Selasa, 27 Agustus 2019

Peranan Komunikasi dalam Industri Pariwisata Era millenial 4.0 : Tinjauan Museum dalam Wisata Budaya di Bali




Abstrak
Bali sebagai bagian dari masyarakat era milenial tidak dapat terlepas dari situasi perkembangan komunikasi digital 4.0. Dengan demikian, perkembangan industri pariwisata di Bali membutuhkan kajian empiris dalam komunikasi yang ada. Penelitian ini berupaya melakukan riset terkait wisata budaya, dalam hal ini, komunikasi pihak pengelola museum dengan wisatawan pengunjung. Dengan populasi wisatawan yang sudah mengunjungi museum, dan sampel penelitian berjumlah 25 orang. Metode penelitian berupa kuantitatif dengan instrument penelitian berupa studi dokumentasi, wawancara mendalam, observasi partisipan, angket. Teori yang digunakan adalah Khrisbie, Karp dan Lavine.

Simpulan penelitian adalah pengelola museum sudah mampu menjalin komunikasi yang baik dengan wisatawan pengunjung, baik sebelum, saat berkunjung, dan setelah mengunjungi museum, namun belum maksimal. Hal ini dibuktikan dari informasi terkini dalam media digital online terkait museum yang dapat diperoleh wisatawan sebelum datang berkunjung. Tamu yang mengunjungi museum sebagian besar adalah orang yang sudah mempelajari informasi terkait museum terlebih dahulu, yakni 52 persen, 52 persen akan menuliskan kisah perjalanannya mengunjungi museum, 80 persen akan mempromosikan keberadaan museum melalui media internet, 92 persen mengenal sejarah museum yang akan dikunjungi dan pendirinya, 60 persen akan mempromosikan kembali pada orang lain. 40 persen akan kembali mengunjungi museum yang sama

Keywords : Komunikasi, Industri Pariwisata, Wisata Budaya, Museum

Pendahuluan

Perkembangan jaman dalam dunia kehidupan yang demikian pesat membuat masyarakat harus mempersiapkan diri dengan sebaiknya. Mau tidak mau, suka tidak suka, sebagai bagian dari era milenial, masyarakat Bali terlibat dalam situasi pariwisata 4.0.Industri pariwisata, termasuk usaha perjalanan wisata (travel agent), akomodasi hotel (hotelier), diminta mempersiapkan diri menghadapi perubahan dan perkembangan pasar. Situasi ini menuntut berbagai komponen di dalam masyarakat untuk kreatif membangun jejaring, menjalin komunikasi harmonis satu sama lain.

Bali, termasuk museum, terlibat dalam industri pariwisata era milenial 4.0. Pengelolaan museum tidak lagi bisa bersifat inklusif tanpa analisis dan penerapan yang borderless dan out of the box. Museum merupakan salah satu sarana berkomunikasi di tengah masyarakat milenial dewasa ini yang harus dikaji manfaatnya dalam industri pariwisata. Hal ini mendorong dilakukannya kajian terhadap peranan komunikasi dalam industri pariwisata era milenial, terutama terhadap keberadaan museum di Bali.


 




Data BPS memperlihatkan hasil penelitian yang dilakukan BPS Indeks kebahagiaan orang Bali berdasar data BPS tahun 2017 adalah sebesar 72,48 dari rentang 0 - 100. Terdapat 5 propinsi dengan indeks kebahagiaan sebesar 80 %. Kepala BPS Propinsi Bali, Adi Nugroho, 2018 menyatakan, indeks kebahagiaan ini lebih tinggi dari rerata indeks kebahagiaan nasional yang hanya 72,40. Kontribusi masing-masing dimensi terhadap indeks kebahagiaan tersebut meliputi kepusasan hidup 34.80 persen, perasaan 31,18 persen dan makna hidup 34,02 persen.Hal ini memberi gambaran bahwa masyarakat Bali mampu menjalin komunikasi dalam menyalurkan harapan, keinginan, kemampuan dengan berbagai pihak, sehingga kepuasan hidup tercapai.




 Metode penelitian adalah kuantitatif, menggunakan instrumen penelitian berupa angket, wawancara, studi dokumentasi, dengan populasi pengunjung museum di Bali.
Hasil penelitian memperlihatkan  tamu yang mengunjungi museum sebagian besar adalah orang yang sudah mempelajari informasi terkait museum terlebih dahulu, yakni 52 persen, 52 persen akan menuliskan kisah perjalanannya mengunjungi museum, 80 persen akan mempromosikan keberadaan museum melalui media internet, 92 persen mengenal sejarah museum yang akan dikunjungi dan pendirinya, 60 persen akan mempromosikan kembali pada orang lain. 40 persen akan kembali mengunjungi museum yang sama.




Metode penelitian adalah kuantitatif, menggunakan instrumen penelitian berupa angket, wawancara, studi dokumentasi, dengan populasi pengunjung museum di Bali.
Hasil penelitian memperlihatkan  tamu yang mengunjungi museum sebagian besar adalah orang yang sudah mempelajari informasi terkait museum terlebih dahulu, yakni 52 persen, 52 persen akan menuliskan kisah perjalanannya mengunjungi museum, 80 persen akan mempromosikan keberadaan museum melalui media internet, 92 persen mengenal sejarah museum yang akan dikunjungi dan pendirinya, 60 persen akan mempromosikan kembali pada orang lain. 40 persen akan kembali mengunjungi museum yang sama.



Teori yang digunakan

Ivan Karp dan Stephen Lavine dalam buku Exhibiting Cultures menyatakan bahwa agar pendidikan multikultural efektif, museum harus mengubah paradigma dari “museum sebagai bangunan suci (temple) ke museum sebagai forum” (Karp and Lavine 1991 dalam Donley, 1993: 10).
Fungsi museum tidak hanya memamerkan benda-benda koleksinya, tetapi memberikan informasi tentang objek tersebut. Berikut beberapa strategi yang perlu dilakukan oleh museum dalam konteks pendidikan multikulturalisme :
1. Menginterpretasikan perbedaan budaya berdasarkan persamaannya
2. Membuat hubungan dan perbandingan lintas budaya (Cross Cultural Connections and Comparisons)
3. Menyeimbangkan konteks
4. Menyeimbangkan antara konteks (Ecological) dan komparasi (Cross-cultural) dalam Pameran
5. masyarakat pemilik budaya dalam pameran




















Khrisbie (2012) menjelaskan fungsi museum / galeri meliputi : Museum menurut harus mampu melaksanakan fungsi sebagai lembaga pelestari budaya, baik tangible maupun intangible. Museum juga harus mampu bersifat sebagai pusat pembelajaran, meningkatkan kreativitas masyarakat yang terlibat, baik dalam hal belajar maupun menciptakan beragam produk seni. Museum harus mampu membuka diri terhadap kritikan dan saran demi perbaikan kualitas layanan bagi para wisatawan pengunjung. Museum bersikap sebagai pusat kegiatan, fasilitator bagi terciptanya kerjasama antar lembaga kebudayaan, bertemunya para penikmat seni, penjual dan pembeli, pencipta berbagai karya seni. Museum senantiasa belajar meningkatkan kualitas diri, terkait dengan beragam informasi dan teknologi terkini.






Hasil penelitian Putra (2016) menunjukkan bahwa potensi museum dapat dianalisis melalui komponen 6A : Atraksi, Akses, Fasilitas pendukung, Aktivitas, Ketersediaan paket wisata, dan Kelembagaan. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan museum yakni, keterbatasan sumber daya manusia, kurangnya shopping center, promosi dan kerjasama, serta pelibatan masyarakat lokal. Strategi SO yakni dengan bekerjasama dengan pihak media, berpartisipasi dalam event budaya, pengembangan promosi melalui media sosial, Strategi WO dengan cara melakukan pembuatan alternatif wisata, penguatan branding museum, serta pelatihan bahasa Inggris untuk staf museum. Strategi ST dilakukan dengan penataan kawasan museum, peningkatan produk pameran, pengembangan paket wisata baru. Strategi WT dapat dilakukan dengan kerjasama dengan Biro Perjalanan Wisata, pengajuan CSR, dan pembinaan pramuwisata.

Pembahasan





 Sampai akhir perang dunia II, terdapat 30 museum di seluruh Indonesia. Kini terdapat 200 an museum di seluruh Indonesia, dengan 99 buah terdapat di Bali yang berperan dalam menggerakkan roda budaya Bali itu sendiri. Tokoh budayawan Ida Bagus Putra menjelaskan (Juli 2019), bahwa Ekslusivitas tidak bisa terjadi di dalam era kekinian, terutama era digital 4.0.  Dan masyarakat Bali memiliki indeks bahagia lebih tinggi karena juga didukung oleh lingkungan budaya yang saling peduli, budaya yang berlangsung turun termurun sebagai akses mengekspresikan jiwa dan semangat di dalam dirinya.

International Council of Museum menjelaskan definisi museum adalah institusi atau lembaga pemanen yang melayani kepentingan masyarakat dan kemajuannya, terbuka untuk umum, tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, dengan cara mengumpulkan (collect), memelihara (conserve), meneliti (research), memamerkan (publicate), benda nyata material manusia dan lingkungannya, untuk tujuan studi, pendidikan dan rekreasi.




 Sejarah museum di Indonesia terbagi menjadi tiga, yakni jaman penjajahan Belanda, Jaman Inggris, dan jaman setelah kemerdekaan. 14 April 1778 merupakan tonggak bersejarah berdirinya museum pertama kali di Indonesia, yakni Bataviaas Genootschap von Kusten en Westenschappen, yang berarti Perkumpulan Batavia untuk memajukan ilmu pengetahuan dan budaya. Museum ini memiliki visi dan misi Ten nutten van het gemmen yang berarti berisi berbagai buku dan juga benda bersejarah terkait ilmu pengetahuan, ilmu budaya dan ilmu bangsa-bangsa. Para pasukan tentara Belanda diminta mengumpulkan berbagai buku dan juga benda dari berbagai daerah tanah jajahannya. Pada tahun 1915, berdiri Museum Bali di Denpasar. Pada tahun 1930, Striching end Bataviaasch (Perkumpulan Belanda Kuno) mendirikan End Batavia Museum (Museum Belanda Kuno) di Jakarta. Tahun 1935 berdiri Museum Sono Budoyo di Yogya.

Terdapat 99 museum yang ada di Bali, tersebar di tujuh kabupaten dan kota. Diantaranya, Museum Bali, Museum Neka, Museum Arma, Museum Antonio Blanco, Rumah Topeng dan Wayang Setia Dharma, Museum Puri Lukisan, Museum Subak, Museum Rudana, Museum Gedong Arca, Museum Pendet,



Wisatawan yang menjadi responden penelitian ini berjumlah 25 orang. Wawancara mendalam dilakukan setelah wisatawan mengunjungi dan menikmati museum. Uraian paparan data responden penelitian sebagaimana tercantum di bawah ini.

Data penelitian memperlihatkan bahwa terdapat 10 orang atau 40 % responden pria dan 15 orang atau 60 % responden wanita. Lima orang berpendidikan Doktor, tiga orang Magister, tujuh orang sarjana, sepuluh orang tamatan SMA, dan tujuh orang SMP. Lima orang berkebangsaan Australia, dan 20 orang dari Indonesia, yang terbagi menjadi 11 orang dari Jakarta, tujuh orang Bali, dan dua orang dari Kalimantan.


Enam orang mengemukakan sudah berkunjung ke museum di Bali lebih dari lima kali, 15 orang mengatakan baru pertama kali mengunjungi museum, dan tiga orang sudah berkunjung lebih dari satu kali, satu orang sudah berkunjung lebih dari tiga kali namun kurang dari lima kali. Tiga orang berkunjung karena ajakan teman atau anggota keluarga, 13 orang (52%) karena mencari data di internet, dan sembilan orang karena promosi dari hotel atau agen perjalanan.



 15 orang dari mereka (60 %) akan mempromosikan kembali pada orang lain. 10 orang (40 %) akan kembali mengunjungi museum yang sama, dan 13 orang (52 %) akan menuliskan kisah perjalanan mereka ke museum melalui berbagai bentuk tulisan atau karya, 11 orang mengeluhkan akses menuju museum yang terkendala macet dan minimnya informasi terkait keberadaan museum, 23 orang (92 %) mengenal Museum dan pendirinya, namun kurang mengenal tentang adanya fasilitas lain selain tempat mendalami seni, 20 orang (80 %) akan menulis hasil kunjungan museum melalui media sosial yang mereka punya, 17 orang yang sudah melacak dan menelusuri informasi tentang museum sebelum mereka mengunjunginya. Lima orang (20 %) menyatakan sangat puas atas kunjungan ke museum, 12 orang (48 %) menyatakan puas, lima orang (20 %) menyatakan cukup puas, dan hanya 3 (12 %) orang menyatakan kurang puas dengan alasan koleksi museum dan penampilan yang kurang menarik serta tidak adanya akses informasi yang memudahkan wisatawan dalam memahami.



Simpulan
Hasil penelitian membuktikan bahwa wisatawan mendapatkan kepuasan terhadap industri pariwisata di Bali, khususnya destinasi wisata museum. Museum merupakan salah satu sarana berkomunikasi di tengah masyarakat milenial dewasa ini. Tamu yang mengunjungi museum sebagian besar adalah orang yang sudah mempelajari informasi terkait museum terlebih dahulu (well educated), yakni 52 persen, 52 persen akan menuliskan kisah perjalanannya mengunjungi museum, 80 persen akan mempromosikan keberadaan museum melalui media internet, 92 persen mengenal sejarah museum yang akan dikunjungi dan pendirinya, 60 persen akan mempromosikan kembali pada orang lain. 40 persen akan kembali mengunjungi museum yang sama.


 Saran
Museum sangat potensial menjadi tempat penyelenggaraan kegiatan yang tidak hanya berkait dengan seni, namun juga ilmu pengetahuan dan sosial budaya. Penyelenggaraan kegiatan yang lebih terkait dengan digitalisasi akan sangat menarik minat masyarakat, promosi yang menarik, dan segi perawatan yang kurang maksimal untuk gedung museum dan fasilitas yang ada di dalamnya, termasuk perawatan benda bersejarah yang terdapat di dalam museum.
Pihak pengelola museum sebaiknya tidak berdiri sendiri, namun bekerjasama dengan berbagai pihak lain, bahkan secara global. Hal ini baik untuk tujuan menjalin kerjasama, mempromosikan, maupun mengembangkan kinerja museum dalam era industri pariwisata 4.0


Daftar Pustaka :
Baudrillard, Jean P. 2012. Masyarakat Konsumsi. Jogjakarta: Romantika.
Buku I Rencana Kerja Pemerintah 2012, Matriks Prioritas Nasional.
Khrisbie, Bayu Genia. 2012. Diskusi Kelas Entar Malem. Bandung: Kafe Gerilya
Putra, AAN Sedana. 2016. Strategi Pengembangan Museum Bali sebagai Daya Tarik Kota Denpasar. UNUD: Tesis Program Magister Pariwisata.
Susanto, Mikke. 2011. Wacana Khatulistiwa: Bunga Rampai Kuratorial Galeri Nasional Indonesia, Dirjen Nilai Budaya, Seni Film, Jakarta.
Buku I Rencana Kerja Pemerintah 2012, Matriks Prioritas Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar