Senin, 18 Juni 2018

Mudik.... Merantaulah maka kau akan tahu arti rindu



Merantaulah, maka kau akan tahu arti rindu
Bepergianlah, maka kau akan tahu arti pulang ke rumah….



Mudik bagi sebagian orang dianggap cuma euphoria sesaat. Pulang kampung. Kami sering lakukan ini. Hampir sebulan sekali. Entah dengan menumpang mobil, mengendarai sepeda motor, berboncengan, berramai-ramai, atau bahkan hanya sendirian. Entah ke Kerambitan di Tabanan, atau ke Nyalian di Banjarangkan, mungkin ke Sepang di Buleleng.



Tatkala dalam perjalanan mudik, saat aku pulang ke Sepang, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, hari Jum’at, 15 Juni 2018. Mengendarrai motor Yamaha MX, berangkat pagi hari setelah selesai urusan cuci mencuci, masak memasak. Sudah kurencanakan hanya seharian, alias PP. Demi membawa kacamata ipar yang tertinggal di Denpasar, mengunjungi cucu, ponakan, sekaligus akan menyambangi Batuaji, Jeroan di Kerambitan, dan memenuhi undangan si Dian, sahabatku di Tabanan.


Di sepanjang perjalanan semenjak kota Denpasar, ramai kendaraan yang juga kuperkirakan akan mudik, dipenuhi koper, ransel. Ya, libur panjang para murid dan mahasiswa di akhir semester, libur panjang dalam rangka merayakan Idul Fitri, libur minggu lalu merayakan Galungan dan Kuningan, membuat banyak anggota masyarakat yang mengatur jadwal mudik mereka ke berbagai daerah. Entah itu kampung halaman, lokasi wisata, suatu destinasi.



Beristirahat sejenak di Posko Pantau Arus Mudik yang terletak di Pantai Selabih, aku mengisi motor dengan bensin, menyempatkan menyapa para bapak polisi yang sedang bertugas, turut mengecek tensi darah di Pos PMI yang saat itu sedang dilayani oleh Mbak Tisna dan Mbak Yayuk. Ah, mereka adalah orang-orang dengan dedikasi sepenuh hati. Melaksanakan tugas, meski di hari libur, meski masih dalam rangkaian hari raya dan upacara, demi memberikan pelayanan maksimal bagi para pemudik.



Saat dalam perjalanan kembali ke Denpasar, beristirahat di Patung Penggembala karapan sapi, kutemui Wahyu yang juga sedang beristirahat. Dia mengendarai motor sendirian menuju Pulau Jawa. “Saya tadi pagi selesai bersembahyang Sholat Ied, lanjut bekerja di salah satu minimarket di Mengwi. Setelah selesai bekerja di sore hari, sekarang saya sedang dalam perjalanan mudik ke Jember”. Ujarnya mantap.



Kuminta dia selalu berhati-hati selama berkendara di jalan. Setiap dua jam harus beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Wajah nya terlihat ceria. “Tentu, bu. Saya akan selalu berhati-hati. Minggu depan saya akan kembali ke Bali dan kembali bekerja”. ujarnya mantap.



Tiba di Tabanan, kembali aku masuk ke salah satu minimarket. Kembali kutemui seorang perempuan muda berjilbab. Ku sapa. “Hai mbak. Bukankan ini hari suci mu ? ga ambil libur ? kok bertugas ?”. Gak kenapa, bu. Tadi pagi saya sudah sempat bersembahyang bersama keluarga besar di daerah Pegayaman, Singaraja. Sempat berhalalbihalal juga, lalu saya berpamitan ke Denpasar untuk langsung lanjut bekerja.”. 


Aku terpekur….. apa yang membuat mereka begitu bersikeras mudik, meski setumpuk kesibukan menanti mereka tidak mengambil hak libur….. jawab nya adalah, rumah, damai, rindu, dan mudik, adalah suatu rangkaian yang tidak bias terlepas dari dasar hati, dari lubuk terdalam umat manusia…. Kita semua adalah orang-orang yang rindu rumah, rindu damai, rindu suasana kekeluargaan dan persahabatan untuk selalu ada di dalam hati kita, di sekeliling kita…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar