Kamis, 17 Desember 2009

Mereka Menantiku

Rabu, tilem, tanggal 16 Desember 2009

Tiba di rumah pukul 6 sore dengan badan letih setelah seharian melaksanakan tugas kantor. Anak-anak tetangga telah berkumpul dengan manis di depan rumahku. "Ibu, kita sembahyang bersama lagi, ya?" Demikian sapaan mereka. Ah, tidak tega kukecewakan mereka yang punya niat dan semangat tinggi ini. Bergegas membasuh diri dan bersalin agar cukup pantas menghadap Sang Hyang Widhi, lalu aku keluar bersama putra bungsuku yang kelas 2 SD dengan membawa canang di atas baki. Diiringi oleh para bocah kecil ini, kami berjalan menuju Pelinggih Pesimpangan Ida Ratu Gede di bagian Timur Perumahan. Disana, kulihat Ibu Jero bersama Gek Ayu, anaknya, sedang menghaturkan sembah. Ku letakkan canang buatanku di atas pelinggih, menangkupkan tangan dan mulai menguntai doa memohon kesejahteraan bagi kami semua. Hujan mulai jatuh satu-satu basahi kepala, kian lama kian deras. Kutawarkan pada anak-anak ini untuk kembali ke rumah masing-masing, tapi mereka enggan. Semangat kebersamaan dan keinginan bersembahyang dalam diri mereka begitu kuat mendera. Jadi, kami mulai berjalan bergerak ke arah Pura yang terletak di bagian Utara (tepatnya, Timur Laut / Kaja Kangin) Perumahan.

Hmmm, bahkan, mereka yang masih bocah dan belum ternoda banyak godaan dunia ini, memiliki hasrat tinggi memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan jiwa dan semangat kekanakan mereka. Aku masih harus banyak belajar dari mereka.

Bahkan, mangku Danu menjelaskan bahwa Bhagavadgῑtā (VII.16-17) memberikan uraian mengenai tipologi empat jenis orang yang berusaha mendekatkan diri pada Tuhan,
berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka itu adalah: orang yang sengsara,
yang mengejar kekayaan, yang mengejar ilmu pengetahuan dan orang yang berbudhi
luhur. Di antara ke empat macam orang tersebut, maka orang yang berbudhi luhur
dinyatakan yang paling mulia. Mengapa demikian, orang yang berbudhi pekerti
luhur sepenuhnya menyerahkan diri kepada-Nya. Penyerahan diri secara total
kepada-Nya disebut prapatti, demikianlah bhakti-prapatti mengandung makna
bhakti yang murni, sebab mereka telah merasakan dalam kebhaktiannya itu, ia
berada dalam lindungan-Nya. Bila kita bhakti dan menyerahkan diri sepenuh hati,
maka Tuhan Yang Maha Esa hadir di hadapan kita.

Dari uraian tersebut di atas, kita menjumpai
dua jenis atau bentuk bhakti, yaitu para bhakti dan apara bhakti. Para bhakti
mempunyai makna yang sama dengan prapatti, yakni penyerahan diri secara total
kepada-Nya sedang apara bhakti adalah bhakti dengan berbagai permohonan dan
permohonan yang dipandang wajar adalah mohon keselamatan atau mohon
berkembang-mekarnya budhi nurani.

Dan...
Bocah kecil ini telah mengajarkan padaku, memperlihatkan padaku, membuka mata hatiku, bhakti mereka pada Beliau, sungguh murni, terwujud dalam kasih gaya kanak-kanak mereka, dalam gaya kesahajaan mereka, dalam tingkah polah mereka, berlari kian kemari, namun, tetap mengarah pada Hyang Widhi. Tidak goyah karena hujan deras yang semakin mendera mereka, sekalipun dengan gaya senang berhujan yang mereka miliki.

Ah, seandainya, semakin banyak orang yang mau belajar dari mereka ini. Mereka hanyalah bocah, namun mereka mengajarkan banyak hal yang sering terlupakan... Yakin deh, gak bakal banyak konflik dan perpecahan di muka bumi ini, karena yg bakal tercipta hanya jiwa-jiwa polos dan akal budi berdasar hati nurani suci sebagai bentuk yadnya, pada Hyang Widhi, pada sesama, dan pada lingkungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar