Selasa, 29 Agustus 2017

Wae Rebo, The Heart of Manggarai (1)



Ketika memutuskan akan menjelajahi Manggarai Barat, kami sudah menyadari, ini bukanlah sesuatu yang mudah. Kami membutuhkan persiapan matang, orang yang dapat kami handalkan, bukan guide yang abal-abal. Maka, kami persiapkan diri dengan sebaik mungkin yang kami bisa, menelusuri berbagai informasi tentang Wae Rebo, sejarah, rute perjalanan, transportasi yang mungkin dipergunakan, lama waktu tempuh, biaya yang kami butuhkan, siapa saja yang dapat kami hubungi untuk membantu mengumpulkan beragam data tersebut. Kami terlibat dengan banyak diskusi, banyak perdebatan, urun rembug, dan berbagai pertimbangan, sehingga memutuskan yang terbaik yang dapat kami lakukan.
 
 
 
Banyak yang berkata, kami gila, dan sesuatu yang tidak mungkin kami lakukan. Underestimate lah, tidak becus lah. Okay. Aku selalu percaya, adanya banyak tangan yang tidak terlihat, keterlibatan Tuhan, dan, niat baik kami yang tentu akan mempermudah kami melaksanakan ini. Perlu kedewasaan bersikap, kehati-hatian, dan kerendahan hati dalam bertingkah laku. Meski kami tipe orang yang senang berpetualang, menguji nyali diri, dan bersiap terhadap resiko yang mungkin kami hadapi, namun kebersamaan team sangat dibutuhkan.
 
 
 
Anakku telah lebih dahulu menjelajahi Manggarai tahun 2015 lalu. Melalui rute perjalanan darat, dia berangkat bersama Edi Sempurna Sembiring Meliala, sahabat se kelas dan se kos nya. Selama seminggu, mereka bergerak ke arah Timur, hingga mencapai Wae Rebo. Dan kini, sungguh beruntung aku dapat menuju ke Wae Rebo, yang disebutnya sebagai jantung hati Manggarai, sebuah desa aseli, negeri di atas awan.
 
 
 
Wae Rebo merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Flores, kira-kira 1.200 meter di atas permukaan laut. Situasi pedesaan yang terpencil, terisolasi di daerah pegunungan, membuat desa ini unik untuk diamati terkait aktivitas sehari-hari, sistem kekerabatan, dan bentuk bangunan nya. Desa ini sudah tumbuh dan berkembang semenjak 1100 tahun lalu, diyakini leluhur mereka berasal dari Minangkabau di Sumatera, berkembang ke daerah Todo yang juga di Manggarai, yang terkenal dengan kerajaan Todo, kemudian mengasingkan diri ke Wae Rebo. Desa ini bisa dicapai setelah melewati daerah pesisir pantai, pegunungan, berjalan kaki mendaki gunung, kemudian menuruni jalan curam, melintasi sungai, bahkan terkadang melalui awan, sehingga desa ini juga dikenal dengan negeri di atas awan.
 
 
Terdapat beberapa rute perjalanan untuk mencapai desa ini. Yang pertama, dari Labuan Bajo berkendara menuju Ruteng, lalu ke Desa Dintor, desa terakhir yang dapat dilintasi kendaraan, kemudian menyewa ojek menuju pos pertama Hutan Lindung, dan melanjutkan perjalanan kaki menuju Wae Rebo. 
 
 
 
Yang kedua, dengan menggunakan truk / oto kayu dari Ruteng, di Terminal Bus Mena. Kemudian bergerak menuju Desa Cancar, Desa Pela, Desa Todo, Desa Dintor, Desa Denge. Waktu tempuh selama tiga hingga empat jam ber kendara.
 
 
 
Yang ketiga, dari Labuan Bajo, dengan menggunakan perahu, menyusuri pantai Selatan, dekat Pulau Mules, menuju pesisir, Desa Nangalili.Setelah tiba di Desa Dintor, kembali melanjutkan perjalanan menuju Desa Denge. Dari Desa Dintor, menyewa motor atau bersama tukang ojek dengan tarif sebesar 50.000 menuju Desa Denge.
 
 
 
Perjalanan kami berawal dari Labuan Bajo. Rabu, 23 Agustus 2016. Pukul 7 pagi kami bergerak bersama Servasius, seorang guide lokal, aseli orang Manggarai, dan supir Kasianus. Sekitar empat jam berkendara dari Labuan Bajo, hingga berakhir di Desa Dintor, lanjut ke Desa Denge, dan menggunakan ojek bermotor menuju pos pertama di Hutan Lindung. Berikutnya kami lanjutkan dengan berjalan kaki selama tiga jam lebih, mendaki gunung, menyusuri hutan, menuruni gunung, melintasi sungai melalui jembatan bambu, melintasi awan, sebelum tiba di desa Wae Rebo.
 
 
 
Rumah berbentuk kerucut ini dahulu berbentuk kotak. Mulai mengalami pelapukan pada tahun 2008. Namun semenjak di renovasi pada tahun 2010, bentuknya berubah menjadi kerucut. Yayasan Rumah Asuh bersama Yori Antar dan kawan-kawan banyak berperan dalam proses renovasi Mbaru. Berikutnya banyak pula pihak swasta dan bahkan pemerintah daerah ikut terlibat. Jumlah utama rumah sebenarnya hanya tujuh. Pada masing-masing rumah, tinggal tujuh hingga delapan kepala keluarga. Namun kemudian berkembang menjadi sembilan, dimana dua buah Mbaru dipergunakan sebagai tempat tinggal bagi para wisatawan yang ingin menginap dan merasakan aktivitas kehidupan masyarakat Desa Wae Rebo. Terdapat rumah Utama yang disebut dengan Mbaru Niang, dimana di Rumah Utama ini terdapat Niang Gendang, gendang yang telah diwarisi semenjak jaman nenek moyang mereka. Rumah ini merupakan rumah yang pertama kali berdiri di Wae Rebo, dimana leluhur penduduk desa ini tinggal. Para tamu yang datang harus menuju rumah utama ini terlebih dahulu, untuk disambut dengan upacara sebagai pertanda sah nya mereka datang berkunjung dan mengetahui apa saja yang patut dan tidak boleh dilanggar selama berada di Wae Rebo. 
 
 
 
Sepanjang perjalanan kami temui banyak wisatawan asing, turis lokal, bahkan ibu Kadi, berusia 71 tahun, ibu Ima berusia 65 tahun, yang tetap bersemangat meski akhirnya membutuhkan delapan jam berjalan kaki. Kami bermalam di salah satu Mbaru, bersama dengan sekitar 50 an wisatawan lain, ikut mengenakan songkee yang di tenun oleh para perempuan desa Wae Rebo, makan malam bersama dengan seluruh wisatawan, menikmati bintang malam, dan bangun pagi serta menikmati sarapan pagi dengan menu pedesaan, sebelum kembali ke Labuan Bajo dengan kembali menyusuri perjalanan di pegunungan selama hamper empat jam berjalan kaki.
 
 
 
Delapan Mbaru atau rumah kerucut menggambarkan delapan garis keturunan kepala keluarga utama. Hingga kini terdapat 137 kepala keluarga dan 632 orang anggota masyarakat desa Wae Rebo, namun sebagian di antaranya sudah ada yang menetap di luar Mbaru, di kebun sekitar Mbaru, atau di perkampungan sebelah desa Wae Rebo, bahkan merantau ke desa lain untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan. 
 
 
 
Pada tahun 2012, desa Wae Rebo mendapat penghargaan Asia Pacific Heritage Award for Culture Heritage dari UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization), sebuah badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar