Selasa, 05 Januari 2010

127.500

Saat berita wabah penyakit anjing gila mulai naik daun, menyebar di Pulau Bali, sekitar tiga bulan lalu, aku sudah mulai sangat cemas...
Keluargaku memiliki empat ekor anjing. Semua cuma tipe anjing kampung ato campuran peranakan. Ada si Chiko yg gembrong hitam dan sering dijuluki si grandong karena sangat menyeramkan. Ada si Benny yang susah sekali dipegang. Ada si Pretty yang genit manja dan selalu nempel jika kami sedang duduk bersantai. Ada si Bunny yg terbaru, berusia se bulan. Jika si Bunny kutemukan di jalan sedang berlarian tatkala kami bersepeda ria rayakan libur Natal dengan kunjungi Bu Endang, si Pretty anjing betina yang ditinggal begitu saja oleh iparku yang orang Flores, si Benny anjing hasil pemberian sahabat suamiku yang orang Solo, si Chiko anjing campuran dengan spaniel milik tetangga.

Chiko adalah anjing paling tua yang kini pernah bersama kami sekeluarga, usianya kini sudah sekitar 10 tahun. Dia pernah menggigit pantat (pembantu) asistenku yang berasal dari Flores dahulu, dia pernah menggigit anak-anak tetangga yang selalu mengganggu dan melemparinya dg batu dan menembaknya dengan panah-panahan, dia pernah menggigit kuping kanan asistenku yang berasal dari GunungSari, dia pernah menggigit kuping kiri anakku sendiri. Hmm, dia hampir dibunuh, bahkan oleh kami sendiri... Tapi, akhirnya toh masih hidup juga hingga kini.

Senin, 4 jan 2010.. setelah selesai mempersiapkan keberangkatan anak-anakku ke sekolah, aku mengendarai motor ke Yonico Supermarket di depan Perum untuk membeli air minum galon isi ulang. Setiap bulannya kami sekeluarga menghabiskan 15 air minum berukuran galon ini. Kembali dari Yonico, di depan rumah ibu Pratiwi, seekor anjing hitam menghampiri. Anjing betina ini biasa duduk diam dengan manisnya di depan rumah Ibu Elo. Hanya melirik tatkala ada orang yang melintas di depannya. Namun kini dia dengan beringas menghampiri kaki kananku, dan... dengan mantapnya menancapkan ke empat taringnya disana. Celana anjang yg kukenakan tidak sanggup membendung gigitannya. kedua kali, dia berhasil menarik celana panjang ini, dan, gigitan yang ketiga, berhasil kuhindari. Ibu Ardi membantu dengan melempar batu pada anjing hitam tersebut. Pak Elo juga membantu menolong dengan melemparkan sebuah bata merah. Sang anjing berlari bersembunyi di bawah selokan, meninggalkan diriku yang meringis menahan sakit. Kulihat bekas gigitannya, hmmm, tak ada lubang disana, juga bercak darah. Aman dari luka, itu yang kupikir pertama.

Di rumah, kuobati lukaku dengan minyak dari akar tanaman yang berasal dari Kalimantan. Lalu kemudian beranjak mengendarai motor ke Nusa Dua. Kubawa laptop Vaio yang bakal ku set ulang di Ghrya Indosat, menyampirkan tas kantor di bahu. Setibanya di kantor, banyak teman yang menyarankan segera memeriksakan luka di kaki ke RS Sanglah, karena sudah banyak kasus mengenai rabies yang sudah terlalu terlambat untuk ditangani. Ah... ternyata kau belum siap untuk mati, setidaknya... bukan cara mati seperti ini yang kuinginkan. Segera kuselesaikan tugas kantor, menyetor SK pangkat dan jabatan terakhir ke bagian akademik, lalu mengemas barang dan segera berlalu.

Mampir sejenak di Ghrya Indosat yang terletak di dekat patung Ngurah Rai, di sebelah Rama Tours & Travel. ku ketahui kesalahan pihak BNI Card Center yang tidak mendebet pembayaran tagihan bulanan IM2 Classic Unlimited. Ooow, ini tho ternyata, penyebab aku tidak bisa gunakan modem IM2 Indosat selama se mingguan ini.

Selesai disini, segera kukebut laju kendaraan Honda Astrea 800 ku ke Rumah Sakit Sanglah. Di halaman parkir kendaraan, aku tertegun menatap wajah sedih seorang ayah dan gadis yang baru saja kehilangan salah satu anggota keluarga yang meninggal. Ah.. rumah sakit selalu mengandung banyak ceritera yang tiada terputus jika digali dari berbagai situasi dan kondisi disana. Setengah berlari ku menuju ke bagian informasi, melengkapi identitas untuk memperoleh kartu berobat, lalu masuk ke dalam ruang IRD.

Berada di dalam ruang IRD, kulihat beberapa orang tergeletak di atas brankar. Ada yang kaki kirinya terbalut perban, namun darah segar masih menetes perlahan dari ujung jemarinya yang menyembul keluar perban. Ada yang tergolek lemah dengan perban menutupi sebagian wajah. Ada pula yang terlihat botol infus tergantung di atas kepalanya. Kuhampiri seorang dokter jaga, dokter Ngakan, kuserahkan berkas dataku, dia meletakkannya di atas sederetan berkas lain di atas meja tinggi di hadapannya, lalu mengambil buku resep, menuliskan esuatu diatasnya, menyerahkannya padaku. "Ambil di loket apotik di depan", demikian katanya. Dengan malu kukatakan jujur kepadanya, uangku hanya Rp 100.000, apakah cukup untuk biaya obat yang bakal kuterima nanti. Hmm, bukannya menenangkan hatiku, dia malah minta bertanya di bagian informasi.

Resep dokter kuserahkan di apotik RS Sanglah, tak sampai satu menit kemudian, dua kotak obat berisi vial Vaksin Anti Rabies sudah ditangan. Kulirik harga yang tertera disana, ah... Rp 127.500, dua kotak, berarti total Rp 245.000 harganya. Aku harus berlari ke ATM terdekat nih, pikirku. "Gratis" hanya itu komentar pemuda ganteng yang kulihat di balik layar kaca apotik RS Sanglah. Mamamia, serasa bongkah batu yang menyesak di dada telah terlepas, tergusur pergi entah kemana. Kembali kuberlari ke dalam ruang IRD, menuntaskan urusan ini. Sekumpulan perawat membersihkan luka di kaki, menyuntikkan ke dua vaksin anti rabies di lengan atas kiri dan kananku, dan... bereslah sudah. Tidak lupa dokter Ngakan mengingatkanku untuk kembali minggu depan melanjutkan suntikan anti rabies berikutnya.

Ah...
Hidupku terlihat cerah kembali. Kini saatnya pulang kembali, menikmati makan siang, berkumpul bersama keluarga, sebelum melanjutkan perjalananku ke Kerambitan, Tabanan. Aku berjanji pada Dewa Biyang, bibi tercinta, untuk mengambil nangka yang sudah masak hasil panen di tegalannya. Hmm, kini aku bisa kembali bernyanyi sepanjang jalan, satu problema lagi sudah berlalu dari hidupku, masih ada problema-problema lain lagi yang menanti untuk dicarikan solusinya.

4 komentar:

  1. Waduh Mbak, sepertinya nama anjingnya lebih keren daripada nama kita, ha ha :D

    BalasHapus
  2. Hmm,
    Saya pernah sampai minta maaf pada seorang sahabat, bahwa yang memberi nama anjing adalah anak, walau saya rayu tetap tidak boleh diganti. Khawatir dia datang dan mendengar anak saya memanggil, "Benny" yang sama dengan nama anaknya..
    sewaktu di RS Sanglah saya disuntik anti rabies Senin, 4/1/2010, sudah nomer urut ke 20 dari korban gigitan anjing gila hari itu. Ah...

    BalasHapus
  3. Hmm..., banyak juga ya di Bali.

    Btw, saya ga bisa follow-up komentar di sini via email.

    Yah, karena sistem komentarnya blogspot banyak kelemahan, coba diganti dengan DISQUS (http://disqus.com/) atau JS-KIT (http://js-kit.com/) agar lebih komunikatif :)

    BalasHapus