mempersiapkan beragam upakara dan upacara banten pelebon.




Anggota keluarga yang membawa berbagai lambang dan simbol upakara pelebon mendekat, Wajah-wajah sedih yang terbayang, mulai dari anak dan istri, para cucu dan kerabat, yang tersebar di seantero nusantara, mulai Jakarta, Kalimantan, Jawa, di desa Bongancina sendiri, dari Denpasar, Batuaji Tabanan, Klungkung ..... duh, terbayang bapakku saat pelaksanaan Pelebon di Batuaji, Kerambitan Tabanan, tahun lalu.




Kulihat Om Dewa Ketut Anggrawan. Beliau adalah adik dari Om Dewa Ajik Nyoman Pagi yang ikut di aben hari ini. Berdua, mereka pernah berada di Pontianak. Tinggal bersama kami di perumahan, asrama tentara di daerah Sungai Raya. Menghantar dan menjemput kami ke dan dari sekolah. Belasan km. Ya, aku adalah empat bersaudara yang pernah mereka rawat sawaktu SD dahulu.



Kulihat pula, Dewa Ajik Chiko di antara para saudara yang berada di setra desa Bongancina. Beliau belum berkeluarga, namun terlibat aktif dalam beragam aktivitas keluarga besar, juga kehidupan bermasyarakat di desa tersebut. Hmmm, sungguh, sebuah bentuk ke arah kebijaksanaan dalam memimpin keluarga di masa depan kelak.












Jenasah Dewa Kakiyang Nyoman Gereh dan Dewa Ajik Nyoman Pagi diturunkan dari Bade, dan dimasukkan ke dalam patung sapi, sebagai simbol kendaraan yang akan menghantar menggapai Hyang Widhi Wasa, dan bersatu dengan Beliau. Lalu kemudian api pembakaran dinyalakan, perlahan menghanguskan patung dan seisinya.




Di antara para pengunjung yang terlihat di sekeliling setra desa tersebut, ada pula anggota keluarga besar Batuaji, yaitu Dewa Ajik Nyoman Krisna, yang khusus datang dari Jakarta. Dahulu kala, di saat mereka masih kanak-kanak, persaudaraan kental tercipta antara Bapak kandungku tercinta, Dewa Ajik Made Tjeteg, Dewa Ajik Nyoman Gereh, dan Dewa Ajik Nyoman Krisna. 

Mereka bertiga akhirnya merantau keluar daerah. Bapak kandungku, Dewa Ajik Made Tjeteg, melanjutkan pendidikan Sekolah Asisten Apoteker di Jogjakarta, lalu memilih ditempatkan di Rumah Sakit Angkatan Darat di Pontianak, Kalimantan Barat. Dewa Ajik Nyoman Gereh, merantau ke Kalimantan Tengah, dan Dewa Ajik Nyoman Krisna ke Jakarta. Sekarang yang masih tertinggal adalah Dewa Ajik Nyoman Krisna.





Terlihat pula, Dewa Ketut Suryantara, saudara sepupuku, yang kini bertugas di Jakarta.










Ada pula, Dewa Made Dwipayana bersama Dewa Gede Muliawan, di antara para keluarga besar, yang hadir di setra desa Bongancina saat itu.







Kulihat Desak Nyoman Suryani, saudara sepupuku nan cantik, yang belum menikah. Berdiri di dekat Dewa Aji Gede, yang khusus datang dari Sumbawa, untuk kelangsungan upacara Pelebon ini.





Dewa Aji Mangku, bersama Dewa Aji Siwa, kehadiran beliau-beliau yang kompak ini, membantu menuntaskan pelaksanaan upacara Pelebon bagi anggota keluarga besar, yang tersebar di seantero Bali









Satu setengah jam api menyala dari tabung pembakaran, sebelum akhirnya semua tuntas terbakar. Dan, tepat di saat2 tuntas, hujan turun dengan deras. Namun upacara tetap berlangsung, memilih dan memilah sisa tulang, meringkas, dan kembali mempersiapkan prosesi berikut, nganyut ke campuhan sungai Bongancina.



Mengajarkan anak-anak mengenai budaya sendiri, adat istiadat, ritual dan prosesi, banten dan makna yang ada di balik setiap gelaran upacara dan upakara, menghargai warisan leluhur dan nenek moyang mereka. Hal ini akan memperkuat kepribadian mereka sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan dan rintangan kehidupan. Membentuk menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan dewasa, juga bijak dalam menghadapi beragam situasi dan kondisi hidup....

Meski hujan, anak-anak ini tetap bertahan melihat dan menyaksikan upacara Pelebon sang kakek dan paman terkasih mereka.... Tetap dengan segala keceriaan anak-anak yang terpampang di wajah dan perilaku mereka.








Meski hujan deras turun melanda, membasahi tempat dimana rangkaian upacara Pelebon sedang berlangsung, namun sebagai bentuk bhakti anak dan menantu, juga sanak saudara, tetap bertahan dan terlibat dalam rangkaian peristiwa. Penampilan bukan lagi suatu hal ekslusif yang harus terjaga dan tertata rapi serta anggun......




Pasangan suami istri yang berbasah-basahan menuntaskan upacara Pelebon, sebagai bukti bhakti anak dan menantu. Pamanku, Dewa Ajik Made Dhyana Putra, beserta istri tercinta.




Ida Ratu Peranda dari Wana Sari, yang membantu memuput upacara Pelebon, sehingga tuntas rangkaian yang harus dilewati sang atman dan juga para keturunan beliau....











Kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan dengan kendaraan, membawa rangkaian serpihan sisa tulang jenasah yang akan dihanyutkan di campuhan aliran sungai desa Bongancina, sebelum kembali ke rumah induk, dimana semua rangkaian dituntaskan.

Mangku mengawali dengan proses pencaruan, pembersihan area rumah, dan para anggota keluarga melantunkan kidung suci puja dan puji bagi sang atman yang ditempatkan dalam sebuah daksina. "Nyampat, nyampat, meceniga sumping keladi, sane nyampat putran dewa, sane me banten putran dedari, apang enggal i dewa numadi....." 

Duh, lantunan kidung yang membuat astralku memintas ruang batas tepian waktu..... ini yang kunyanyikan tatkala upacara Pelebon bapakku tahun lalu di Batuaji. Rinduku pada Hyang Maha Guru. para bethare, leluhur, Tuhan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.....



Penglingsir Pasemetonan "Ksatria" Batuaji, Dewa Aji Gede Susatya, ikut datang menghadiri Pelebon ini.....








Jumat, 16 November 2012

Pawiwahan Ngah Nik di Nyalian, Klungkung, & Ngaben Ibu Sariati di Tangkup, Karangasem

Jum'at, 9 November 2012. Pagi ini aku berencana untuk mengumpulkan laporan hasil penelitian yang telah selesai dikerjakan. Sebagai salah satu lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali juga berlandaskan pada tiga pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi, dimana salah satunya adalah kewajiban seorang tenaga pengajar mengadakan penelitian.

Dan, penelitian individu yang kuambil kali ini berjudul Keterlibatan Masyarakat dalam Usaha Jasa Wisata Tirta di Kelurahan Benoa. Maka, setelah menuntaskan cucian di kamar mandi, menjemurnya, menyiapkan bekal makan siang anak2ku tercinta, aku bergerak melaju ke Nusa Dua. Tiba di kantor, menyerahkan laporan pada para rekan yang akan menindaklanjuti. Berikutnya, aku bersiap untuk berangkat kembali menuju Klungkung.


Klungkung?? Hmmm, yap. Ponakanku menikah hari ini. Suami dan para ipar bersama keluarga sudah berkumpul di sana, Dusun Kapit, Desa Nyalian, Kec. Banjarangkan, Kab. Klungkung. Biasa kami memanggilnya dengan nama panggilan, Ngah Nik. Dia menikah dengan gadis yang berasal dari Bakas.


Dusun Kapit ini adalah tempat asal mula mertuaku dilahirkan, maka sepantasnya kami memanggil dusun ini sebagai kampung halaman pula. Meski mertua telah merantau ke Buleleng, kami tetap melaksanakan aktivitas yang terkait dengan banyak rangkaian upacara di lingkungan keluarga disini. Terdapat sanggah dadia, atau tempat bersembahyang bagi umat Hindu bagi keluarga besar kami, dengan hari peringatannya (Odalan) jatuh pada anggara kasih julungwangi, dimana sebagian keluarga besar dari berbagai daerah berkumpul untuk mempersiapkan perangkat upacara, banten, dan bersembahyang bersama.





Aku tiba dengan mengendarai motor, pada pukul 10.30 pagi, ku parkir motorku di pinggir jalan di samping rumah tua milik keluarga besar ini. Kumasuki halaman rumah, dan kusapa seluruh anggota keluarga yang ada disana. Ada para ponakan, ada para ipar, dan para undangan yang hadir.



Rombongan sedang bersiap untuk berangkat ke desa Bakas, masih dalam satu kecamatan, yaitu Banjarangkan. Beberapa mobil disiapkan. Sementara banyak anggota keluarga sedang memilih dan memilah, akan duduk didalam mobil yang mana, aku dengan santai langsung melompat naik ke sebuah mobil pick up, lalu langsung duduk di lantai mobil tersebut.



Hmmm, enjoy saja, menikmati semilir angin yang menerpa wajah sepanjang jalan. Di belakang mobil pick up tersebut juga duduk suami dan para ipar lain.



Tiba di desa Bakas, pihak mempelai bersembahyang bersama di pura keluarga milik mempelai puteri. Tuntas dengan acara ini, rombongan kembali menghantar mempelai puteri berpamitan pada seluruh keluarga, ke rumah para paman, ke rumah kakek dan neneknya. 



Ya, beragam adat istiadat yang ada di setiap lingkungan, dan di lingkungan Klungkung daerah ini berlaku adat pihak mempelai puteri juga berpamitan dengan mengunjungi rumah keluarga yang berbeda natah / pekarangan.





Selesai acara berpamitan pada pihak keluarga mempelai wanita, kami kembali beranjak menuju ke rumah keluarga kami di dusun Kapit.



Waktu menunjukkan pukul 2 siang tatkala kami berpamitan. Masih ada acara lain di tempat lain yang ingin kami hadiri.

Ni Made Sariati, ipar Kadek Ratmini, yang istri dari ponakan, dr. Wayan Merta, meninggal dunia. Upacara ngaben akan dilangsungkan keesokan hari, namun kami putuskan untuk berkunjung ke sana hari ini. Maka, kuparkir motor di jalan raya Banjarangkan, Klungkung - Karangasem, dan bergabung bersama suami dan iparku dengan mobilnya.



Mobil bergerak menuju desa Tangkup, Karangasem. Di jalan raya menuju Pura Besakih, kami berbelok ke kanan, memasuki daerah Desa Selat. Jalan desa ini menghantar kami menuju ke rumah dimana jenasah disemayamkan.



Ibu Made Sariati memiliki tiga orang anak. Dia mengalami kecelakaan di Denpasar, sehabis pulang bekerja pagi dini hari. dari salah satu hotel, Banyan Tree Ungasan.



Hmmm, perpisahan, selalu menghasilkan kesedihan. Apalagi bagi orang-orang terdekat yang sungguh mengasihi. Kulihat, suasana muram menyelimuti keluarga ini. Namun, wajah tabah yang terpampang pada ke tiga anak beliau, juga sang suami, membuat hati setiap orang yang hadir menjadi trenyuh.



Kubayangkan, mampukah aku, bila kehilangan dan ditinggal pergi oleh suami dan anak-anakku, atau, bagaimana bila aku yg meninggal, apa kah yang akan terjadi pada kedua anak dan suami tercintaku.



Perjalanan hari ini, sepanjang Denpasar - Nusa Dua - Klungkung - Karangasem, dan kembali ke Denpasar, menghantarku pada pemahaman, bahwa kita harus siap terhadap apa pun yang akan mungkin terjadi. Karena lahir dan mati, suka dan duka, lara pati, sedih bahagia, sedikit banyak, semua yang warnai jalan kehidupan manusia dengan sepenuh bianglala.... Dan,  Hidup terkadang tidak hadir semudah harapan dan impian kita.... Semoga aku bisa menjadi tangguh, kian bijak dan dewasa menyikapi kehidupan.


Minggu, 11 November 2012

Maan Nuduk....

Wakidjan begitu terpesonanya dengan permainan piano Nadine. 

Sambil bertepuk tangan, ia berteriak, “Not a play! Not a play!” 
Nadine bengong. “Not a play?” “Yes… Not a play… Bukan main.” 
Tukidjo yang menemani Wakidjan terperangah. 
“Bukan main itu bukan not a play, Djan.” Kata Tukidjo.

“Your granny (Mbahmu)". Sahut Wakidjan.
"Humanly I have check my dictionary kok. 
(Orang saya sudah periksa di kamus kok)” 
Lalu dia berpaling ke Nadine. 

Wakidjan ngomong, “Lady, let’s corner (Mojok yuk). 
But don’t think that are nots
(Jangan berpikir yang bukan-bukan) . 
I just want a meal together.” 

“Ngaco kamu, Djan,” Tukidjo tambah gemes. 
“Don’t be surplus (Jangan berlebihan), Djo. 
Be wrong a little is OK toch?” 

Nadine cuman senyum kecil. 
“I would love to, but …” 

“Sorry if my friend make you not delicious 
(Maaf kalau teman saya bikin kamu jadi nggak enak)”, 
sambut Wakidjan ramah,
“Different river, maybe (Lain kali barangkali). 
I will not be various kok 
(Saya nggak akan macam-macam kok).” 

Setelah Nadine pergi, Wakidjan menatap Tukidjo dengan sebal. 
“Disturbing aja sih, Djo (Loe nge ganggu aja)
Does the language belong to your ancestor 
(Emang itu bahasa punya moyang lu)?” 

Tukidjo cari kalimat penutup. 
“Just itchy Djan, 
because you speak English as delicious as your belly button.” 
(Gatel aja, Djan, 
soalnya kamu ngomong Inggris seenak udelmu dewe). 

Wakidjan cuman bisa merutuk dalam hati, 
“His name is also effort.” 
(Namanya juga usaha)

Minggu, 04 November 2012

B'coz.... even, after years, we still differ (Tiap org gak mungkin sama lah)



40 years of marriage..
(Setelah 40 tahun berada dalam sebuah ikatan pernikahan....)

A married couple in their early 60s
are celebrating their 40th wedding anniversary
in a quiet, romantic little restaurant.
(Sepasang umat manusia berusia 60 tahunan
melangsungkan peringatan pernikahan di sebuah resto
kecil, indah dan sungguh tenang....)

Suddenly, a tiny yet beautiful fairy appeared on their table.
She said,
'For being such an exemplary married couple
and for being loving to each other for all this time,
 I will grant you each a wish.'
(Tiba-tiba muncul peri kecil nan cantik di atas meja dan berkata....
Karena telah menjadi pasangan teladan,
dan bagi kasih yang hadir di tengah kalian sepanjang waktu,
aku akan menghadiahi harapan dan doa kalian,
masing-masing hanya satu saja)

The wife answered,
'Oh, I want to travel around the world with my darling husband'
The fairy waved her magic wand and - poof! -
two tickets for the Queen Mary II appeared in her hands.
(Sang istri berkata,
"Aku inginkan perjalanan keliling dunia dengan suami tercinta"
 Sang peri mengayunkan tongat ajaib, dan....
dua tiket kapal pesiar Queen Mary II di tangannya sebagai hadiah)

The husband thought for a moment:
'Well, this is all very romantic,
but an opportunity like this will never come again.
I'm sorry my love,
but my wish is to have a wife 30 years younger than me".
(Sang suami berfikir sejenak...
"Well, saat ini sungguh romantis,
namun, kesempatan seperti ini takkan pernah datang lagi.
Maafkan aku sayang,
namun permohonan ku adalah ...
ingin memiliki istri yang 39 tahun lebih muda dariku")

The wife, and the fairy,
were deeply disappointed, but a wish is a wish.
So the fairy waved her magic wand and poof!...
The husband became 92 years old...
(Sang istri, dan sang peri kecil,
sungguh - sungguh kecewa,
namun permohonan akan tetaplah sebuah permohonan.
Maka, peri kecil mengayunkan tongkat ajaibnya, dan....
Sang suami menjadi berumur 92 tahun,
alias, 32 tahun lebih tua dari sang istri.....)

Smile and have a great weekend................
Senyumlah selalu, dan.... selamat berakhir pekan.

ASOK KUMAR
Sobatmu.

Jumat, 02 November 2012

Kecantikan dan segala usaha yg menyertainya bagi seorang perempuan




Apakah yang menjadi standar cantik bagi seorang perempuan? Bagaimana meraih sejumput mimpi tentang cantik yang sempurna ? Dan, mengapa begitu banyak perjuangan dalam mempertahankan cantik itu sendiri bagi mereka, di tengah berbagai undangan tarik menarik antara produsen beragam produk kecantikan juga jasa perawatan kecantikan yang ada ?



Adorno dalam Wuryanta dan Handayani (http://ekawenats.blogspot.com) menggambarkan bahwa masyarakat komoditas ditandai dengan empat aksioma penting.  



Pertama, masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan.  

Banyak pihak berlomba jadi penyedia jasa untuk mempercantik wajah dan penampilan seseorang, banyak pihak menghasilkan beragam produk kecantikan. Kecantikan bahkan tampil tanpa mempertimbangkan relevansi logis tidaknya tampilan cantik itu pada batasan ruang dan waktu....





Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi, terutama terhadap industri komunikasi. 

Produk cantik digeneralisasikan, tanpa memandang bahwa sebuah produk terkadang tidak cocok berada pada sebuah daerah atau masyarakat tertentu, misalnya tampilan untuk pentas berbeda dengan tampilan seorang tatkala bekerja, produk musim dingin berbeda dengan penyebaran produk tersebut di sebuah daerah dengan dua musim saja.



Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka sebarkan sendiri. 

Derasnya arus informasi yang masuk tanpa disertai dengan penyaringan akan membuat seseorang melakukan beragam upaya untuk tampil cantik. Misalnya mempertahankan kecantikan bagai wajah halus mulus seorang bayi, kriteria cantik adalah wajah putih mulus dan rambut lurus tergerai. 





Dan keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi” (economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).

Pribadi-pribadi sosok manusia yang tampil antagonis, tidak menjadi pribadi maupun diri sendiri, cenderung meniru tokoh idolanya, ingin menjadi sosok yang berbeda yang bahkan tidak mungkin bisa dilakukannya, cenderung mengabaikan logika dan akan sehat.

Di sini, anda bisa memilih dan memilah, termasuk berada pada aksioma manakah gerangan seseorang menakar kecantikan itu sendiri. 

Semangat untuk tampil cantik !!