Minggu, 10 Desember 2017

YJHN dan Tirtayatra, 9 Desember 2017








Manusia adalah mahluk yang dinamis. Senantiasa bergerak tiada henti, dalam kehidupan. Sejarah, perjalanan, perkembangan, kehidupan, budaya dengan agama, seni, ritual, sosial, ekonomi yang mengiringinya. Inilah aku, apa adanya. Kali ini kembali kami bergerak, melakukan perjalanan spiritual menuju ke Jawa Timur, memberikan bantuan bagi umat Hindu, meski hanya sekedar buku, kalender, dana, dan menjalin tali silaturahmi dengan sesama umat.






Pukul tiga pagi dini hari, Sabtu, 9 Desember 2017, kami bergerak dari Denpasar, menuju Jawa Timur, dengan menggunakan minibus kapasitas 16 orang. Berhenti bersembahyang di Pura Rambut Siwi yang terletak di Negara, menaiki ferri pukul 6 pagi dari pelabuhan Gilimanuk menuju Ketapang. Kami tiba pukul 9 pagi di rumah bunda Yuli Laras Candrawati, di Desa Pedotan, Kabupaten Banyuwangi.





Setelah mandi dan berpakaian sembahyang, kami menikmati hidangan sajian bunda Yuli sekeluarga, sungguh luar biasa, keramahan yang kami terima dari keluarga ini. Sambil lesehan menikmati buah naga merah hasil panen kebun sendiri. Sempat pula kami berjumpa Romo Lorohadi dan Romo Warsiyo beserta rombongan yang mampir ke butik milik bunda Yuli.

Berikutnya kami bergerak menuju Pura Segara Tawang Alun yang terletak di Pantai Merah, Dusun Pulo Merah, Desa Pancer, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Pura Tawang Alun pernah disapu tsunami yang melanda pada tahun 1990, hingga tertutupi air laut. Pura Segara Tawang Alun memiliki vibrasi aura tenang dan damai yang cocok untuk tempat meditasi, aroma angin laut pantai Selatan yang membelai tiap pori tubuh, dan tidak terganggu meski berada di lokasi wisata yang tidak pernah sepi pengunjung.

Pulo Merah merupakan sebuah pulau berbukit hijau dan bertanah merah, dengan tinggi menjulang 200 meter, yang terletak di Kecamatan Pesanggaran. Pulau ini bisa dicapai dengan berjalan kaki pada saat air laut sedang surut. Namun dengan ombak yang relatif besar pantai Selatan, pantai ini kurang cocok menjadi tempat berenang, kecuali berselancar. Objek wisata ini dikelola oleh Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, KPH Banyuwangi Selatan, dan relatif ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai pelosok nusantara, hingga wisatawan mancanegara, yang sangat menggemari surfing.  Mereka menggemari ombak tinggi tiga hingga lima meter, dan sedikitnya batu karang di dasar pantai, hingga di Pulo Merah beberapa kali diselenggarakan  kompetisi selancar internasional, salah satunya, Banyuwangi International Surf Competition pada tahun 2013 bulan Mei. Dilanjutkan dengan kompetisi tahun 2014, 2015.






Selesai bersembahyang di Pura Segara Tawang Alun, kembali kami bergerak menuju lokasi berikutnya. Pura Giri Sunya Mertha, yang terletak di Dusun Pasembon, Desa Sambirejo, Kecamatan Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. 

Di Pura ini juga terdapat Pesraman yang dikelola oleh Bapak Gatot. Para remaja, dengan pertumbuhan dan perkembangan yang mereka alami, tentu disertai adanya gejolak jiwa, keresahan, kegalauan, sifat kritis, keingintahuan, banyak bertanya, sehingga membutuhkan bimbingan kita semua. Bapak Gatot, beserta para tetua, pemangku, memberikan bimbingan dan tuntunan yang bisa dijadikan pedoman hidup mereka sehari-hari. Semoga, mereka bisa menjadi pribadi yang tangguh, sosok yang berbakti pada keluarga, sahabat, juga menjunjung tinggi ahlak etika dan norma yang berkembang di tengah masyarakat, menjunjung tinggi bingkai persatuan dan kesatuan negara, menjunjung bingkai NKRI.

Kecamatan Bangorejo memiliki tujuh Desa, yakitu Desa Bangorejo, Desa Kebondalem, Desa Sambirejo, Desa Sambimulyo, Desa Sukorejo, Desa Temorejo, Desa Ringin Telu. Kecamatan Sambirejo terkenal dengan hasil panen buah naga merah (Hylocereus Costaricencis) yang dikirim hingga ke luar Propinsi Jawa Timur, juga pulau Bali. Disamping itu, dikenal juga dengan hasil panen jeruk nya.

Hari sudah beranjak gelap. Kami berpamitan dengan umat di Pura Giri Sunya Mertha, dan segera kembali bergerak. Kali ini menuju Pura Sunya Loka yang terletak di Gunung Srawet.

Pura Sunya Loka merupakan Pura Kahyangan Jagat, yang diyakini penyungsungnya sebagai petilasan Empu Baradah. Berdasarkan sejarah para sesepuh setempat, Gunung Srawet juga sering disebut dengan Gunung Srandil Jawi wetan. Adapun mitologi atau mitos dari Gunung Srawet yang berada di Kecamatan Bangorejo menurut sesepuh yang berada didaerah sekitar bahwasannya pada jaman dahulu Gunung Srawet ini digunakan sebagai tempat pertapaan Sang Prabu Erlangga selama bertahun-tahun untuk mendapatkan kesaktian dan kewibawaan dalam memimpin daerah kekuasaannya. Sang Prabu Erlangga bertapa di Gunung Srawet tepatnya di Gua Selo Panepen (salah satu gua yang berada di Gunung Srawet dengan posisi gua menembus bumi atau lubang guanya lurus kebawah tidak kesamping seperti gua padaa umumnya, Setelah lama bertapa di Gunung Srawet datanglah Empu Bharadah menjemput Sang Prabu Erlangga untuk mengantarkan ke Pulau Bali. Melihat kedatangan Empu Bharadah Sang Prabu Erlangga bangun dari tempat bertapanya lalu bergegas mengikuti Empu Bharadah. Sesampainya di hutan Prejeng (sekarang menjadi kota Rogojampi) Empu Bharadah dan Sang Prabu Erlangga dihadang oleh singo barong yang sangat besar, dan seketika itu singo barongpun langsung menyerang dan saat itu juga terjadilah peperangan antara Sang Prabu Erlangga dengan singo barong. Peperangan itu dimenangkan oleh Sang Prabu Erlangga dengan kesaktiannya yang luar biasa, walaupun peperangan tersebut dimenangkan oleh Prabu Erlangga namun singo barong tidak sampai mati dan mengakui kesalahannya, pada saat itu pula singa barong bersedia mengabdikan diri menjadi abdi dalem Sang Prabu Erlangga dalam perjalanannya menuju Pulau Bali. Sesampainya di Pulau Bali Prabu Erlangga beserta rombongan menetap di Pura Gunung Kawi Gianyar sampai akhirnya singo barong meninggal dan juga Prabu Erlangga kembali dengan sang Brahman. (Eko Prasetyo)

Pura Kahyangan Jagat Sunya Loka ini terletak di Puncak Serindhil, di kawasan Gunung Srawet, di Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo. Perjalanan dengan jalan tanah berkerikil, dan hanya cukup untuk satu mobil, membuat mobil minibus harus berjalan perlahan dan sedikit berguncang, bahkan hingga nyaris terperosok ke dalam got yang terletak di samping jalan menuju Pura ini. Rombongan kami terpaksa harus turun, bahu membahu mendorong, ke arah depan dan belakang mobil, memberi batu, dahan kayu, di bagian roda kiri depan mobil,  hingga dibantu penduduk juga pemangku Pura sampail akhirnya mobil bisa kembali melanjutkan perjalanan menuju Pelataran parkir Pura, dan menaiki anak tangga berjumlah lima puluh an, sebelum tiba di depan Pura Kahyangan Jagat Sunya Loka.

Sudah hampir pukul tujuh malam WITA, waktu rombongan kami berpamitan meninggalkan pura. Ada rasa haru, entah kapan baru bisa mendapatkan perkenan kembali bersembahyang disini. Namun aku yakin, karma akan mempertemukan kita semua pada arahnya masing-masing. Entah kapan, dimana, dan dengan cara bagaimana, rasa rindu, rasa cinta, rasa bahagia, akan bersatu, meski tidak selalu dangan cara dan gaya yang sama.....

Kembali rombongan kami menuju Desa Pedotan, dijamu makan malam oleh keluarga bunda Yuli, sebelum bergerak menuju Pulau Bali. Sepanjang hari ini, Sabtu, 9 Desember 2017, kami mengadakan perjalanan panjang, dalam ikatan persaudaraan Yayasan Jaringan Hindu Nusantara, dalam berbagai nuansa kehidupan yang ada, dalam rasa cinta yang menyatukan kita semua......

























































Tidak ada komentar:

Posting Komentar