Kamis, 08 Maret 2018

Keluarga Suteja Neka Berduka, 3 Maret 2018




“Ni Gusti Made Srimin, ibu, senantiasa mendukung saya, meski terkadang banyak rintangan yang kami temukan”. Ujar Pande Wayan Suteja Neka mengenai istri tercinta saat kami berdiskusi bersama sambil menyusuri ruang demi ruang di Museum Seni Neka di awal tahun 2014.  Ada lebih dari 400 an karya seni lukis, 300 an patung dan 300 an keris di Museum Neka yang terletak di Jalan Raya Sanggingan Campuhan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar ini. 

Gallery Seni Neka (Neka Art Gallery) merupakan dunia bisnis saya, sedangkan Museum Seni Neka (Neka Art Museum) merupakan dunia idealis saya” Sambung Pande Wayan Suteja Neka. “Saya sudah mendapatkan banyak hal, kebahagiaan dari ruang seni dan budaya, maka saya berkewajiban mengembalikan pula kebahagiaan tersebut bagi dunia seni. Dalam hal ini, idealism saya berkembang luas di tengah masyarakat”.  


                                             Lukisan karya Srihadi Soeharsono, tahun 2011

 “Saya mengawali nya sedikit demi sedikit. Mengumpulkan berbagai benda seni dan pusaka yang menjadi bentuk tanggungjawab saya terhadap keberlangsungan budaya, khususnya Bali. Saya merasa telah memperoleh kebahagiaan dari dunia seni, maka saya kembalikan kebahagiaan itu kepada dunia seni itu sendiri. Dan, ibu Ni Gusti Made Srimin selalu mendukung setiap jejak langkah yang saya lakukan”. Lanjut Pande Wayan Suteja Neka memaparkan berbagai bentuk dukungan yang telah dilakukan istri tercinta.


"Kami menikah pada tanggal 3 Mei 1963 dalam situasi penuh kesederhanaan, ditentang oleh pihak keluarga, dan tidak diakui. Namun perlahan kami mampu memperoleh simpati dan berjuang untuk berhasil, meski pun jalannya sering tidak lah mudah. Ibu selalu mendukung saya. Demikian pula dengan ke empat anak kami. Bahkan pada saat saya memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai seorang guru dan memulai usaha di bidang seni". Ujar Pande Wayan Suteja Neka. 



Gallery Seni Neka (Neka Art Gallery) mulai dirintis semenjak tahun 1966. Museum Seni Neka (Neka Art Museum) berdiri semenjak tahun 1982. “Meski terkadang mendapat cemoohan dan tidak dipercaya oleh banyak pihak, namun Ibu selalu mendukung penuh setiap aktivitas yang saya lakukan terkait budaya”. Ujar Pande Wayan Suteja Neka sambil mengenang masa-masa perjuangan mendirikan museum seni. Sungguh bukan merupakan hal yang mudah mengumpulkan sedikit demi sedikit jejak langkah budaya nusantara, khususnya Bali, dalam bidang seni rupa, mulai dari lukisan wayang klasik, aliran lukis Ubud, aliran Batuan, aliran kontemporer Bali, hingga aliran kontemporer Indonesia. Hal ini demi memperluas wawasan pengetahuan para penikmat seni lukis mengenai sejarah seni rupa di Bali.



Situasi tersebut semakin berkembang denga upaya Pande Wayan Suteja Neka untuk bergelut pada bidang keris. “Semenjak tahun 2007, saya menambah ruang museum dengan koleksi ratusan keris. Memang tidak dapat disangkal, eyang buyut yang merupakan seorang empu keris dari kerajaan Peliatan Ubud pada awal abad ke 19, Pande Pan Nedeng, telah mengalirkan darah seniman keris sejati”. Pande Wayan Suteja Neka menguraikan lebih lanjut bahwa meski bukan merupakan seorang empu pembuat keris, namun JMK Pande Wayan Suteja Neka berhasil mengembangkan semangat budayawan sejati, sebagai seniman sejati, dengan koleksi beragam aliran senirupa dan keris yang legendaries, dengan bukti beragam penghargaan yang telah diraih, seperti Lempad Prize (1983), Penghargaan Seni dan Medali Emas Gubernur Bali (1992), Piagam Penghargaan dari Mendikbud RI (1993), Penghargaan Seni Wija Kesuma dari Bupati Gianyar (1997), Piagam Penghargaan dari Menparpostel (1997), Heritage Award dari PATA Indonesia Chapter (1997), Penghargaan Adi Karya Pariwisata oleh Pemerintah RI (1997), Penghargaan Karya Karana Pariwisata dari Pemerintah Provinsi Bali (2003).



Namun kebahagiaan keluarga terusik tatkala ibu Ni Gusti Made Srimin diketahui mengalami penyakit. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak keluarga demi kesembuhan ibu, termasuk berobat ke Luar Negeri. Dr. Kardi Suteja Neka menjelaskan bahwa penyakit ibu telah diketahui semenjak beberapa tahun lalu, setelah dinyatakan tuntas menjalani perawatan di Singapura, ternyata kemudian kembali kambuh. Kembali pula berbagai upaya dilakukan oleh pihak keluarga, termasuk menjalani perawatan semenjak awal Januari 2018 lalu di Negara Singapura. Bergantian pula, pihak keluarga, anak, menantu dan cucu mendampingi dalam proses perawatan tersebut.



“Ibu Ni Gusti Made Srimin dirawat di Farrer Park Hospital, Singapura, semenjak 8 Januari 2018, atas penyakit kanker yang diderita. Bapak Pande Wayan Suteja Neka menemani dengan setia, dan menetap di One Farrer Hotel and Spa, yang merupakan hotel berbintang lima dan terkait dengan Farrer Park Hospital. Ujar beliau saat kami mengucapkan selamat menyambut Tahun Baru 2018.

Namun takdir dan karma berbicara lain, ibu Ni Gusti Made Srimin meninggal pada pagi hari, Sabtu, 3 Maret 2018, di Singapura. Bapak Pande Wayan Suteja Neka beserta anak-anak mendampingi saat-saat beliau berangkat. Amor ring acintya. Om ksama sampurna ya nama swaha. Om asato ma sat gamaya, Tamaso ma jyotir gamaya, Mrityor mam ritam gamaya…..Ya Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, bersatulah sang atman, Engkaulah yang Maha Sempurna, bimbing kami semua mencapai kebenaran, dari jalan gelap menuju terang, dari kematian menuju keabadian.

Rombongan keluarga kembali ke Indonesia pada hari Senin, 5 Maret 2018, dalam kondisi penuh duka. Jenasah disemayamkan di rumah duka Banjar Taman Kaja, Peliatan, Ubud. Prosesi upacara mekingsan di geni berlangsung pada tanggal 8 Maret 2018. “Kami merencanakan upacara Ngaben kelak bersama warga di Banjar Andong, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud”. Ujar putra ibu Ni Gusti Made Srimin, dr. Kardi Suteja Neka, saat kami melayat pada hari Selasa, 6 Maret 2018.


Wajah lelah dan penuh duka terpancar dari seluruh anggota keluarga, dari seorang pria tua, Pande Wayan Suteja Neka, yang begitu mencintai istrinya. Begitu banyak rangkaian bunga di halaman rumah mereka, Gallery Seni Neka. Begitu banyak para sahabat yang dating berkunjung, juga warga banjar, dalam rangkaian upacara mekingsan di geni.




Aku ingin belajar dari cinta kasih sejati seorang Pande Wayan Suteja Neka dan Ni Gusti Made Srimi…… bahwa, cinta yang menguatkan mereka untuk menjalani hari-hari bersama, bahwa, kebahagiaan hadir dalam beragam cara, dalam cinta tentang seni dan budaya, yang hadir di tengah kehidupan mereka berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar