Sabtu, 10 Oktober 2009

Panca Sradha

Panca Sradha bersumber dari Panca Sanhita Weda. Lima kitab suci agama Hindu. Reg Weda, Yayur Weda, dkk. Kelimanya membahas Panca Sradha.
Panca Sradha adalah lima keyakinan atau kepercayaan dalam agama Hindu, yang dalam pelaksanaannya tergantung dari masing-masing individu. Mau di Bali, kek, di Papua sana, kek, di Jakarta, kek, di Bali ujung utara atau ujung selatan. Yaitu;
Widhi Sradha, percaya dengan adanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Atma Sradha, percaya dengan adanya jiwatma, spirit, roh. Karma Phala Sradha, percaya dengan karma atau hasil dari perbuatan kita, hubungan sebab akibat. Punarbhawa Sradha, percaya dengan adanya reinkarnasi (kelahiran kembali). Moksa Sradha, percaya dengan terlepas dan bebasnya jiwa dari menitis kembali jadi manusia, kehidupan dalam bentuk lain yang kekal abadi.
Cara kita mewujudkannya adalah dengan Catur Marga, empat jalan kehidupan. Ini juga tergantung gaya / life style masing-masing orang. Suami istri aja punya gaya yang unik dan beda-beda. Gak bisa dipaksa-paksa. Yaitu; Bakti Marga, dengan bersujud dan berbakti pada Tuhan / manifestasinya, menyembah dewa, memuja malaikat. Karma Marga, dengan berbuat baik pada sesama mahluk hidup, hormat pada orang tua, menghargai pendapat anak, enggak melecehkan wanita, gembel, tukang ojek, donasi untuk korban banjir. Jnana Marga, menempuh kebijaksanaan filsafati, lewat ilmu pengetahuan, selalu belajar jadi dewasa, kayak guru-guru itu, 'kali ya? Pemimpin enggak korup, tahu IT enggak untuk jadi hacker, gak pelit ilmu, Prof. tapi pinter sendiri. Yoga Marga, dengan disiplin diri sendiri, pengendalian dan pembersihan pikiran dan batin. Gak ngeres melulu pikirannya, udah enggak mikirin matre lagi, anak, harta, warisan, dah bener bener pasrah. Gue sih enggak bisa, duit masih bikin mata ijo. Disakitin orang masih pikir balas dendam.
Dalam pelaksanaannya, akan kelihatan deh yang mana paling menonjol dalam diri seseorang. Misalnya, masih aja berbuat baik walau dah dilukai berkali-kali. Ada yang berjalan dari satu pura ke pura lain, tapi enggak tahu apa sesungguhnya makna dibalik perjalanan spiritualnya itu.
Cara kita untuk melaksanakan atau mengadakan perjalanan (Catur Marga) ini adalah Yadnya. Yadnya bisa pula diartikan sebagai ketulusan lahir maupun batin dalam melakukan kegiatan memuja Beliau. Saya hanya mampu bikin pejati dengan biaya duapuluh ribu perak, kenapa harus memaksa diri cari pinjaman lagi untuk bikin pejati seharga seratus ribu rupiah. Tuhan kan enggak menerima sujud kita dinilai dari harga, tapi dari makna. Standar kita aja yang bikin begitu, kan? Dimana untuk pelaksanaan Yadnya sendiri enggak bisa dipisahkan dengan Wariga - Upakara - Upacara. Wariga, adalah perhitungan waktu / hari, misalnya dewasa baik untuk kegiatan Yadnya agar mulus. Upakara, adalah seluruh peralatan dan perlengkapan untuk kegiatan Yadnya kita, antara lain uang kepeng, keris, kelapa. Upacara, adalah kegiatan kita, aktivitas yang kita lakukan, termasuk perjalanan dalam melakukan Yadnya tersebut, seperti memotong rambut bayi, mengasah gigi, natab.
Ajaran Agama Hindu: Moksartham Jagatdhita ya ca iti dharma, sebagai tuntunan kehidupan kita, membimbing kita dalam bekerja dan belajar, bergaul, beretika dengan lingkungan. Untuk mencapai tujuan hidup kita, tentu perlu empat hal, yaitu Catur Purusa Artha. Dharma, kebenaran. Artha, benda / materi. Kama, kesenangan / kenikmatan, Moksa, kebahagiaan abadi dan kekal. Munafik kan kalau bilang keluarga saya bahagia tinggal di kolong jembatan atau pinggir jalanan, tanpa makanan dan minuman. Apalagi bagi yang sudah terbiasa punya pembantu RT lima, tiap malam dinner bareng keluarga di hotel bintang lima. Saya paling benci dibohongi, walau kadang enggak siap dikagetin. Bagi saya, nikmat tuh, makan mie goreng bikinan sendiri, dua porsi sendiri, sambel botol, telor setengah mateng, tanpa diminta anak atau suami sekalipun. Jadi, biarkan mereka kekenyangan makan, baru makan sendiri. He.he.
Intinya, Panca Srada bersumber dari Tuhan, disusun oleh para pakar agama Hindu, para bijak yang menyusunnya menjadi lima buah Kitab Suci kita, berdasar wahyu yang mereka dapatkan. Tapi kemudian berkembang dan beradaptasi, tergantung dari persepsi kita sendiri dalam menjadikan Weda sebagai Sundih / Suluh kehidupan saat berjalan dalam terang sekalipun, apalagi saat gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar